Kiai Wahid Hasyim pernah menawari Hatta memimpin NU di zaman Jepang. Ia bisa disebut pejuang Islam, meskipun lebih banyak yang menyebutnya seorang nasionalis dan sosialis.
Haji Mohammad Hatta (1902-1980), salah seorang proklamator kita dan wakil presiden pertama negara ini, sering disebut seorang nasionalis, juga sosialis, tetapi boleh dikatakan jarang sekali dia disebut seorang pejuang Islam. Padahal dalam segala gerak-gerik kebijaksanaanya, ia boleh dikatakan tidak pernah menyimpang dari ajaran Islam. Malah bisa juga disebut bahwa ia senantiasa menjalankan ajaran Islam serta menjaga betul agar tidak menyimpang dari ajaran itu.
Adalah karena sifat dan caranya bekerja dalam perjuangan kemerdekaan seperti itu, mungkin juga karena keterikatannya dalam menjalankan ibadah secara tetap, disertai tingkah laku yang tawadhu’, ikhlas dan sabar, ia pernah ditawari K.H Wahid Hasyim, tokoh Nahdlatul Ulama di zaman Jepang dan pada permulaan kita merdeka, serta beberapa kali menjadi menteri agama setelah penyerahan kedaulatan, untuk memimpin organisasi NU ini di zama Jepang. Ia bukan menolaknya, tetapi karena berpendapat bahwa suatu pemimpin nasional hendaklah dipilih dari kalangan organisasi itu sendiri, ia pun mengemukan ini sebagai jawaban.
Dalam usianya yang mulai lanjut, yaitu mendekati umur 70 tahun (tepatnya pada tahun 1967) ia memimpin gerakan Demokrasi Islam Indonesia (yang diharapkan dapat menjelma menjadi Partai Demokrasi Islam Indonesia). Bersama almarhum Muhamad Natsir, yang pernah memimpin Masyumi, dan H. Imron Rosyadi, tokoh NU, ia pernah pula memimpin suatu yayasan Islam yang dimaksudkan bergerak dalam bidang pendidikan – yang sayang tidak berkembang.
Oleh sebab itu sebenarnya mudah saja kita membicarakan Hatta dalam hubungan dengan Islam, hubungan intens yang dimulainya dari masa kecil. Maka ia pun sebenarnya bisa disebut sebagai pejuang Islam.
Kebiasaan Hidup
Hatta turunan kalangan ulama. Inyiknya (kakek), Syaikh Abdurahman seorang ulama tradosional terkenal. Ia memimpin surau di Batuhampar, kampung dekat jalan antara Bukittinggi dan Payakumbuh. Sebagaimana biasa di kalangan surau atau pesantren, pimpinan memang dilanjutkan oleh turunan. Pimpinan Surau Batuhampar ini tidak jatuh ke tangan ayah Hatta, karena ayahnya yang lebih banyak berniaga termasuk cepat pula meninggal dunia. Pimpinan surau memang dipercayakan kepada pamannya, malah ada pula pamannya yang lama belajar di Mekah.
Hatta pun sebenarnya direncanakan untuk dari kecil belajar di Mekah. Ia semula akan dibawa pamannya ke Mekah itu agar kemudian dapat melanjutkan pelajaran sampai ke Mesir. Tetapi keluarga ibunya keberatan, karena Hatta memang ketika itu masih kecil.Maka ia pun melanjutkan pelajaran ke sekolah umum, tetapi janji kepada pihak keluarga ayah bahwa ia akan tetap setia menjalankan ibadah dan ajaran Islam, kapan pun, dan di mana pun. Janjinya ini memang ia penuhi benar. Apalagi di msa kecol dan remaja itu ia belajar agama di surau Nyik Djambek di Bukittinggi, dan ketika di Padang pada H. Abdullah Ahmad, dua ulama yang sangat berperan bukan saja dalam menggembangkan ajaran Islam tetapi juga dalam membangkitkan umat Islam, peran yang praktis diakui juga oleh kalangan Asia Tenggara pada umumnya.
Pembangunan yang ia kumandangkan sejak zaman perjuangan kemerdekaan malah, juga dalam masa revolusi dan sesudah penyerahan kedaulatan, adalah pembangunan merata, yang mengangkat si miskin sehingga tercapai masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Ini juga sesuai dengan ajaran Islam.”
