Serial tulisan testimonial di panjimasyarakat.com ini didedikasikan untuk mendokumentasikan dan membagikan pengalaman baik dari berbagai tempat dan latar belakang penulis untuk saling menguatkan dalam menghadapi wabah Virus CORONA COVID-19.
Kami tunggu partisipasi Anda, kirim tulisan via WA 0895616638283 atau email panjimasyarakat.com@gmail.com
–Pemimpin Redaksi
MELAKA, MALAYSIA – Hari kedelapan terjebak lockdown di Melaka, 25 Maret 2020 kami dikejutkan dengan berita dari Prime Minister Malaysia Muhyiddin yang mengumumkan bahwa lockdown diperpanjang sampai 14 April 2020. Yang artinya bertambah 14 hari lagi. Kami bertiga, saya dan dua orang teman, kaget dan pusing. Jika lockdown diperpanjang sepertinya kita tidak akan kuat berlama-lama di apartemen dengan keadaan dan kondisi yang tidak menentu seperti ini. So in total will be 1 month.
Keesokan harinya, 26 Maret 2020, kampus kami, International Islamic University Malaysia (IIUM) mengumumkan meliburkan mahasiswanya hingga akhir Mei. Rasanya ingin banget pulang ke Indonesia, toh kita juga libur sampai 1 Juni, jadi kenapa nggak pulang sekarang saja? Jika bisa. Kami pun menelpon kawan-kawan baik yang sudah pulang maupun yang berada di kampus untuk mendengar berbagai perspektif apakah pulang menjadi pilihan terbaik?
Dari seorang teman yang sudah pulang, dia bilang ketika pulang baik-baik saja, hanya perlu mengisi form kesehatan dari Kementerian Kesehatan Indonesia lalu di-cek suhu tubuh dengan thermo gun di Terminal 3 Soekarno Hatta. Jika ada tanda-tanda mencurigakan sakit, maka siap-siap saja dibawa ke health center di Bandara. Yang penting kalau sudah sampai di rumah jangan berinteraksi dekat dengan anggota keluarga. Langsung mandi dan mengurung diri di kamar saja. Keluar kamar seperlunya saja. Memisahkan alat makan dan alat sholat. Begitu saran dan cerita dari teman saya yang berhasil terbang pulang ke Indonesia.
Kisah lain, agak menyeramkan datang dari teman yang kuliah di UUM (Universiti Utara Malaysia), yang lokasinya di Kedah, Malaysia bagian utara, jauh dari Ibukota Kuala Lumpur, sekitar 9 jam perjalanan darat. Dia berangkat pulang dari Kedah sampailah di KLIA (Kuala Lumpur International Airport). Tapi tiba-tiba saja penerbangannya di-cancel. Akibatnya dia harus kembali ke kampusnya karena tidak ada tempat tinggal lain. Jauh perjalanan, begitu sampai di UUM, dia harus dikarantina 14 hari oleh pihak Kampus, karena telah keluar dari kampus seharian. Artinya dia nggak bisa ke mana-mana selama dua minggu ke depan.
Mempertimbangkan berbagai pengalaman teman-teman itu akhirnya kami pun memilih opsi untuk pulang ke tanah air. Ah nekat saja. Kalau berhasil Alhamdulillah. Kalau tidak? Ya nanti kita pikirkan.
Sambil bersholawat dan selalu meminta petunjuk dari Allah kita pun mencoba mencari tiket pesawat ke Indonesia. Kaget, karena biasanya banyak opsi penerbangan dari Kuala Lumpur ke Jakarta tapi di hari itu berbeda. Hanya 2 atau 3 penerbangan saja yang available.
Saat survei tiket di aplikasi pencarian tiket kami mendapat informasi bahwa maskapai pesawat yang tidak pernah cancel adalah KLM, maskapai asal Belanda. Pesawat ini adalah salah satu maskapai international yang terbang langsung dari Amsterdam ke beberapa negara. Biasanya penerbangan KLM yang bertujuan ke Jakarta akan transit di Kuala Lumpur. Sehingga menurut cerita-cerita dari teman saya yang sudah berpengalaman naik KLM, maskapai ini tidak akan mencancel penerbangannya. Detik itu juga kami langsung mencari tiket KLM tujuan Jakarta di aplikasi tiket. Dan, voila, tersisa 2 kali penerbangan saja! Yup, dua jadwal itu hanya untuk besok (27 Maret) dan lusa (28 Maret).
Kami sempat bingung. Dalam waktu singkat kami harus memutuskan untuk beli tiket lalu pulang sekarang atau tidak sama sekali. Dan akan tetap tinggal di Malaysia entah sampai kapan. Oh tidak. Tidak mau. Malam itu kami tidak punya mood makan. Tidak mood berbicara.
Keesekon harinya kami mencoba berdiskusi lagi setelah pikiran agak tenang dan menunggu kabar dari teman saya yang balik ke Jakarta 27 Maret 2020 dengan maskapi KLM itu. Jika mereka berhasil. Maka kami pun akan membeli tiket untuk keesokan harinya. Which is penerbangan terakhir KLM dari Kuala Lumpur ke Jakarta.

