Serial tulisan testimonial di panjimasyarakat.com ini didedikasikan untuk mendokumentasikan dan membagikan pengalaman baik dari berbagai tempat dan latar belakang penulis untuk saling menguatkan dalam menghadapi wabah Virus CORONA COVID-19.
Kami tunggu partisipasi Anda, kirim tulisan via WA 0895616638283 atau email panjimasyarakat.com@gmail.com
–Pemimpin Redaksi
BANTEN – Ketika orang-orang takut dengan virus Corona, staf-staf rumah sakit banyak yang resign, saya malah datang menghadapi kepanikan itu. Saya ingin menguji mental, seberapa kuatnya saya.
Saya dokter UGD di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banten. RSUD Banten menjadi rujukan bagi Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan yang sudah suspect dari rumah sakit tipe B dan C.
Sebelum COVID-19 datang, saya bekerja di Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten. Saya suka kegiatan kerelawanan. Setiap Selasa, saya biasanya kumpul bareng teman-teman relawan TurunTangan. Biasanya saya juga nongkrong di coffee shop untuk ngopi.
Tapi sekarang semua berubah. Setiap hari saya harus berjaga di UGD, menangani pasien-pasien suspect Corona. Delapan jam terkurung dalam baju pelindung yang pengap. Saya berharap kondisi ini cepat selesai. Saya rindu keluarga. Rindu teman-teman. Rindu beraktivitas dengan bebas.
Awalnya saya ditempatkan di salah satu puskesmas di Banten. Baru seminggu bertugas di sana, saya diminta menjadi dokter di Rumah Sakit Umum Banten. Para dokter sempat menolak membuka pelayanan COVID – 19, karena minimnya jumlah Alat Perlindungan Diri (APD) yang disediakan.

Mereka sempat mau mogok. Namun Kepala Dinkes Provinsi Banten meyakinkan kami bahwa APD aman. Katanya, pengiriman APD pertama berjumlah 5.000. Sampai saat ini APD memang masih aman, meskipun terbatas. Kepala Dinkes sempat menjanjikan kami akan mendapatkan dua APD, biar gampang kalau-kalau ingin ke toilet, minum atau makan. Tapi ujung-ujungnya enggak juga. Jadi kami bertahan selama delapan jam dengan satu APD.
Saya sempat datang bulan. Rasanya pakai satu APD sangat tidak nyaman. Nahan sakit perut, ingin toilet ganti pembalut, tapi jika itu dilakukan sangat berisiko. Akhirnya saya tahan-tahan saja. Tentu kita tahu, Indonesia beriklim tropis. Beda dengan negara-negara Eropa yang dingin. Pakai APD di 30 menit pertama, rasanya seperti sauna. Panas.
Krasak-krusuk enggak nyaman. Saya ingin lepas bajunya. Memakai masker N95 juga menyakitkan. Hidung saya sampai luka. Ada teman yang telinga dan pipinya luka. Mungkin karena saking chubby-nya itu pipi, makanya luka. Alhamdulillah, Sekarang tubuh sudah mulai terbiasa. Semua tenaga medis bisa bertahan dengan jamnya masing-masing.
Mukjizatnya lagi, secara fisiologis kantung kemih manusia sudah penuh setiap empat jam sekali. Jadi harus dikeluarkan. Tapi selama delapan jam, kami enggak kebelet pipis dan BAB. Kami juga tidak lapar dan haus. Jadi delapan jam kami puasa.
Kalau tenaga medis di Wuhan pakai pampers, kami tidak sama sekali. Kalau kita lihat di video-video, tenaga medis di sana juga pakai masker N95 dan masker bedah. Di sini kami hanya pakai satu. Sebenarnya kalau kita paham penularannya dari mana, memakai masker N95 saja sudah cukup.
Virus Corona ini penularannya melalui droplet. Misalnya orang bicara, batuk dan bersin. Mereka mengeluarkan percikan cairan tubuh. Yang penting jaga jarak 1- 2 meter, risiko tertularnya kecil. Kecuali kalau sedang tindakan, seperti pijak jantung atau di ruang ICU. Karena di sana pasiennya harus pakai ventilator.
Menjadi dokter yang menangani pasien-pasien suspect Corona ini sangat menguji mental. Ada ratusan orang yang dirawat di sini. Sudah ada yang meninggal juga. Setiap hari saya selalu berharap, pandemi segera berakhir.
Saat saya dalam situasi yang tertekan, saya mencoba memotivasi diri sendiri. Ingin selamat, ketemu keluarga, agar mereka tidak tertular. Saya selalu ingat ibu, yang usianya sudah sepuh dan punya kencing manis. Supaya aman, saya memutuskan untuk ngekost.
