Setelah pengakuan kedaulatan RI, setelah masa pancaroba berlalu, dan langit mulai tampak teduh, Hamka mulai bertanya kepada dirinya: Di manakah tempatnya untuk mengisi kemerdekaan? Sebuah pertanyaan penting mengingat usianya yang sudah 42. Ia pun memutuskan tinggal di Jakarata bersama keluarganya.
Presiden Soekarno Ke Sumatera
Sesudah rakyat Sumatera turut berjuang, berkorban memberikan nyawa dan darah tiga tahun lamanya, datanglah penawar hati, yaitu ziarah Presiden yang mula-mula ke Sumatera sejak kemerdekaan, di awal Juni 1948.
Sudah lama Bung Haji berkenalan, bahkan bersahabat dengan Bung Karno sebelum menjadi presiden. Tetapi, sungguhpun sudah begitu rapat perhubungan itu, barulah waktu beliau ziarah ke Sumatera itu, dia dapat mengenal benar beberapa keutamaan dan kelebihan Bung Karno sebagai seorang manusia dan kepala negara.
Memanglah Bung Karno seorang yang ahli pidato yang paling besar di Indonesia dan termasuk besar di Asia. atau di dunia. Memang kekuasaan lidahnya yang telah menyatukan 70 juta rakyat terjajah menjadi satu bangsa mereka. Apabila Bung Karno berbicara, di sanalah terletak kekuasaannya. Di sanalah si pendengar kehilangan pribadinya, ditelan oleh Bung Karno. Sehingga kalau pada waktu itu dikerahkan mereka pergi menghamburi mati, mati dalam pertempuran dahsyat mempertahankan Tanah Air, tidak seorang pun juga yang akan mau ketinggalan.
Dalam pidatonya di Maninjau, Bung Karno berpantun
“Jika Adik memakan pinang
makanlah dengan sirih yang hijau
Jika adik datang ke Minang
jangan lupa ke Maninjau
“Bung Karno tidak main-main,” katanya pula. “Bung Karno adalah anak emasnya orang Maninjau, eere burger-nya orang Maninjau. Ketika almarhum Haji Rasul, Dr. A. Karim Amrullah masih hidup di Jakarta, dia telah berkata kepadaku: “Engkau adalah anakku hai Karno!” Sebab itu pandanglah Bung Karno sebagai orang Maninjau sendiri!”
Pada 6 Juni 1948, hari ulang tahun beliau yang ke-47 diadakan oranglah sedikit peringatan di Istana Bukittinggi. Bintara-bintara beliau (ajudan) bertanya, apakah gerangan yang teringat oleh beliau sebagai kenang-kenangan hari ulang tahun itu? Mereka akan berusaha mencarikannya. Apatah lagi hari ulang tahun yang ke-47 itu, dirayakan jauh daripada anak dan istrinya. Maka Bung Karno menjawab, “Permintaanku hanya satu dan bukan barang, bukan tanda mata. Permintaanku hanya satu ialah, supaya tuan-tuan berdoa bersama-sama kepada Allah Subhanahu Wata’ala moga-moga Dia memberiku taufik dan hidayah atasku di dalam membawa bangsaku kepada kemerdekaan dan kemuliaan.”
Di Manakah Tempat Saya?
Angin kian lama kian teduh, langit kian cerah. Sudah nyata bahwa kemerdekaan Tanah Air tidak dapat dimungkiri lagi. Pancaroba telah lepas. Waktu yang berguna padanya segala tenaga, menghadap kepada satu jurusan, yaitu kemenangan perjuangan, telah terlepas.
Maka tibalah masanya setiap orang menilik dirinya sendiri sendiri. Membangun Tanah Air, sesudah mencapai kemerdekaannya, akan lebih sukar daripada semasa revolusi. segala lapangan memerlukan banyak orang, sedangkan kemerdekaan Tanah Air adalah “jembatan emas untuk cita-cita.” Demikianlah kata-kata Bung Karno.
“Dan saya, di manakah tempat saya?” Demikianlah mulai timbul pertanyaan Bung Haji dalam hatinya, kepada dirinya.
Amat sukar bagi seseorang mencaRI dirinya. Yang kita pandang mudah hanya mengetahui diri orang lain. Kalau dia teman, dipujinya kita setinggi langit. Kalau dia musuh, dihantamnya kita sampai ke petala bumi. Sedang yang harus lebih tahu siapa diri itu, ialah kita sendiri. Dan mengetahui diri itulah yang amat sukar.
Bung Haji telah mempunyai pandangan terhadap hidup, atas dasar kepercayaannya dalam agama Islam, bahwasannya hidup itu hanya satu kali. dan hidup itu hanya satu kali. Dan hidup itu tidaklah lama, jika diingat bahwa sebelum kita lahir, dunia telah berusia miliunan tahun dan jika kita mati, dunia akan tinggal beberapa miliunan tahun pula. Nilai hidup yang hanya sekejap itu, haruslah kita sendiri yang mengisinya.
Tulisan tinta yang hitam di atas kertas putih, mungkin pupus atau usang berlama zaman. Tetapi suratan hidup tidak dapat dipupuskan. Apa yang telah tertulis, akan tetap tertulis. Kian lama kian nyata. Kian hancur badan kelak dikandung tanah, kian timbullah tulisan itu.
Itulah sebabnya maka Tuhan berkata: “Ke dalam dirimu sendiri tidakkah engkau pernah melihat?”
.
Bung Haji bertanya, “Di mana tempat saya?”
Yang tahu tempatmu adalah engkau sendiri. Bila engkau masuk ke dalam tempat yang bukan tempatmu, engkau kelak akan keluar kembali dengan penuh rasa menyesal, sedang umur yang telah dilalui tidak dapat dipulangkan lagi.
Sudah 42 tahun usiamu ketika engkau memaparkan riwayat hidup ini kepada kami. Sudah patut dari sedikit ke sedikit engkau mengenal dirimu.

Kembali Ke Jakarta
Kedatangannya ke Jakarta pada tanggal 18 Desember 1949 itu adalah mengandung dua maksud. Pertama hendak merasakan suasana Jakarta pada hari Penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia secara resmi pada tanggal 18 Desember 1949. Kedua hendak merintis jalan bagi kepindahannya ke Jakarta bersama anak istrinya. Di samping itu hendak ziarah yang pertama kepada pekuburan ayahnya di Karet.
Dia diiringi oleh pemuda Ihsanudin yang telah begitu setia menyediakan diri jadi pengiringnya selama mengembara memberi penerangan kepada rakyat di saat perjuangan kemerdekaan. Anak isterinya ditingalkan di Bukittinggi dengan janji akan dijemputnya segera bila telah dapat rumah tempat tinggal di Jakarta.
Masyarakat kaum Muslimin di Jakarta tampaknya senang sekali melihat dia telah berada di Jakarta dan telah turut berpidato di Istana Negara bersama Presiden. Sejak dia berpidato itu, penuh-penuh kamar Hotel Andalas, tempat dia menginap diziarahi oleh pemuka-pemuka di Jakarta yang mengucap selamat atas kedatangannya dan mengharapkan supaya dia tinggal di Jakarta saja.
Dan, dia pun segera dapat rumah tempat tinggal untuk anak-anaknya. Memang sukar mencari rumah di Jakarta. Tetapi dengan izin Tuhan dia mendapat kemudahan. Di Sawah Besar di Gang Toa Hong, gang Buntu, dapatlah rumah yang sesuai dengan keadaannya pada masa itu. Cukup untuk dia, istri dan ketujuh anak.
Dengan hati besar dia kembali ke Padang menjemput anak-anak dan isterinya. Ihsanudin Ilyas disuruh menjaga rumah sepeninggal dia ke Padang. Dalam kapal udara “Garuda Indonesia Airways” yang membawanya ke Padang langsung, terbayanglah kembali masa-masa lampau yang telah dilalui. Telah sampai waktunya dia buat “duduk” menetap karena usianya sudah 42 tahun (Februari 1950).
Tamat