“Kita seperti kehilangan ukuran untuk menentukan kebenaran” celetuk kang Sam sambil menyeruput sisa kopinya.
Kyai Anom sendiri masih asyik mendengkur di pojok gotha’an, seperti tak peduli terhadap kegelisahan kami yang dipicu oleh pernyataan-pernyataannya.
“Ada banyak sudut, jarak, sisi pandang yang melahirkan sekian banyak simpulan yang juga berbeda. Yang jadi masalah sekarang bukannya banyaknya simpulan, tapi pengerasan tiap simpulan yang berbeda. Melihat gejala ini, sepertinya akal sehat sedang sekarat, ukuran kebenaran sudah bergeser. Apa yang benar bagi seseorang adalah apa yang dikatakan oleh kelompok, jaringan, golongan atau partai dimana dia ada di dalamnya. Pendapat di luar itu langsung dianggap sesat dan menyesatkan. Rasa-rasanya kita memang sedang berada di dalam gerhana bulan total,” gumam kang Sam seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Akibatnya bisa lebih ironis lagi: lantas bagaimana bisa tahu apa yang terbaik, sementara posisi kita di tengah lalu lalang semua peristiwa tak pernah bisa sepenuhnya dikenali, dimana posisi kita di tengah semua unsur pembentuk kemarin-kini-esok tak pernah bisa difahami?”
“Contoh sederhana saja: hampir tak ada peristiwa yang bersebab tunggal, tapi anehnya kita selalu lebih asyik untuk melihat segala sesuatunya dari sebab tunggal; itupun seringkali dilakukan tanpa pernah memahami peta lapangannya atau yang lebih menyedihkan, bahkan sama sekali tidak tahu lapangannya. Ini penyederhanaan yang naif, yang hanya berfungsi memuaskan kebutuhan psikologis belaka. Akibatnya, kita bukan hanya cenderung gagal menyusun diagnosa, tapi juga prognosanya, sehingga acap salah merumuskan terapi. Padahal al Qur’an berkali-kali mengingatkan tentang sifat kita yang gampang terburu-buru, tergesa-gesa…” gumam kang Sam makin lirih.
“Lantas kita mesti bagaimana?” ujar lik Jum, kali ini dengan suara yang terdengar memelas.
“Menurut saya, sumbernya adalah bahan dasar bangunan pengetahuan kita…” sahut lik Cecep.
“Kalau saya tidak salah dengar, mbah Sirra pernah bicara bahwa setidaknya ada dua jenis bahan dasar pengetahuan. Yang pertama adalah pengetahuan ‘langsung’, ini menghasilkan kepastian. Yang kedua adalah pengetahuan ‘biasa’, ini menghasilkan kemungkinan. Para Rasul, Nabi dan setidaknya wali, menyandarkan lakunya pada yang pertama, sementara para ‘ilmuwan’, cendekiawan, ‘saintis’ dan seterusnya menyandarkan lakunya pada yang kedua.” Lanjut lik Cecep.
“Kalau boleh secara bebas memakai ungkapan para ‘ulama, ini menyangkut pengetahuan yang qath’i dan dzonni,” timpal kang Sam.
“Keduanya pada dasarnya tidak berlawanan, tapi saling melengkapi. Kita ambil contohnya dari sejarah Nabi sendiri: ada saatnya turun wahyu sebagai keputusan untuk suatu masalah. Dalam kaitan ini semua sahabat sami’na wa atho’na, tanpa ruang untuk membahasnya lagi. Mungkin boleh kita pakai analogi qath’i dalam kaitan ini. Tapi ada saatnya keputusan tidak langsung turun lewat wahyu, dan dalam kondisi seperti ini perintahnya adalah syura bainahum, bermusyawarahlah bersama mereka. Artinya, lewat musyawarah, kita kumpulkan semua pendapat yang pada dasarnya pasti masuk kategori dzonni, sampai mengerucut pada satu simpulan bersama. Lanjutan dari musyawarah ini adalah faidza azamta fatawakkal alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin. Artinya, bisa jadi yang asalnya dzonni ini pada akhirnya jadi kenyataan karena diridloi oleh Allah,” jelas kang Sam.
“Kalau keduanya dipertentangkan, maka yang terjadi adalah seperti tragedi Nabi Isa alaihi salam, yakni penghakiman kenabian Nabi Isa alaihi salam yang qath’i, oleh pendapat ulama Yahudi yang dzonni…” begitu sambungnya.
“Rasanya kita jarang atau malah tak pernah bermusyawarah. Tampaknya yang terjadi malah sebaliknya, setiap kelompok makin menutup dirinya untuk berdialog dengan yang lain…” sambung lik Jum dengan lugu.
“Itulah sebabnya yang sekarang banyak bertumbuh-kembang adalah para pedagang tetelan. Pedagang potongan-potongan tulang yang dicampur-baur, tidak karuan asal usulnya. Celakanya, banyak orang menyangka dan percaya bahwa tetelan tersebut sebagai bentuk utuh anatomi binatang asalnya…” sahut lik Cecep sambil terbahak-bahak.
“Lebih celaka lagi, mereka ribut dan bahkan gelut memperebutkan klaim bahwa tetelannyalah yang paling utuh…” sambung lik Cecep di tengah tawanya.
“Kalau soal politik atau ekonomi, orang lantas ribut dan gelut; itu sangat bisa dipahami, karena mereka sedang royokan balung, keroyokan tulang. Tapi aneh jadinya kalau ribut dan gelut ini lantas merembet ke soal-soal dimana kepentingan dan keselamatan rakyat menjadi taruhannya, masalah ancaman corona virus misalnya. Kan luar biasa! Apalagi ketika sudah merambah ke soal agama…” gumam Lik Jum.
Tentu saja saya sendiri merasa ini soal paling aneh bin ajaib. Berdebat? Baik-baik saja. Adu argumentasi? Baik-baik juga. Itupun harus dilakukan secara bermartabat, dengan kesiapan masing-masing untuk menerima kemungkinan kelemahan di pihaknya. Tapi bertengkar? Rasanya tidak masuk akal, apalagi kalau diukur dari tujuan menyelamatkan rakyat misalnya, atau malah dari tujuan agama itu sendiri. Menurut saya, rasa-rasanya ada sesuatu yang salah dalam bangunan pikiran orang yang suka mempertengkarkan hal-hal semacam ini.Saya jadi teringat dawuh mbah Sirra “Ada ungkapan sufi: agama ibarat salju, kalau kau tak lebur di dalam salju, maka saljulah yang akan lebur di tanganmu. Dan inilah yang berbahaya, ketika kebenaran kemudian diidentikkan dengan orang atau kelompok tertentu, maka segala kemungkinan kerusakan bakal terjadi.”
