Pada masa-masa awal sosialisasi Islam di Nusantara, etnis Cina Nusantara dapat bereksistensi secara damai dengan komunitas lainnya di pusat kekuasaan yang didominasi agama Hindu-Budha. Jika belakangan gejala disasosiasi tentu tidak lepas dari konteks politik diskriminatif.
Ikatan persaudaraan sesama umat Islam, sering disebut ukhuwah islamiyah, dalam Islam memang memperoleh penekanan sangat besar (QS. Ali Imran 103, Al-Hujarat 10, dll). Saya tertarik pada pengalaman spiritual H. Yunan Helmy Nasution (Da’wah dan Asimilasi, 1979:16), ketika seorang ulama besar sari Arab membaca surat At-Tin, wat-tini waz-zaituuni, wathurisinina, wahadzal baladil amin, yang artinya “Demi tin, demi zaitun, demi Tursina, dan negeri yang aman ini”, menafsirkan tin sebagai sebangsa pohon yang dimakan buahnya oleh orang-orang Timur, yang terbanyak di Tiongkok. Agaknya di masa awal-awal Islam diturunkan Tiongkok telah dikenal sebagai salah satu pusat peradaban dunia. Buktinya adalah hadis Rasulullah yang menganjurkan menuntut ilmu sampai ke negeri Cina sekalipun.
Pelembagaan ukhiwah Islamiyah merupakan rangkaian proses panjang, sejak Islam diturunkan, dilembagakan, dan ditetapkan sebagai agama yang terakhir dan sempurna. Proses tersebut meruyak ke segala lini, dari pusat Islam menyebar ke segala penjuru dunia. Wilayah Nusantara menerima pula imbas penyebaran Islam, sebagai kawasan tepi jauh yang kemudian membuktikan dianutnya Islam oleh populasi terbesar bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara pusat Islam sekalipun. Islam dan ukhuwah islamiyah datang dan dilembagakan di Indonesia melalui rangkaian proses langsung (dari Arab) maupun tidak langsung (dari Persia, Turki, Hadramaut, Gujarat, dan sangat boleh jadi Cina). Kedatangan dan pelembagaan ini tentunya berlangsung secara bertahap.
Laksamana Zeng-ho
Bersama anasir-anasir budaya yang dibawanya, Islam masuk dan menyebar di Indonesia melalui berbagai alur kedatangan dan dalam bentang waktu yang panjang. Sosialisasi Islam di Nusantara seharusnya dianggap sebagai proses, lebih dari sebagai peristiwa yang dampaknya akan terlihat pada gejala adanya berbagai aliran dan variasi kurun waktu (Ambary, 1991:6).
Tentang sosialisasi Islam ke Indonesia ini terdapat berbagai pandangan, khususnya dalam hal cara dan pembawaannya. Pendapat lama menyatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M (J. Krom dan Van Der Berg), sementara pendapat berikut menyebut abad ke 7-8 M (TW Arnold, Hamka, Tjandrasasmita, Ambary). Sementara itu tentang asal kedatangan Islam ke Indonesia disebutkan dari India (C. Snouck Hurgronje, H. Kreamer dan Van Der Berg), Persia (Husein Djajadiningrat) atau langsung dari Arab (Hamka). Di seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia di Medan pada tahun 1963 (A. hasymi, 1989:7) disimpulkan:
1. Menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam masuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad 7/8 M) dan langsung dari Arab;
2. Daerah yang pertama kali didatangi Islam adalah pesisir Sumatera, dan setelah terbentuknya masyarakat Islam maka Raja Islam yang pertama berada di Aceh;
3. Dalam proses pemgislaman selanjutnya orang-orang Indonesia ikut aktif ambil bagian;
4. Mubalig-mubalig Islam selain berbagai penyiar agama juga sebagai saudagar
5. Penyiaran di Indonesia dengan cara damai;
6. kedatangan Islam ke Indonesia membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam bentuk kepribadian bangsa.
