Serial tulisan testimonial di panjimasyarakat.com ini didedikasikan untuk mendokumentasikan dan membagikan pengalaman baik dari berbagai tempat dan latar belakang penulis untuk saling menguatkan dalam menghadapi wabah Virus CORONA COVID-19.
Kami tunggu partisipasi Anda, kirim tulisan via WA 0895616638283 atau email panjimasyarakat.com@gmail.com
–Pemimpin Redaksi
SURAKARTA, JATENG – Sehari setelah seorang pasien positif Corona meninggal di RS Moewardi, Solo, tepatnya 13 Maret 2020 malam, Wali Kota Surakarta FX Rudiyanto mengumumkan Kota Solo KLB (Kejadian Luar Biasa) dan kesiapsiagaan Virus Corona Covid-19. Salah satu konsekuensi
KLB Covid-19 ini, sekolah di seluruh wilayah Solo diliburkan selama14 hari.
Pondok Pesantren Al Muayyad, yang semua santrinya adalah mukim di pondok memutuskan untuk melakukan karantina seluruh santri selama 14 hari. Tidak memulangkan santri sebelum masa karantina berakhir. Pertimbangannya antara lain, jika santri dipulangkan sebelum masa karantina berakhir, risikonya lebih besar. Selain itu, Pondok Pesantren juga belum siap untuk memulangkan santri yang jumlahnya 800 orang itu secara mendadak.

pencegahannya kepada santri.
Bersyukur sebelum merabaknya Virus Corona Covid-19 di seluruh penjuru dunia, saya sebagai dokter Pondok sudah membekali santriwan-santriwati tentang apa itu Virus Corona Covid-19, bagaimana cara pencegahannnya, apa itu ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan), termasuk praktek cuci tangan yang benar. Tujuannya agar seluruh santri tahu apa yang sedang terjadi di luar Pondok, bahwa saat ini sedang ada pandemi Corona Covid-19.
Selain pembekalan kesehatan, juga dilakukan pemeriksaan skrining, pemeriksaan suhu semua santri selama masa karantina. Hasil dari skrining, kita pun tahu siapa saja santri yang batuk pilek, demam dan yang sakit lainnya. Jika ada santri yang batuk pilek dan demam lebih dari 3 hari, langsung kami rujuk untuk diperiksa di laboratorium.
Hari keempat masa karantina, tiba-tiba suami masuk rumah sakit dan harus menjalani operasi. Akibatnya, tiga hari saya tidak ada di rumah karena harus menunggu suami yang dirawat di RS. Meskipun selama saya tidak ada di rumah, saya tetap berkoordinasi dengan pengurus Pondok juga kakak ipar saya, Mbak Ari Hikmawati selaku Lurah Pondok Putri.
Kami juga terus memantau kesehatan santri via WAG (WhatsApp Group). Jika ada yang sakit selama masih bisa diatasi cukup dikonsultasikan via WA, dan jika memang kondisi emergency, saya sarankan untuk diperiksakan ke rumah sakit terdekat, atau ke dokter Tutik, senior saya yang membantu mengurus kesehatan santri.
Alhamdulillah, Kamis (19/3/2020) siang, suami sudah diperbolehkan pulang dari RS. Jumat sore saya kembali melakukan skrining terutama untuk santri yang batuk pilek dan demam lebih dari 3 hari. Sore itu ada sekitar 30 santri yang saya periksa. Hasil dari pemeriksaan, ada 3 santri yang harus dirujuk untuk cek laboratorium karena demam lebih dari 3
hari.

