Kesejatian orang bisa langsung terlihat di saat krisis menerpanya. Baik secara langsung atau secara bertahap, reaksi-reaksinya akan mengungkap sikap-sikap aslinya yang selama ini tersembunyi, baik bagi dirinya sendiri mau pun bagi orang lain. Bagi dirinya sendiri, karena sebelumnya tertutup oleh ge-ernya sendiri; bagi orang lain karena terhijab oleh citra tampilannya.
Rumusnya sangat sederhana: emas murni tak akan berubah warna saat ditetesi air keras berupa asam nitrat; sementara emas sepuhan akan segera berubah warna dan menampakkan logam aslinya.
Meski rumus ini sering dikaitkan dengan kualitas perorangan, tapi dalam batas tertentu sebenarnya bisa juga dipakai untuk mengukur kualitas sebuah sistem, lembaga, birokrasi atau lainnya. Pemerintah dan juga birokrasinya yang dianggap tidak sigap menanggapi wabah corona virus misalnya, sebenarnya hanyalah cermin kualitas aslinya yang dalam keadaan normal acap tak terlihat.
Ambil contoh: Donald Trump dan jajaran pemerintahnya yang dianggap terlambat mengantisipasi gelombang wabah corona virus di Amerika misalnya; pada dasarnya bisa dipakai untuk mengukur tingkat kepeduliannya pada keselamatan rakyat. Apalagi ikon kampanyenya adalah American First, yang menjadi lokomotif populisme, dan seolah menempatkan Amerika dan warganya sebagai orientasi utama politiknya bila ia menang.
Meski WHO sudah mengumumkan potensi bahaya dari wabah ini pada 9 Januari 2020, dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS bahkan telah memberi peringatan pada 6 Januari 2020; Donald Trump tetap tenang-tenang saja. Bahkan dalam banyak kesempatan terlihat meremehkan; dengan menebar keyakinan bahwa Amerika tak akan terpengaruh olehnya.
Pada akhir Februari, Donald Trump dengan yakin mengatakan bahwa cuaca panas akan membunuh virus ini dan dengan demikian menghentikan penyebarannya. Menurutnya virus corona baru ini akan hilang seperti mukjizat. Dengan santai ia malah mengatakan: ‘kalaupun kita punya ribuan atau ratusan ribu orang yang terkena, mereka akan sembuh cuma dengan duduk-duduk saja dan bahkan pergi kerja.’
Baru pada 14 Maret 2020 Trump mengumumkan keadaan darurat, setelah yang terpapar virus melonjak tajam; dari 75 orang di tanggal 1 Maret menjadi 2.770 di tanggal 14 Maret 2020. Bayangkan hanya dalam 14 hari jumlah yang terpapar melonjak hampir 37 kali lipat.
Meski keadaan darurat sudah diumumkan, bukan berarti semua lantas bisa bergerak cepat melakukan penanganan. Masih ada adegan tambahan untuk memperlambatnya: silang pendapat tentang teknis penerapannya antara Trump dengan beberapa pemerintah federal, terutama dengan gubernur New York Andrew Cuomo.
Keterlambatan dan silang sengkarut kebijakan pemerintahan Trump inilah yang menjadi faktor utama meledaknya jumlah yang terpapar virus di Amerika. Menurut Worldometers per 7 April 2020, ada 367.650 orang yang terpapar Covid-19 dan 10.943 diantaranya meninggal. Ledakan yang menyebabkan rumah sakit dan tenaga medis kuwalahan, dan tidak tercukupinya perlengkapan medis yang dibutuhkan.
Sebuah laporan bahkan menyimpulkan bahwa kebanyakan kebijakan penanganan COVID-19 di AS yang buruk berasal dari kekhawatiran Trump sendiri, yang lebih menimbang dampak ekonomi yang diakibatkan virus ini. Atau, dengan kata lain, Trump lebih mendahulukan pertimbangan ekonomi dari pada keselamatan rakyatnya.
Pertimbangan Trump, yang nota bene memimpin negeri yang sangat kuat secara ekonomi, secara diametral justru berkebalikan dengan keyakinan Addo Dankwa Akufo-Addo, presiden Ghana yang nota bene sedang terpuruk ekonominya. Dengan lantang presiden Ghana ini mengatakan: saya yakin perekonomian bisa dikembalikan tapi nyawa orang tidak bisa dikembalikan lagi.
Pertimbangan-pertimbangan ekonomi, dan sudah pasti muncul dari pertimbangan politik untuk mempertahankan kekuasaan menjelang pemilihan presiden AS mendatang; telah membuat Trump dan pemerintahannya jadi sasaran kritik tajam dari banyak pihak, karena terbukti telah menjadikan Amerika sebagai negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia.
Bahkan bukan hanya kritik, tapi caci maki yang vulgar pun bersliweran dimana-mana, termasuk di media-media sosial; sebagai bentuk ungkapan kekesalan rakyat yang merasa dikorbankan. Bedanya dengan kita: mereka tak diancam pidana ketika melakukannya. Maka janganlah ‘kufur nikmat’. Itu saja. (*)