Bukti-bukti arkeologi yang menunjuk pada bekas-bekas kehadiran komunitas muslim di Nusantara antara lain Leran (1082 M), Troloyo (1281 M-1611 M), Barus (1206), Pasai (1297 M), dan sebagainya (Ambary, 1991: 6-14). Sumber lain yang memberikan informasi adalah berita-berita dari Arab, Cina, dan Portugis, yang antara lain menggambarkan jaringan perdagangan maritim di Nusantara dan komunitas Muslim (prodjokkusumo, et al., 191: 33-38). Namun tingkat reabilitas dan otoritas kewakilan (representa tiveness) sumber-sumber berita asing tersebut masih harus diuji lebih lanjut.
Berita-berita Cina yang berhasil diperoleh memang bisa menggambarkan berbagai fenomena kesejarahan di Nusantara. Namun, yang menjadi masalah kemudian, sejauh mana semuanya cukup memiliki keahlian dan mewakili bila dihubungkan dengan fase-fase sejarah Nusantara. (Ambary, 1993:1), mengingat sampai saat ini tetap spekulatif dan terbuka untuk terus diperdebatkan. Salah satu sumbangan, dan sekaligus masalah, adalah aktivitas-aktivitas ukhuwah islamiyah yang dilakukan para Muslim Tiongkok yang meninggalkan berbagai bekas di Nusantara. Yang paling terkenal adalah mitos sejarah mengenai pelayaran Laksamana Zeng-ho ke Indonesia, yang hingga saat ini merangsang penjelasan analitis lebih jauh.
Pada 1413 Islam merupakan agama yang didominasi orang asing yang datang dari Arab (Ta-shi) dan orang-orang Cina yang datang dari Canton, Canghou, Ch’an-chou. Sebagian mereka tinggal di Tuban, Gresik, dan Surabaya. Dinyatakan pula bahwa komposisi penduduk di ibu kota Majapahit terdiri dari orang-orang Islam yang datang dari Ta-shi, orang-oarang Cina Islam, dan rakyat yang menyembah berhala yang tidur bersama anjing mereka.”
Sosok dan peran Laksamana Zeng-ho di Indonesia dan Asia Tenggara dapat dikaji dari berbagai sumber, antara lain The History of Ming Dinasty Ying-yai Sheng-lan susunan Ma-huan, salah seorang pengikut Zeng-ho, atau Thung-his Yang-K’au dan The Chinesse Chorinicle of Semarang (Ambary, 1993). selain Itu nama Zeng-ho juga terdapat dalam Babad Cerbon dan Tanah Jawi. Berita dalam, sumber-sumber di atas mengatakan:
1. Pengiriman Laksamana Zeng-ho oleh Kaisar Ming-3, Ch’eng Tsu, ke Malaka pada 1403 M, dan pada 1409 Zeng-ho kembali mengunjungi Malaka.
2. Pada 1411 M Sultan Malaka ke Cina untuk menyatakan hormatnya.
3. Pada 1405 Zeng-ho pernah datang ke Jawa yang saat itu diperintah dua orang raja di
barat dan di timur. Ketika terjadi pertempuran antara dua kerajaan, 170 orang anggota perutusan Tiongkok ikut terbunuh. Raja Jawa wilayah Barat menyatakan penyesalannya dan membayar denda 60.000 tali emas, tapi setelah pembayaran 10.000 tali pada 1408 kewajiban tersebut dihapus.
4. Pada 1413 Islam merupakan agama yang didominasi orang asing yang datang dari Arab (Ta-shi) dan orang-orang Cina yang datang dari Canton, Canghou, Ch’an-chou. Sebagian mereka tinggal di Tuban, Gresik, dab Surabaya. Dinyatakan pula bahwa komposisi penduduk di ibu kota Majapahit terdiri dari orang-orang Islam yang datang dari Ta-shi, orang-oarang Cina Islam, dan rakyat yang menyembah berhala yang tidur bersama anjing mereka.
5. Laksaman Zeng-ho berhenti di Semarang untuk perbaikan kapalnya, ditemani oleh Ma- huan dan Fei-hsin. Beberapa kali Zheng-ho mengunjugi masjid Cina di kota itu untuk bersembahyang.