Dari 3 santri tersebut, 2 di antaranya harus rawat inap karena trombosit dan leukositnya di bawah normal (turun). Saya curiga mengarah ke DHF (baca: Demam Berdarah). Akhirnya saya minta pengurus Pondok untuk menghubungi orang tuanya. Kebetulan kedua santri itu satu kamar dan berasal dari kota yang sama yaitu Blora. Santri itu, sebut saja inisial, N dan F.
Orangtua N belum bisa dihubungi, sedangkan kondisi N pucat, muntah-muntah dan lemas sekali. Saat itu saya memutuskan untuk langsung memasukkan dulu N ke RS Kasih Ibu yang dekat dengan Pondok, karena anak ini perlu penanganan segera. Sedangkan untuk F, orangtuanya memutuskan akan merawat inapkan putrinya di Blora, biar dekat dengan rumah. Sabtu sore orangtua F menjemput F di Pondok dan membawanya pulang setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar tentang kondisi kesehatan putrinya. Tak lupa hasil pemeriksaan laboratorium juga disertakan untuk dibawa pulang.
Ahad (22/3/2020) sore, tiba-tiba saya dapat kabar dari Pengurus Pondok Putra, bahwa F diisolasi di rumah sakit karena dicurigai terkena Corona Covid-19. F menelpon Pengurus Pondok Putra dan menceritakan keadaannya saat itu, yaitu dikarantina karena dicurigai terpapar Corona Covid-19, bukan karena sakit DB.
Kabar F diisolasi di ruangan khusus dan tidak boleh ketemu dengan orang tua maupun saudaranya itu menjadi ramai dan gempar di WAG orangtua santri. Sebagian orangtua santri ada yang panik dan menelpon ke Pengurus Pondok tentang kebenaran berita tersebut.
Begitu mendapat keterangan dari salah satu Pengurus Pondok Putra, saya saat itu langsung menanggapi dan menjelaskan ke Pengurus, bahwa orang yang ada gejala batuk pilek dan demam dan berasal dari daerah transmisi lokal, masuk ke rumah sakit pasti petugas RS langsung menskrining pasien tersebut menjadi ODP. Saya minta tolong ke Pengurus untuk menenangkan para orangtua santri di WAG agar tidak panik berkepanjangan.
Kebetulan F adalah murid ngaji saya, dan saya sering berkomunikasi dengan ibunya. Saya WA ibunya, yang langsung menelpon saya dan menceritakan kondisi F, bahwa ketika keluar dari Kota Solo menuju Blora, dalam perjalanan ibunya membawa putrinya ke tempat praktek dokter Anak langgananya di Purwodadi.
Dokter anak tersebut menyarankan F untuk rawat inap setelah memeriksa dan melihat hasil laboratorium yang dibawa. Menurut Dokter, F sakit DB. Keluarga memilih RSI Purwodadi sebagai tempat rawat inap. Sampai di IGD RSI Purwodadi, F diperiksa oleh dokter jaga dan perawat. Namun kemudian F dicurigai (suspect) Covid-19 karena ada keluhan batuk pilek dan demam. Utamanya, karena ia berasal dari daerah transmisi lokal, yaitu Kota Solo yang pada saat itu ada sudah ada 3 kasus yang meninggal karena Covid-19.

Dari pengakuan F yang diceritakan ke ibunya, saat itu semua petugas yang ada di IGD ribut, gempar, sibuk menelpon (kemungkinan mereka telpon ke dokter konsulen) dan langsung mengisolasi F. Tiba-tiba petugas di IGD memberitahu kepada ibunya bahwa F tidak bisa dirawat di RSI Purwodadi, karena tidak ada ruang isolasi dan harus dirujuk ke RS yang ada ruang isolasinya. Prosedur untuk merujuk harus menggunakan ambulan RS
Dalam kondisi panik, si ibu langsung mengiyakan semua prosedur yang harus dilakukan. Saat itu juga F, ibunya beserta sopir ambulan (tanpa didampingi perawat) langsung dirujuk ke RSUD Blora. Sampai di sana petugas penerima IGD sudah siap dengan APD (alat pelindung diri) yang lengkap dan F dimasukkan ke ruang isolasi. Selama di ruang isolasi F tidak bisa ketemu dengan keluarga, meski ia dibekali HP sebagai sarana komunikasi dengan keluarga.
Dalam kejenuhannya menjalani isolasi itu F justru aktif mengabari Pengurus Pondok tentang kondisinya saat itu. Di sisi lain, Ibu F mengeluhkan, anaknya sakit DB tapi kok tidak diinfus dan diberi obat oral. Saya mencoba menenangkan sang ibu. Saya minta sabar dulu, dan berjanji akan bantu menghubungi saudara saya, Dokter Spesialis Radiologi di RSUD Blora.
Saya pun telpon sepupu ipar, dr.Saifudin Jamil Sp.Rad, yang sehari-hari bertugas di RSUD Blora. Saya menceritakan semua yang dialami santri F dan ibunya. Saat itu saya berpesan kepadanya, jangan sampai DHF (demam berdarah)-nya loss tidak tertangani gara-gara fokus ke ODP Covid-19-nya.
Kurang dari dua jam ibu F menelpon saya mengabarkan, alhamdulillah F sudah diinfus dan mendapat obat oral. Bahkan esoknya F sudah diperbolehkan pulang. Sebagai dokter Pondok, saya plong rasanya. Terima kasih dik dr.Saifudin Jamil,Sp.Rad telah membantu meredakan kepanikan kita semua di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo. (*)