“Dunia sedang berubah Mas!” celetuk pak Amal, “rasanya kita sedang memasuki era dimana para medioker, barisan kemampo, setengah matang; justru berada di garda paling depan. Dan celakanya mereka diikuti barisan fanatis yang sudah dicuci otak, atau kantongnya, untuk jadi corong, sehingga suaranya menggema kemana-mana…”
Pak Amal ini kawan lama kyai Anom, setidaknya begitulah pengakuannya. Dia datang ke pesantren untuk menemui kyai Anom. Tapi, karena tak ada yang berani mengusik lelap tidur kyai Anom, akhirnya dia ikut jagong bersama kami.
Saat ini pak Amal mengambil program doktoral di salah satu universitas ternama di Inggris, dan sedang menyusun disertasi tentang pesantren dan politik di Indonesia setelah reformasi 1998.
“Di saat krisis seperti sekarang, langsung terlihat kualitas asli mereka…” lanjut pak Amal.
“Lihat saja, di awal pemberitaan tentang virus corona mulai merebak, muncul tulisan yang menyebut bahwa virus ini sumber awalnya dari Saudi Arabia. Untuk meyakinkan orang, tulisan tersebut menyertakan tautan pemberitaan dari The Guardian terbitan 2012 sebagai buktinya. Isi tulisannya hanya mengejek ummat Islam, dengan menyebut mereka sebagai kaum tertinggal; yang hanya bisa menyikapi kehadiran virus corona sebagai adzab; tanpa mampu mengembangkan sikap ilmiah!”
“Bahkan lebih jauh lagi, setelah merendahkan ummat Islam; tulisan ini langsung memuja-muji pemerintah Cina yang disebutnya sigap mengatasi wabah di Wuhan secara ilmiah, dan dalam sepekan bisa membangun rumah sakit untuk menangani. Tulisan yang semula diunggah di salah satu aplikasi media sosial ini, entah oleh kekuatan atau jaringan apa, tiba-tiba menyebar ke banyak WA grup; dan ditelan mentah oleh banyak orang…”
“O ya, ingat saya! Saya pernah dapat kirimannya…” celetuk Giman dengan lugu.
“Saya juga…” sambung kang Cecep.
Kami saling berpandangan. Rasa-rasanya semua pernah mendapat kiriman yang sama.
“Padahal, muatan tulisan tersebut pada dasarnya adalah pemelintiran fakta!” tegas pak Amal.
Kemudian pak Amal dengan panjang lebar menjelaskan bahwa pada tahun 2012 memang terjadi wabah MERS, Middle East Respiratory Syndrome, yang disebabkan oleh keluarga virus yang sama dengan virus yang sekarang mewabah, yaitu virus corona. Dinamai corona karena bentuknya yang menyerupai mahkota, atau crown dalam bahasa Inggris.
MERS memang bermula dari Saudi Arabia, demikian lanjut pak Amal; dan menyebar ke 26 negara dengan 2.494 kasus dilaporkan, sebagian besar di Saudi Arabia. MERS ini menyebabkan setidak 858 orang meninggal dunia atau 34,45 persen dari mereka yang terinfeksi.
Tapi, begitu pak Amal menjelaskan, sebelumnya di tahun 2002, virus dari keluarga corona virus juga telah melahirkan apa yang kemudian disebut wabah SARS, Severe Acute Respiratory Syndrome. Wabah SARS ini bermula dari Guandong, Cina Selatan dan menyebar ke lebih dari 37 negara dengan 8.437 kasus yang dilaporkan, dan setidaknya 813 orang atau 9,63 persen diantaranya meninggal.
“Artinya, orang sedang dibodohi ketika ada yang mengatakan bahwa corona virus yang sekarang beredar itu berasal dari Saudi Arabia. Bahkan menyebutnya sebagai berasal dari virus SARS yang sama-sama dari China pun tidak bisa. Ini benar-benar virus baru, entah alamiah atau rekayasa; itu soal lain lagi yang masih harus dilacak dari banyak sisi…” tegas pak Amal.
“Pendapat-pendapat semacam ini, yang pada dasarnya ditulis atau divideokan untuk mempertahankan atau membela pihak tertentu, sambil secara bersamaan menyerang kelompok lain, akhir-akhir ini memang cenderung mewabah, bahkan dengan kecepatan persebaran yang mungkin melebihi wabah coronanya sendiri…”
“Pendapat-pendapat semacam ini, kalau dilacak, hampir bisa dipastikan lahir dari latar perseteruan ekonomi-politik global maupun nasional atau kombinasi keduanya. Karena itu, jangan kaget: kecuali ada yang membela pemerintah Cina, seperti yang tadi kita bahas; ada juga yang habis-habisan menyerangnya. Lebih lanjut, kecuali ada yang membela pemerintah Amerika, pasti banyak juga yang menelanjanginya!”
“Kalau tulisan yang saya sebut di awal tadi arahnya seperti menyerang Saudi Arabia, pada dasarnya itu hanyalah perantara, dan bisa kita duga bahwa sebenarnya ia lebih kuat beraroma lokal-nasional, terkait dengan interaksi saling tampar diantara kepentingan-kepentingan yang sedang berebut pengaruh di sini; meski tetap saja tak bisa dihindari adanya aroma global sebagai salah satu latarnya. Sebenarnya yang semacam ini masih banyak, termasuk variasi fokus, tema dan ragam sasaran tembaknya. Sedemikian banyaknya, sehingga kalau boleh diibaratkan, dengan mata tertutup pun sampeyan dengan gampang bisa menemukannya.”
“Yang jadi masalah: bagaimana bisa bahkan disaat menghadapi masalah kemanusiaan, masalah keselamatan manusia; orang masih terus saja mengandalkan dan memproduksi aji-aji pemelintiran, framing, logical fallacy, berita hohong, hoax?”
“Atau, kalau dipandang dari sisi lain, kita malah bisa mengatakan: bukankah semua masalah peradaban pada dasarnya adalah masalah manusia dan kemanusiaan, entah itu politik, ekonomi, budaya dst; dan keributan di sekitar kasus corona virus ini hanya mempertegas kenyataan bahwa peradaban kita gagal merealisasikan kemanusiaan dan menyelamatkan manusia? Dan ini hanya menunjukkan kenyataan bahwa manusia gagal atau bahkan batal menjadi manusia!” tegas pak Amal sambil menarik nafas panjang.
“Astaghfirullahal adzim. La ilaha illa anta subhanaka inni kuntum minadz dzalimin. Ya rahman irhamna, ya hafidz ihfadhna…” Suara kang Sam terdengar memelas ketika mengucapkannya.
Kami, para santri, hanya bisa termangu.
