Ads
Berbagi Cerita Corona

Belajar dari Patuhnya Orang Belanda

Serial tulisan testimonial di panjimasyarakat.com ini didedikasikan untuk mendokumentasikan dan membagikan pengalaman baik dari berbagai tempat dan latar belakang penulis untuk saling menguatkan dalam menghadapi wabah Virus CORONA COVID-19.
Kami tunggu partisipasi Anda, kirim tulisan via WA 
0895616638283 atau email panjimasyarakat.com@gmail.com
–Pemimpin Redaksi

LEIDEN, BELANDA – Covid-19, virus asal Tiongkok itu ternyata cepat sekali menyebar. Meski pemerintah Belanda sudah berusaha agar virus itu tidak masuk ke wilayahnya. Pada 27 Januari 2020, mereka menutup penerbangan dari Wuhan ke Amsterdam, begitu sebaliknya. Tanggal 26 Februari, mereka kemudian mengeluarkan travel advice untuk warganya yang ke Italia. Tapi, keesokan harinya, muncul pasien pertama. Besoknya lagi, satu warga Amsterdam juga postif corona. Dua-duanya habis bepergian dari Italia. Satu minggu kemudian, jumlah warga yang terpapar virus itu mencapai ribuan. Bahkan pada 26 Maret, ada satu pasien yang meninggal.

Kini, jika lihat data di https://www.worldometers.info/coronavirus/ total kasus positif corona di Belanda mencapai 13.614 orang, dengan total kematiannya 1.173 orang. Untuk ukuran negara maju di Eropa, jumlah itu sangat banyak.

Sejak corona masuk Belanda, negara ini jadi sepi. Tak terkecuali dengan tempat saya tinggal, Leiden. Biasanya setiap weekend, jalanan kota ini akan ramai. Apalagi sekarang memasuki musim semi, warga akan berhamburan di taman, untuk menikmati bunga-bunga yang bermekaran. Tapi sekarang lengang. Kampus-kampus, sekolah, restoran, klub, tempat penjual ganja, gym dan sauna tutup. Toko-toko, selain yang menjual makanan dan obat-obatan, juga tutup. Tak ada lagi pesta, konser bahkan orang-orang yang berjalan bergerombol. Corona membuat manusia di sini berjarak.

Kota Leiden, Belanda bagai kota mati (foto: Tito)

Wabah corona, membuat pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pada 9 Maret 2020. Menteri – menteri dilarang berjabat tangan, menutup tempat-tempat yang mengundang banyak orang berkerumun, juga membatalkan penerbangan ke beberapa negara seperti China, Iran, Italia dan Korea. Kalau ada orang yang melanggar peraturan seperti membuat party, akan dikenakan denda sebesar 400 Euro. Jika dirupiahkan sekitar Rp6,5 – 7 juta. Awalnya peraturan tersebut berlaku sampai 6 April 2020. Karena kondisi tidak membaik, pada 23 Maret 2020, pemerintah mengumumkan bahwa peraturan berlaku sampai 1 Juni 2020.

Kami di sini, beraktivitas seperti biasanya. Ya kuliah, sekolah, bekerja. Bedanya, dilakukan di rumah masing-masing. Kampus saya melaksanakan perkuliahan secara virtual. Ada satu portal, namanya blackboard. Kami diberi tugas di portal itu. Tugasnya seperti apa, deadline-nya kapan, dan ngumpulnya juga di sana. Bahkan exam (ujian) pun dilakukan di sana. Jadi, kami enggak perlu ketemu satu sama lain. Semua dilakukan secara online.

Untuk mendapatkan referensi buku-buku dan artikel, saya juga mendapatkan kemudahan. Perpustakaan menyediakan buku-buku yang bisa di-download gratis. Tapi ada beberapa buku, khususnya buku-buku baru, yang harus pinjam langsung ke perpustakaan. Untungnya, perpustakaan tetap buka, meskipun begitu kami dibatasi. Hanya boleh mengambil dan mengembalikan buku. Setelah itu harus pulang.

Kepatuhan warga Belanda, dengan di rumah saja, menjadi kunci sukses keluar dari ancaman Virus Corona. (foto: Tito)

Saya juga masih suka olahraga tiap pagi. Kadang, ada beberapa orang juga yang berolahraga, jalan-jalan dengan anjingnya, dan main sepeda. Kami tidak pakai masker. Karena, bagi orang Belanda, masker hanya diperuntukkan bagi tenaga medis. Toh, jalan juga sepi. Jadi tak usah pakai masker yang kini sudah langka. Kalaupun ada harganya selangit.

