Seperti biasa, sebelum pengajian dimulai. Kiai Misbach mempersilakan dua orang jamaah menyampaikan pengamatannya terhadap perkembangan mutakhir, terutama yang menimpa masyarakat banyak. Sesudah itu, baru refleksi keagamaan dilakukan.
Malam itu, yang angkat bicara dua orang: Mas Udin, aktivis demokrasi, dan satunya lagi Pak Riswar, konon seorang pejabat tinggi. Bisa ditebak, betapa serunya pengajian malam itu.
Dengan terang dan gamblang, Mas Udin menyorot tajam berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan: korupsi, kolusi, monopoli, nepotisme, dan lain-lain. “Apa yang kita saksikan mulai dari lapis paling atas sampai paling bawah, adalah tidak satunya kata dengan perbuatan. Lain yang dipidatokan, lain pula yang dilakukan,” tandas Mas Udin semangat.
Yang disampaikan Mas Udin pada dasarnya tidak ada yang baru. Namun karena dia yang ngomong, tetap terasa enak dan perlu. Cuma masalahnya, apa yang harus diperbuat untuk mengubahnya, dan siapa?
“Tidak ada jalan lain,” kata Mas Udin berapi-api, “Rakyat harus memainkan kedaulatannya. Rakyat harus bicara. Jangan biarkan yang salah menjadi benar hanya karena yang melakukannya penguasa.” Hadirin tampak puas dan tepuk tangan pun membahana.
Sesaat kemudian, Pak Riswar, lelaki bersafari yang mengaku mewakili pemerintah, angkat tangan. “Kini giliran daripada saya.” ujarnya minta kesempatan.
“Apa yang dikatakan Mas Udin memang benar, semua orang juga tahu. Namun kalau daripada kami maunya begitu, kalian mau apa?” Hadirin saling berpandangan.
“Kalian boleh saja mengklaim hak kritik, hak kontrol, atau apa pun istilahnya. Namun saya ingin bertanya, apa landasan daripada kalian mengklaim hak itu?” tanya Pak Riswar tenang dan innocent.
“Ini pertanyaan yang sangat baik,” sambut Kiai Misbach mengundang respons jamaah. “Ayo siapa lagi yang mau angkat bicara?” lanjutnya
Beberapa saat kemudian, “Menurut saya”, seorang jamaah berkomentar, “landasan kita adalah perintah agama untuk mendukung yang makruf dan mencegah yang mungkar.”
Pak Riswar menimpali, “Kalau itu argumennya, pertanyaan saya, apakah kemungkaran hanya dilakukan oleh pejabat pemerintah? Dan, kalau pemerintah dianggap paling potensial berbuat mungkar, bukankah di muka bumi ini pemerintahan ada di mana-mana? Kenapa kritik sampean hanya diarahkan kepada pemerintahan di sini? Itu namanya pilih kasih.”
Jamaah lain ikut bicara. “Menurut saya, kita punya hak kontrol atas jalannya pemerintahan karena kamilah yang membentuknya.”
“Pak Riswar masih berdiri. “Boleh saya tanya, kapan dan dengan cara apa sampean membentuk pemerintahan negeri ini?”
“Tentu saja melalui pemilu,” sahut jamaah. “Melalui pemilu kami membentuk pemerintahan negeri ini. Mengangkat mandataris dengan segala perangkatnya, termasuk sampean“
“Sampean pribadi ikut pemilu?” tanya Pak Riswar dengan nada sangsi. “Maksud saya, dalam pemilu-pemilu yang lalu, sampean ikut nyoblos tanda gambar tertentu?”
Pertanyaan Pak Riswar tidak dijawab. Rupanya sang pembicara tadi adalah golput yang juga aktif mewadahi orang lain untuk tidak nyoblos.
“Kalau begitu, menurut saya klaim sampean tidak berdasar. Di mata kami aparat pemerintah, sampean adalah orang lain. Karena itu, kritik atau omongan orang seperti sampean boleh kami dengar boleh kami abaikan, suka-suka kami. Bahkan sekiranya sampean ikut nyoblos dalam pemilu, tetapi jika pilihan sampean bukan kelompok pemenang yang membentuk pemerintahan ini, bagi kami klaim-klaim sampean tetap lemah.”
“Saya tahu jawabannya,” sahut jamaah lainnya meramaikan suasana. “Kita, rakyat, berhak melakukan kontrol dan kritik atas jalannya pemerintahan negeri ini. Juga atas tindak-tanduk sampean selaku pejabat karena kamilah yang membiayai dan menggaji sampean. Kalau pihak tertentu, katakanlah IMF, boleh mendikte pemerintah hanya karena ngutangi, tentunya hak rakyat lebih dari itu karena mereka membiayai, tidak hanya ngutangi.”
“Saya tidak paham daripada maksud sampean,” Pak Riswar menyela.
“Pemerintah memungut pajak dari rakyat, PPH, PBB, PPN, Ipeda san sebagainya. Itulah yang saya makhsud kita rakyat menghidupi pemerintahan, membiayai kegiatannya, dan menggaji aparatnya. Saya tidak ingin ngundat-ngundat, tetapi terpaksa hal ini harus dikatakan karena umumnya aparat pemerintah cenderung mengingkarinya. Lihat di depan rakyat umumnya mereka berlaga sebagai bos, sebagai ngarso dalem yang harus selalu dilayani dan didengar, sementara rakyat dilakukan sebagai pelayan, atau abdi dalem yang selalu melayani dan mendengar. Bahkan kalau lewat dijalan raya, rakyat disuruh minggir dan diam.”
“Kita tahu pajak yang dibayarkan langsung oleh rakyat kecil seperti kami ini memang tidak seberapa, tetapi itu benar-benar dari keringat kami sendiri. Sementara para konglomerat yang dieli-elukan sebagai pembayar pajak besar, pada hakikatnya bukan mereka semata yang membayarnya, melinkan para buruh yang mereka pekerjakan, plus dukungan kaum tani yang menyediakan pangan.
“Kita pun menyadari, sumber pemasukan negara tidak hanya pajak dari rakyat. Ada pemasukan lain, yaitu kekayaan alam dan utang luar negeri. Namun jangan lupa, kekayaan seperti emas, minyak, hutan, dan semacamnya adalah anugerah Tuhan untuk kita segenap rakyat. Juga utang luar negeri, pada akhirnya rakyat pula yang harus membayarnya.”
Merasa dikepung oleh rakyat yang mulai menyadari kedaulatannya, rakyat yang mulai angkat bicara, Pak Riswar tampak pasrah dan tidak berdaya dan kemudian pergi.

Penulis: KH Masdar Farid Mas’udi, Kelahiran Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; Sumber: Panji Masyarakat, 19 Januari 1998.