Kebiasaan beribadah di masa kecil ini, antara lain salat dan shaum (puasa), serta menjaga pergaulan dengan tertib, dilakukan terus sampai ke Jakarta, ke Negeri Belanda, dan dalam masa-masa berikut yang ia jalani. Di Negeri Belanda pun ia menjaga pergaulannya dengan anak-anak gadis, apalagi ia memang berjanji setelah menyadari perjuangan kemerdekaan, bahwa ia hanya akan kawin bila Indonesia sudah merdeka. Kawan-kawannya, malah ada juga anak-anak gadis Barat di Negeri Belanda, menyebutnya “pendeta”. Pergaulan yang dibatasi dengan kesopanan ini ia lanjutkan terus baik di masa perjuangan kemerdekaan, di masa Jepang, dan setelah ia menjadi pejabat (sebagai wapres dan perdana menteri), artinya juga setelah berumah tangga.
Kebiasaan daerah, umpamanya menari lenso di Maluku, tidak ia sertai, walaupun tidak ia larang. Maka bila pergi ke daerah ini sebagai pejabat, dan orang-orang di daerah tersebut menari lenso bersama, orang-orang ini pun menghormati Hatta dengan menangguhkan memulai tari tadi sesudah Hatta meninggalkan acara resmi. Praktis tidak ada yang mengumpat dalam rangka ini, tidak pernah dikatakan, umpamanya bahwa Hatta tidak suka pergaulan.

Dalam pada itu, seperti dikatakan di atas, ibadatnya tidak tinggal, baik ketika sehat atau pun dalam sakit. Penulis, yang beberapa tahun masa revolusi serta tahun 1950-an tinggal di Jalan Pengagasan Barat, sering melihatnya salat Jumat dan salat tarawih di Masjid Raya Matraman, tempai ia berjemaah, karena memang itulah masjid terdekat dari rumahnya — di Jalan Diponegoro.
Di samping itu perlu juga dicatat akhlaknya yang mulia. Ia peduli terhadap orang banyak, rakyat miskin, atau pun yang berada. Yang miskin diperjuangkannya dengan pembelaan dan dengan program antara lain koperasi, yang kaya itu ia ingatkan untuk memperhatikan yang miskin. Oleh sebab itu pembangunan yang ia kumandangkan sejak zaman perjuangan kemerdekaan malah, juga dalam masa revolusi dan sesudah penyerahan kedaulatan, adalah pembangunan merata, yang mengangkat si miskin sehingga tercapai masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Ini juga sesuai dengan ajaran Islam.
Ia juga menghargai orang lain dengan menerima siapa pun yang ingin berjumpa dengannya (tetapi dengan syarat jangan terlambat, atau jangan mengobrol tak menentu, karena ia memang menjaga waktu). Baru jauh kemudian, ketika ia menyadari sulitnya transportasi Jakarta, ia bisa mentolerir orang yang datang terlambat dari waktu yang dijanjikan.
Pikiran siapa pun ia hargai. Ia mendengarkan pendapat anak muda dengan sungguh, memberi komentar sekadarnya, dan mengingatkan yang bersangkutan bila pikiran yang dilontarkan tidak tepat atau menyimpang dari tujuan. Oleh sebab itu dalam pertemuan dengan anak-anak muda, anak-anak muda ini banyak mendapat bahan darinya, walaupun ia sendiri tidak memperlihatkan sifat menggurui. Segalanya bagai ia serahkan pada pemahaman masing-masing.
Tentu tidak berarti ia membiarkan saja pemikiran dan faham apa pun berkembang. Ia banyak pula mengkritik orang, termasuk Soekarno, baik di masa ia Negeri Belanda (lewat surat kabar atau majalah) maupun ketika keduanya sudah berada di pucuk pimpinan negara ini. Hanya sesudah ia berhenti ia banyak mengkritik Presiden Soekarno dengan surat, kurang secara terbuka. Kecuali dengan Demokrasi KIta, buku kecil yang diberangus pula oleh pemerintahan Soekarno. Bersambung
Penuilis: Prof. Dr. Deliar Noer; Sumber: Majalah Panjimas, 16-29 Oktober 2012. Semasa hidupnya Deliar Noer ( 1926-2008) dikenal sebagai ilmuwan politik, guru besar dab rektor IKIP Jakarta (kini UNJ). Meraih gelar Ph.D. dari Cornell University (1963). Pada awal reformasi penulis produktif ini mendirikan Partai Ummat Islam.