Hampir seluruh penguasa di dunia tak terkecuali pemerintah Indonesia, beberapa pekan terakhir ini gesit mengajak seluruh warganya melakukan pencegahan dan tindakan preventif atas merebaknya COVID-19.
Dalam konteks tersebut, usaha Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau dan menghadirkan dalil keagamaan agar warga tetap waspada dan berdiam diri di rumah dan tidak perlu melaksanakan kegiatan ibadah dan acara keagamaan yang bersifat massal. Hal itu dilakukan atas dasar kaidah fikih: Mencegah lebih baik dari pada mendatangkan obat.
الحماية خير من العلاج.
Semua komponen masyarakat bergerak bersatu padu membendung daya sebar virus asal Tiongkok yang merebak di akhir tahun 2019 itu
Ternyata efek Corona bukan sekadar menyibukkan dunia kesehatan tapi juga meletihkan para dokter untuk mencari penangkal. Sungguh makhluk berukuran nano yang tidak tersentuh oleh tangan dan tak terdeteksi oleh pandangan itu mampu mengalihkan pandangan dan menyentakkan dunia.
Makhluk lemah ini ternyata mampu melumpuhkan infrastruktur pemerintah negara adidaya.
Yang menarik, di era industri 4.0. Yang canggih serta serba digital ini, ternyata Corona mampu menguak kembali pemikiran keagamaan Islam yang muncul sekitar 14 abad yang silam. Hal ini tampak dari beragamnya opini atau pendapat yang timbul di kalangan pemeluk agama Islam dalam menyikapi kebijakan pemerintah dan imbauan MUI dalam meñghadapi virus mematikan itu.
Cikal bakal perbedaan itu sesungguhnya sudah ada sejak zaman Khulafaur Rasyidin, yang kemudian mengkristal menjadi pandangan dan aliran teologi Islam. Penyebabnya rak lain adalah kondisi sosio-politik dan latar belakang geokultur yang ada pada saat itu. Inilah yang kemudian menimbulkan perbedaan dalam menyikapi berbagai problematika.
Supaya kita menyatu dalam menyikapi persoalan Corona, kita perlu bercermin dan belajar dari ketiga kelompok aliran Islam yang lahir pada permulaan abad Hijriyah.
Pertama, aliran jabariyyah. Berasal dari akar kata “jabara” berarti paksa.
Aliran ini diusung dan diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarluaskan oleh Jaham bin Shafwan. Secara historis pandangan ini muncul sejak masa sahabat Rasulullah dan berkelanjutan sampai Bani Umayyah.Pandangan ini menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi sepenuhnya karena garis takdir yang telah ditentukan oleh Allah.
Oleh karena itu, usaha dan ikhtiar bukan faktor penentu dalam perjalanan hidup manusia. Kaum Jabari berkeyakinan bahwa semua peristiwa terjadi berdasarkan skenario dari Allah SWT. Garis takdir amat kental dalam keyakinan kelompok ini. Keyakinan mereka dibangun di atas konstruksi dogma dan dan dalil agama yang kering. Para penganut faham Jabariyyah biasanya memperkokoh keyakinan mereka hanya pada pemberi “Asbab”, (Allah ), bukan pada timbul nya “Musabbab” oleh alam kosmos (Sunnatullah).
Dalam kaitannya dengan tersebarnya virus Corona, menurut penganut faham ini, itu semata karena takdir dan ketentuan dari Allah. Oleh sebab itu apa pun yang ditimbulkan oleh Corona merupakan garis takdir yang tidak perlu dikhawatirkan.
Kedua, aliran Qadariyah yang muncul pada tahun 70 H/689 M. Kelompok kedua ini di bangun oleh Ma’bad Aljuhami Albisri pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan ( 687-705 M). Faham teologis ini dibangun di atas pondasi keyakinan usaha dan ikhtiar.
Kesuksesan mereka karena hasil upaya maksimal. Intervensi kekuatan Allah hanya sekadar faktor pelengkap dari tetesan keringat mereka .Mereka mempercayai usaha dan upaya manusia dan pada kecanggihan teknologi serta kemajuan ilmu pengetahuan. Para penganut faham ini lebih mengandalkan logika dan rasio, ketimbang keyakinan hati dan kekuatan iman. Warna pemahaman ini barang tentu tidak percaya bahwa tersebarnya virus Corona berhubungan atau punya kaitan sebab-akibat dengan merebaknya pelaku dosa dan menjalarnya maksiat. “Tidak ada hubungan antara wabah penyakit apa pun dengan kemaksiatan manusia.” Begitu kira-kira doktrin yang mereka usung. Merebaknya virus Corona adalah satu hal, dan kemaksiatan adalah hal lain. Tegasnya: virus Corona lahir bukan akibat mengkonsumsi hewan yang diharamkan oleh agama, seperti kelalawar, ular, dan seterusnya. Faham Qadariyah ini hanya melihat dan meyakini faktor “Musabbab”, namun mengabaikan Sang Pemberi “Asbab”.Mereka memposisikan nalar di atas otoritas wahyu.
Ketiga, aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Penganut faham ini merupakan kelompok penyeimbang di atara dua kutub pemikiran di atas. Mereka memiliki sikap dan pandangan netral dan keep balancing. Menjadi penyeimbang dan selalu berada di ranah Mutawassith. Mereka tidak terlalu berlebihan dan tidak pula berenang di arus ekstrim, tetapi menyeimbangkan antara ikhtiar dan tawakkal. Mereka selalu berusaha bertawakkal mendekatkan diri pada Allah SWT dengan doa. Mereka senantiasa menjaga kebersihan fisik dan juga kebersihan bathin.
Kelompok ini mematuhi dan tunduk pada aturan agama dan ilmu pengetahuan. Keseimbangan antara nalar dan iman, kesetaraan antara kejernihan hati dan kebeningan nalar. Kelompok ini berkeyakinan bahwa Allah yang menjadi “Musabbab”, tapi juga Dia yang menciptakan “Asbab”. Dia yang menurunkan bala wabah penyakit, namun Dia pula yang memberikan cara menghindari dan penyembuhan wabah penyakit.
Setelah membaca pemikiran ketiga kolompok ini, myncul pertanyaan: Kecenderungan kita berada dimana? Yang pasti: dalam mendudukkan persoalan antara Jabariyah, Qadariyah dan Ahlu Sunnah Wal Jamaah, kita perlu melihat diri dan menakar keimanan kita. Semoga COVID-19 menjadi penyebab lebih laju derap langkah kita menuju dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta makhluk superhalus yang telah membuat cemas sebagian besar penduduk bumi itu. Wallahu ‘alam.
Penulis: Qasim Shaleh, Lc., MA, alumni Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.