Singkat cerita kami membeli 3 tiket ke Jakarta. Untuk saya sendiri, saya beli satu tiket tambahan ke Lombok, rumah orangtua saya, dengan maskapai Lion Air dari Jakarta yang hanya tersisa 1 kali penerbangan pada malam harinya. Dan waktunya sangat mepet dengan waktu saya landing di Jakarta dengan KLM. Jeda 1 jam saja. Jika miss, terpaksa saya harus menunggu hingga jadwal penerbangan esok hari pukul 8 pagi.
Agak nekat dan riskan. Tapi ya mau gimana lagi. Di kondisi yang seperti ini terkadang jiwa nekat itu harus muncul. Tidak lupa berzikir dan berserah diri kepada Allah sepenuhnya, karena sepertinya banyak ketidakpastian yang akan kami hadapi nanti.
Malam sebelum kami berangkat, kami mendapat berita dari teman saya, Galvin, yang lancar mendarat di Jakarta dengan KLM. Wah hati kami semakin yakin untuk kembali ke Indonesia esok hari (28 Maret). Bismillah. Malam itu juga kami packing semua baju kita dan tidur.
Esok paginya kami pun pergi ke KLIA dengan Grab. Tapi si driver Grab ini seperti tidak yakin apakah kami bisa keluar dari Melaka menuju Kuala Lumpur. Ya Tuhan. Benar-benar seperti perang rasanya. Dia takut ada polisi yang mencegat dan dia dikenakan denda, yang saya dengar tidak main-main, kira-kira RM 1000 (sekitar Rp 3.600.000,-). Syukurlah, akhirnya dia mau membantu kami. Dia meminta surat izin dulu dari kantornya dan meminta kami menunggu 30 menit untuk konfirmasi. Alhamdulillah dia dapat surat izin mengantar customer hingga keluar Melaka.
Selama perjalanan kami tidak berhenti bersholawat dan hampir 10 menit sekali saya mengecek penerbangan di website flight tracker: apakah di-cancel atau tidak.
Alhamdulillah pukul 1 siang kami sampai di KLIA dengan lancar. Tidak ada polisi yang mencegat kita. Fyuh. Walau penerbangan kita masih lama yaitu pukul 5 sore, tidak apa-apa kita menunggu lama daripada ketinggalan flight.
Di Airport KLIA, kami dikejutkan dengan departure information board : tulisan merah alias cancel memenuhi board digital itu. Dari 30 penerbangan hari itu hanya 1 penerbangan yang open gate dengan tulisan hijau. Dan penerbangan kami belum open gate, jadi belum tertera di board itu apakah cancel atau open gate. Kami pun mesti menunggu hingga 2 jam hingga pukul 3 sore, sampai penerbangan kita open gate untuk check-in.

Tepat jam 3 sore kami mengecek lagi di papan digital itu, dan kami pun masih tidak percaya bahwa maskapai yang kami naikin open gate alias ada penerbangan. Dari 30 penerbangan 28 penerbangan cancel. Hanya 2 flight yang available hari itu. Satu penerbangan domestik tujuan Kinabalu, dan satu lagi international, ya itu penerbangan kami menuju Jakarta. Terharu.
Tidak menunggu lama-lama kita pun langsung ikut mengantri di barisan yang super panjang di konter KLM. Benar saja, semua yang mengantri adalah orang Indonesia. Tidak disangka kami pun bertemu teman kampus kami yang juga naik maskapai yang sama.
Ketika mengantri ada seorang petugas yang tiba-tiba berteriak bahwa kami diminta segera check-in awal melalui website karena akan ada 10 orang yang tidak bisa berangkat. Deg! Kami pun terkejut lagi. Pokoknya hari-hari yag kita lalui selama mau pulang itu banyak kejutan. Langsung check-in online dan fyuh dapat boarding passnya juga. Dan kita duduk bersebelahan. Alhamdulillah . Tenang, sudah.
Sejujurnya kami tidak membeli bagasi. Karena masing-masing dari kami hanya membawa 1 koper saja. Namun, saya khawatir kalau koper saya terlalu besar jika di bawa ke kabin. Ya itulah kecerobohan saya tidak membeli bagasi. Saya pun nekat untuk menimbang koper di konter setelah giliraan kami yang maju. Selama mengantri sejujurnya saya takut kalau koper saya harus dimasukkan ke bagasi. Which is saya harus bayar lagi sekitar RM100. Ah malas sekali. Mana ringgit lagi mahal lagi. Tak henti-hentinya saya bersholawat agar dipermudah sama Allah, semoga koper saya bisa masuk kabin dengan berat yang mungkin lebih dari 12 kg itu.