Sebenarnya pemerintah menyediakan penginapan. Satu kamar isinya 20 orang. Kasurnya di bawah, mirip barak. Saya membayangkan, setiap kali keluar harus mengendap-endap. Menyalakan lampu. Kasihan teman-teman, pasti akan terganggu. Karena saya dapat jadwal jaga malam hingga pagi.
Bicara soal jadwal jaga, di sini kami dibagi menjadi tiga tim. Jaga pagi, siang dan malam. Alasannya karena tenaga medisnya terbatas. Biar tubuh kami juga selalu fit. Saya kebagian jaga pukul 11 malam sampai pagi. Tapi hanya di ruang UGD.

Suatu malam, saya menerima pasien suspect, seorang perempuan berbadan besar. Dia datang dalam keadaan sesak. Saya cek ternyata punya riwayat penyakit diabetes. Akhirnya saya dan tenaga medis mencoba melakukan pertolongan. Enggak tau kenapa pemasangan infusnya gagal. Setelah satu jam tindakan, akhirnya pasien tersebut meninggal.
Saya sedih sekali. Terpukul. Saya mencoba mengabari keluarganya via telepon. Yang menerima panggilan telepon itu anaknya, sedang ada di Bali dan isolasi mandiri. Saat saya memberi tahu, dia membisu. Mungkin sedih juga bingung.
Di sini ada 250 tempat tidur yang dibagi-bagi menjadi tiga ruangan yaitu green zone, yellow zone, dan red zone. Suatu hari saya menerima pasien seorang Ibu.
Suaminya sudah masuk ruang red zone. Dia inisiatif datang ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Ibu itu beruntung sekali, meskipun suaminya positif, tapi dia negatif. Sontak dia mengucap syukur,“Puji Tuhan. Puji Tuhan”. Saya pun mengucapkankan.“Alhamdulillah”. Lalu dia menyampaikan terima kasih berulang kali. Bahkan tanya nama saya.
Rasanya bahagia banget, ada pasien mengucapkan terima kasih. Dulu, waktu saya koas tidak dibayar. Dapat ucapan terima kasih saja senang sekali. Tapi enggak ada pasien yang bilang terima kasih.
Saya melihat Corona ini bawa banyak hikmah. Orang-orang jadi baik. Langit jadi cerah. Polusi turun. Menghancurkan sekat antara kaya dan miskin, agama A dan B. Satu ruangan ada 20 orang. Tidak peduli mereka punya asuransi apa. Semua dirawat di satu ruangan yang sama. Tidak ada hiburan. Tidak ada TV atau kulkas.
Jadi yang mereka lakukan setiap hari, ya rebahan, makan, minum, dan melihat ‘robot-robot putih’ yang lalu-lalang di ruangan. Padahal, mayoritas pasien- pasien itu adalah orang kaya yang biasa dirawat di ruang VVIP. Kalau saya mau jujur, di sini mereka dirawat di ruang kelas bawah. Awal-awal banyak yang komplain, akhirnya mereka bisa menerima juga dan terbiasa hidup dalam keterbatasan.
Tapi di lain sisi, saya juga geram dengan pemerintah. Koordinasi pusat ke daerah parah sekali. Sepertinya sudah banyak yang komplain. Saya ingin pemerintah tegas dan koordinasi. Fokus pada kesehatan masyarakat, bukan ekonomi dan pariwisata. Kalau rugi, semuanya juga rugi. Semua negara yang terkena wabah perekonomiannya anjlok.
Di Italia banyak warga yang meninggal. Sementara di Indonesia, angka kematian tenaga medis tinggi sekali. Kalau Indonesia dibandingkan Vietnam dan Singapura tidak adil. Singapura punya pengalaman menangani wabah, ICU nya banyak, sementara di sini terbatas. Lalu Vietnam, luas wilayahnya kecil. Beda dengan Indonesia yang berpulau-pulau, susah aksesnya. Pemerintah memang sudah membangun rumah sakit di Pulau Galang
dan menjadikan Wisma Atlet Jakarta untuk merawat pasien Corona. Tapi itu jauh sekali. Orang-orang yang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua juga tidak bisa ke Wisma Atlet. Dalam kondisi seperti ini saya rindu Ibu Siti Fadila Supari. Dia pernah sukses menangani wabah Flu Burung dan Flu Babi. Dia dituduh melakukan korupsi peralatan medis, padahal untuk masyarakat. Karena memang pada saat itu kondisinya seperti sekarang, tidak ada anggaran.
Semoga ini segera berlalu dan semua akan baik-baik saja. (*)