Kalau bahan-bahan makanan habis saya juga ke supermarket. Meski tak pakai masker, saya tetap hati-hati. Jaga jarak dengan orang lain. Dari rumah, saya bawa sarung tangan. Sesampainya rumah, saya langsung cuci tangan, ganti baju, dan mandi. Saya tak punya hand sanitizer. Ini barang yang sama langkanya seperti masker. Lagipula hanya bisa membunuh kuman 30 %, lebih efektif cuci tangan dengan sabun.

Herd Immunity, Langkah Esktrem Belanda Agar Warganya Kebal Corona

Ketika sebagian besar negara menerapkan physical distancing bahkan lockdown, Belanda justru punya cara sendiri dalam melindungi warganya untuk tidak terinfeksi virus. Namanya Herd Immunity, suatu cara untuk meningkatkan imunitas penduduk Belanda dengan membiarkan populasinya terkena virus itu secara bertahap, nanti imunnya akan terbentuk. Karena kata para ahli, kalau kita sudah terinfeksi Corona lalu sembuh, tubuh kita akan membentuk imunitasnya. Kalau sudah terbentuk imunitas secara besar, maka 60% orang bisa melindungi 40% lainnya. Kebijakan itu disampaikan oleh Perdana Menteri secara live pada 16 Maret. Sangat kontroversial dan berisiko.

Saya enggak tahu, apakah kebijakan itu tepat atau enggak. Setahu saya, jika seseorang telah terinfeksi Corona lalu sembuh, bisa terinfeksi lagi. Itu terbukti terjadi di Jepang dan China saat ini. Orang-orang sini, yang oposisi dengan pemerintah, banyak yang melawan kebijakan itu. Ide Herd Immunity itu sangat berisiko. Jika mengambil Herd Immunity akan banyak orang yang meninggal karena mereka tidak bisa bertahan dengan virus cCorona yang ada di tubuh mereka.

Tapi, pemerintah menganggap, kebijakan ekstrem itu juga diambil oleh semua negara. Negara lain enggak ngomong aja, dan mengumumkan kebijakan lockdown. Untungnya, Belanda juga ada parsial lockdown. Masing-masing walikota mempunyai power (kekuatan) untuk membuat peraturan menutup tempat-tempat publik di kotanya masing-masing dan melarang orang-orang berkerumun. Jadi kebijakan Herd Immunity tidak terlalu membahayakan.

Apalagi, orang-orang Belanda juga punya asuransi yang menanggung semua perawatan di rumah sakit akibat Corona. Saya sendiri juga punya asuransi khusus mahasiswa. Jadi kalau terpapar Corona, asuransi akan meng-cover biaya pengobatan. Meski begitu harus sesuai dengan prosedur. Harus ke general professional dulu. Kalau di Indonesia harus ke faskes 1 dulu. Bisa telepon atau datang sendiri.

Pada mulanya, anak-anak muda di Belanda bandel. Masih banyak yang main dan berkumpul. Karena mereka memang senangnya party. Tapi sejak pemerintah memberi pengertian dan adanya denda 400 euro, mereka patuh.

Sejujurnya saya lumayan salut dengan penduduk Belanda. Mereka nurut sama pemerintahnya. Kalau pemerintahnya bilang begini, mereka akan terapkan. Kalau mereka tidak boleh berkerumum, ya mereka tidak kumpul-kumpul. Jaga jarak. Kalau ada teman yang ajak main, mereka enggak mau. Bahkan saya pernah lihat, ada empat anak muda yang jalan bareng, tapi jaga jarak semua, sekitar satu meter. Ngobrolnya jauh-jauhan.

Ya, begitulah, kesadaran dan kedisiplinan orang Belanda sudah baik. Habbit itu bisa dicontoh oleh orang-orang Indonesia.

Kehadiran Corona memang menakutkan. Tapi Corona banyak membawa kebaikan. Di sini saya perantau, jauh dari keluarga. Saya jadi belajar membangun komunikasi dengan keluarga. Orang tua saya sudah 60 tahun ke atas, jadi saya harus selalu memberi kabar bahwa saya baik-baik saja. Setiap kali mau memberi informasi, seperti share berita saya harus pilah-pilah dulu. Setiap informasi baru harus diverifikasi, bisa dipercaya atau enggak ya. Kalau tidak layak, saya tak akan membagikan. (*)

Tentang Penulis

Avatar photo

Tito Bramantyo Aji

Mahasiswa S2 Public International Law, Leiden University, Belanda

Tinggalkan Komentar Anda