Setelah giliran kami maju ke konter check-in lalu boarding pass kami dicetak dan identitas kami diperiksa. Kami sok basa-basi ke petugas counternya kalau kami ingin menimbang koper, takut lebih dari 12 kg (minimal tas untuk di kabin KLM seberat 12 kg saja per-orang). Eh, tanpa disangka, petugas bilang sebaiknya koper kita dimasukkan ke bagasi saja, karena pihak KLM ingin mengurangkan carrier bag dalam pesawat karena pesawat saat itu penuh sekali, katanya.
Lalu kami saling lihat-lihatan. Dan saya tahu apa yang 2 teman saya ini pikirkan. Apakah bayar atau tidak. Haha. Tanpa pikir panjang, dengan wajah tanpa dosa dan polos, saya bertanya ke petugasnya, “Bayar nggak Kak?” begitu kira-kira yang saya tanyakan. Ha ha ha. Seketika ketawa pecah diantara kita. Maklum mahasiswa. Duit pas-pasan. Ditambah currency ringgit yang makin gila mahalnya. Dengan suara yang tenang dan muka yang terlihat menahan tawa, petugasnya bilang “Nggak kok ini gratis”. Wah seketika kita pun tersenyum lebar, setengah tidak percaya. Koper kita bertiga pun masuk bagasi tanpa bayar! Alias gratis! Alhamdulillah rezeki anak rantau.

Setelah check-in dan masuk pesawat kami menghadapi drama baru lagi. Tiba-tiba langit Kuala Lumpur yang cerah menjadi gelap seketika dan hujan lebat dalam hitungan detik. Padahal semua penumpang sudah duduk manis di kursinya masing-masing. Namun tiba-tiba cuaca berkata lain. Hujan deras disambut petir yang menggelegar. Siapa sangka.
Tiba-tiba flight attendant mengumumkan bahwa penerbangan terpaksa di delay hingga cuaca membaik. Hujan semakin deras. Kilat menyambar. Perasaan kami semakin dag dig dug. Ya Allah. Cobaan apa lagi ini. Selama di pesawat sembari menunggu cuaca mebaik kami berizikir lagi. Setelah 20 menit kita menunggu, akhirnya cuaca membaik dan pesawat pun take off meninggalkan Malaysia. Alhamdulillah.
Sebentar, tiba-tiba saya kepikiran, jika penerbangan saya tadi tertunda 30 menit. Artinya saya hanya memiliki jeda waktu 30 menit saja untuk pindah dari pesawat KLM ini ke pesawat Lion Air tujuan Lombok dari Jakarta. Ya Allah. Detik itu juga semenit sebelum pesawat take off, saya langsung buru-buru check-in online melalui aplikasi. Alhamdulillah lega. Meskipun begitu, selama 1 jam 45 menit di udara perasaan khawatir menyelimuti saya.
Menurut logika saya rasanya tidak mungkin kalau saya sempat pindah ke pesawat tujuan Lombok. Jelas-jelas pesawat yang sekarang saya tumpangi akan landing di Terminal 3, dan pesawat Lion Air tujuan Lombok terletak di Terminal 1A. Menurut google map jarak dari terminal 3 ke terminal 1A memakan waktu sekitar 17-20 menit menggunakan skytrain. kereta antar terminal di Bandara Soekarno-Hatta. Artinya saya hanya memiliki sisa waktu 10 menit sebelum take off! Astaghfirullah. Kalau saya tertinggal pesawat sepertinya drama akan semakin ribet.
Akhirnya saya memasang target untuk keep running, lari setelah mendarat di Jakarta. Begitu mendarat, dari dalam pesawat hingga konter imigrasi saya mencoba menyelip-nyelip di antara keramaian penumpang lain bersama dua teman saya yang ikut juga. Setelah melewati pemeriksaan suhu tubuh dan imigrasi tanpa mengantri kami pun berhasil keluar duluan dari imigrasi. Setelah mengambil bagasi saya pamit kepada dua teman saya dan lanjut lari ke terminal 1A.
Dengan membawa koper seberat 13 kg saya lari ke skytrain. Lalu lari lagi setelah turun dari skytrain di terminal 1B. Lalu, lari lagi dari terminal 1B ke terminal 1A. Karena skytrain hanya sampai terminal 1B. Setelah lari dan melewati insiden kesandung di tangga, saya berhasil masuk ke pesawat Lion Air tujuan Lombok dengan selamat. Alhamdulillah.
Terima kasih kepada pihak Lion Air sudah menelpon saya 6 kali, setiap 2 menit sekali karena hanya saya satu-satunya penumpang yang belum naik ke pesawat. Dan lagi, koper saya yang beratnya 13 kg lolos masuk kabin padahal minimal berat kabin di Lion Air hanya 7kg. Ha ha ha, rezeki anak rantau lagi, kata saya. Sembari ngos-ngosan dan jantung yang masih berdebar karena lari-lari, saya baru bisa benar-benar tenang di dalam pesawat ini. Alhamdulillah, Rumah, I’m coming. Malam itu saya tiba di Lombok, di rumah orangtua di Kota Mataram. Dan langsung dikarantina selama 14 hari di sini. (*)