Dalam konteks ini, hal penting yang perlu mendapat perhatian khusus adalah diperlihatkannya ukhuwah islamiyah oleh komunitas Muslim Cina di Nusantara. Ini secara arkeologis bisa dilihat misalnya pada berbagai gaya seni bangun dan seni hias makam, masjid dan bahkan istana kerajaan Islam terbesara= di Palembang, Jakarta, Cirebon (Keraton Kanoman) dan Gresik. Bukti arkeologis ini memperlihatkan daftar panjang, mulai dari makam salah seorang istri Sunan Gunung Jati yang dinyatakan berasal dari Cina, benda-benda keramik yang menghiasi dinding-dinding makam, pagar, dan keraton Kasepuhan/Kanoman, menara dan Masjid Kudus makam-makam di Demak, dan sebagainya.
Dewasa ini juga masih dapat diamati buku-buku pendaratan Laksamana Zheng-ho di Semarang, sebuah lokasi yang kini menjadi tempat peribadatan komunitas Cina. Di Klenteng Sam-poo-kong itu terdapat sebuah beduk yang ditulisi kata-kata mutiara dari askara Cina: Mo’lem ing, yang konon artinya: “diam-diam membenarkan Alquran dengan suara” (Panji Masyarakat, 1991:28). Bisa diasumsikan, Laksamana Muhammad Zheng-ho, sekalipun beragama Islam, bukan penyair Agama alias da’i – meki kehadirannya tentu sedikit memberikan sumbangan bagi keberlangsungan ukhuwah islamiyah [ada masa itu, Khususnya di Nusantara.
Ikatan Kultural
Dari paparan singkat mengenai ukhuwah islamiyah pada masa-masa awal sosialisasi Islam di Nusantara, dapat dikatakan bahwa, terdapat sejumlah gejala di mana etnis Cina Nusantara ikut memainkan sejumlah peranan. Kisah sejarah tentang lapisan masyarakat ibu kota Majapahit menunjukkan bahwa komunitas Islam, khususnya Cina, dapat bereksistensi secara damai dengan komunitas lainnya di pusat kekuasaan yang didominasi agama Hindu-Budha. Jika belakangan sepertinya terdapat gejala disasosiasi tentu tidak lepas dari konteks politik diskriminatif yang dilancarkan pemerintah kolonial Belanda, yang memasukkan etnis Cina ke dalam golongan Timur Asing dengan hak lebih menguntungkan (Surjono Soekanto, 1982:72). Tanpa terasa kemudian dengan subur berkembang jarak budaya, sehingga berdampak munculnya setereotip in-group dan out-group.
Perspektif sejarah juga menegaskan, sejak lahir abad ke-15, sekalipun tidak atau belum menciptakan kesatuan politik, Islam telah mengintegrasikan Nusantara secara kultural. Integrasi tersebut merupakan konsekuensi logis dari berkembangnya jaringan perdagangan, perkenalan para mubalig untuk menyiarkan Islam, dan munculnya bahasa Melayu menjadi lingua franca.
Hegemoni penjajah di abad-abad berikutnya memang berhasil memporak-porandakan kesatuan politik kerajaan-kerajaan, tetapi tidak pada ikatan kultural Islamnya. Karena itu, sejak awal masyarakat Muslim Indonesia tumbuh dan menyatu secara integratif dalam sebuah wadah yang heterogen, sampai akhirnya berhasil mengukuhkan sebuah negara-negara bangsa, Indonesia.
Ukhuwah islamiyah telah mengikat persaudaraan sesama muslimin, tapi juga dengan masyarakat nonmuslim. Masalahnya sekarang adalah bagaimana terus mengembangkan kehidupan yang selaras dan adil, di tengah perbedaan etnis dan agama yang kerap kali muncul menjadi masalah yang berkaitan dengan integrasi bangsa.***
Penulis: Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary (1939-2006). Semasa hidupnya dikenal sebagai arkeolog, pakar kepurbakalaan Islam. Guru besar UIN Syarif Hidayatullah ini pernah menjabat kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Sumber : Panjimas 16-29 Oktober 2002