Cakrawala

Agama dalam Pemikiran Ketatanegaraan Bung Hatta (Bagian 1)

Sikap Bung Hatta  yang lurus dan jujur, tegas, dan arif, adalah buah belaka dari keberagamannya yang menyatu dengan seluruh bangunan dirinya yang kukuh dan tegar. Ketegasan sikapnya tetap dianyamnya dalam mozaik toleransi terhadap pendapat-pendapat yang berbeda.

Yang perlu dididikan kepada umat Islam ialah supaya memakai ilmu garam: terasa tapi tidak kelihatan. Bukannya ilmu gincu, kelihatan tapi tidak terasa .

Kutipan perbandingan ilmu garam dan ilmu gincu di atas (dari wawancara Zainul Yasni dengan Bung Hatta dalam Bung Hatta Menjawab, Jakarta, 1979), sudah menggambarkan dengan sangat tajam sikap dan pemikiran Bung Hatta dalam hal agama dan kaitannya dengan kehidupan politik umat Islam di Indonesia. Hatta memilih subtansi tinimbang simbol, isi tinimbang bentuk. Dari sikap dasar inilah Bung Hatta tidak berpihak kepada kelompok pembela dasar negara Islam seperti diperjuangkan oleh partai-partai Islam dalam kampanye Pemilu 1955 dan dalam sidang-sidang Majelis Konstituante 1956-1959. Alasan Bung Hatta agar umat Islam bersedia menerima Pancasila sebagai dasar negara bukan karena dasar Islam tidak boleh di perjuangkan, tetapi terutama karena prinsip demokrasi. Bukankah dalam Pemilu 1955 itu partai-partai Islam itu tidak berhasil meraih dua pertiga jumlah seluruh kursi Majelis Konstituante, sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan kita?

Agama dan Politik

Bahwa Bung Hatta (12 Agustus 1902-14 Maret 1980) agamawan sejati, tidak seorang pun dapat membantahnya. Lingkungan sufi keluarganya di Bukittinggi, sebuah kota kecil di dataran tinggi Agam, telah turut membentuk secara sangat signifikan kepribadian Bung Hatta sejak masa kanak-kanak sampai akhir hayatnya. Sikapnya yang lurus dan jujur, tegas, dan arif, adalah buah belaka dari keberagamannya yang menyatu dengan seluruh bangunan dirinya yang kukuh dan tegar. Ketegasan sikapnya tetap dianyamnya dalam mozaik toleransi terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Bung Hatta tidak pernah memaksakan pendapatnya kepada siapa pun. Dia dapat bergaul santai dengan Arnold Mononutu, yang menyebut dirinya sendiri seorang peminum dan pedansa semasa masih berada di Eropa, hingga tokoh PNI Kristen asal Sulawesi Utara ini menjadi sahabatnya seumur hidup, seperti ditulis Mononutu sendiri dalam buku Meutia Farida swasono, Bung Hatta: Pribadi dalam kenangan, Jakarta 1980

Islam dan kesadaran politik kualitatif kelompok santri pada 1950-an itu jauh berbeda dibandingkan dengan suasana sekarang. Gerakan untuk menjadikan Indonesia negara Islam sudah hampir kehilangan gaungnya. Bukan karena kaum santri telah semakin sekuler, tetapi paradigma yang dipakai sudah mengalami perkembangan dan kemajuan yang jauh.

Pemaksaan pendapat seseorang kepada orang lain pasti akan merusak sendi-sendi demokrasi yang diperjuangkan tokoh-tokoh pergerakan nasional sejak permulaan abad ke-20. Sila keempat dari Pancasila yang berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah pilar prinsip demokrasi yang ingin dilaksanakan dalam sistem politik Indonesia. Bagi Bung Hatta, demokrasi hanya mungkin tegak kalau disertai tanggung jawab pendukungnya.

Wapres Hatta saat berkunjung ke Yogyakarta pada 1950

Sekalipun akan lebih memilih dasar negara Pancasila sekiranya partai-partai Islam memenangi Pemilu 1955, misalnya, Bung Hatta tentu tidak akan menolak dasar Islam yang diperjuangkan partai-partai itu, sesuai dengan prinsip demokrasi. Islam dan kesadaran politik kualitatif kelompok santri pada 1950-an itu jauh berbeda dibandingkan dengan suasana sekarang. Gerakan untuk menjadikan Indonesia negara Islam sudah hampir kehilangan gaungnya. Bukan karena kaum santri telah semakin sekuler, tetapi paradigma yang dipakai sudah mengalami perkembangan dan kemajuan yang jauh. Mereka sadar bahwa soal nama bagi seluruh negara  tidaklah terlalau penting. Yang utama adalah bahwa negara itu harus demokratik, perikeadilan dan perikemanusiaan, dalam teori dan praktik, Islam adalah agama keadilan.

Tampak jelas di sini pemikiran Hatta tentang hubungan agama dan negara semakin mendapat dukungan di kalangan pemikir Muslim yang datang belakangan, berikut pendidikan tinggi yang mereka raih. Bahwa moral Islam harus melandasi setiap perjuangan politik umat adalah doktrin yang dibela semua pihak. Tidak ada perbedaan di sini antara kelompok pembela simbol dan kelompok pembela subtansi.

Sebuah negara yang memakai agama, tetapi bersifat zalim dan penuh korupsi, adalah sebuah pengkhianatan kepada cita-cita politik Islam. Hatta punya kepedulian yang sangat dalam terhadap cita-cita keadilan Islam ini. Goerge McTurnan Kahin dalam buku Meutia Farida di atas, mencatat bahwa Hatta “tidak pernah meninggalkan keyakinan bahwa Islam dapat memainkan perana sosio-ekonomis yang progresif, yang membawa Indonesia kepada keadilan sosial yang lebih besar.” Untuk memperjuangkan cita-cita besar inilah Hatta bersama pendukungnya, khususnya Deliar Noer,  pada 1967 berniat mendirikan sebuah partai bernama Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), tetapi ditolak pemerintah Soeharto. Tentang ini Kahin berkomentar; “Kenyataan bahwa seorang di antara kedua orang pendiri suatu bangsa tidak diberi kesempatan seperti itu tentulah merupakan suatu tragedi dalam sejarah bangsa itu.” Hatta kecewa, tetapi sebagai seorang demokrat sejati, ia tetap mampu mengendalikan diri untuk tidak larut dalam kekecewaan itu.

Bersambung

Penulis: Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif; Sumber: Panjimas, 02-15 Oktober 2002.  Putra Minangkabau kelahiran 31 Mei 1935 ini adalah ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005). Meraih gelar Ph.D dari Chicago University, AS (1993). Menempuh karier akademis di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) hingga dikukuhkan menjadi guru besar sejarah. Pendiri Maarif Institue ini meraih penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.  

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda