Ads
Tasawuf

Dari Kisah-kisah Pertobatan (Bagian 2)

Kembali kepada Allah

Lafal “tobat” berasal dari bahasa Arab, taubah, yang berarti kembali. Afal tersebut dipakai dalam terminologi tasawuf dalam arti “kembali kepada Allah setelah terjebak dalam kesesatan doa”.  Niatan untuk kembali kepada kebenaran itu biasanya didahului apa yang disebut kaum sufi dengan yaqzhah. Yakni  kesadaran yang tiba-tiba dan menggugah untuk kembali pada kebenaran. Yaqzhah berarti “sadar, juga berarti ingat, bangun.”  Ayam  jago dalam bahasa arab disebut abu yaqzhan),  karena ia telah bangun menjelang subuh, dan tak pernah tertidur waktu banyak manusia terlelap tidur — malah sudah menyuarakan kokoknya yang merdu untuk membangunkan yang lain.

Kesadaran awal untuk kembali kepada kebenaran itulah yang disebut yaqzhah. Sebelum munculnya yaqzhah  — kata Ibn Qayyim (w. 751 H) —  orang masih dalam keadaan mabuk kelalaian (sakarat al-ghaflah) (lihat  Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madarij al-Salikin, Dar al-Rasyad, al-Haditsah, vol.  1, hlm. 123). Lalu tiba-tiba saja dia tersadar ke arah kebaikann  dan kebenaran. Tersadarnya ada kalanya didahului suatu peristiwa,  dan boleh jadi pula tidak.

Kalau kita memperhatikan biografi para sufi, akan kita temukan sejumlah sufi yang mulanya orang-orang bejat, tetapi kemudian, oleh peristiwa tertentu, berubah. Salah satunya adalah Habib al-‘Ajami, sufi kenamaan di Basrah. Semula Habib seorang hartawan yang suka membungakan uang alias rentenir. Hampir setiap hari ia sibuk menagih piutang. Jika kecewa dalam perjalanan, ia menuntut tambahan bayaran dari langganan, dengan alasan sepatunya menjadi kisut karena perjalanan menagih piutang.

Suatu hari Habib mendatangi orang yang berutang, tetapi yang didatangi sedang tidak ada. Habib meminta ganti rugi kepada istri orang itu. Si istri tidak dapat memberikan apa-apa, karena mereka tak memilikinya  — kecuali hanya leher domba,sambil berkata, “Kami tidak punya apa-apa  kecuali leher domba yang masih tersisa setelah kami menyembelihnya kemarin. Jika Anda suka akan kami berikan? “Bolehlah!” jawab si rentenir. Dia mengira akan mendapat leher domba yang lumayan untuk dibawa pulang. Ternyata, leher domba itu pun tak banyak. Istri tuan rumah menawarkan untuk memasaknya. Habib menerima.

Setelah leher domba itu  masak, dan istri tuan rumah akan memasukkannya ke dalam mangkuk, tiba-tiba seorang pengemis datang. Habib segera tampil sembari berseru, “Jika yang kami miliki ini kami berikan kepadamu, pasti kamu tidak akan menjadi kaya, tetapi kami akan kelaparan!” Si  pengemis hanya memohon, “Yang saya perlukan bukan kaya, tetapi sekadar melepaskan lilitan rasa lapar.”

Mendengar keluhan perih si pengemis, sang istri tuan rumah segera akan mengambil sedikit dari leher domba itu. Tetapi, tak dikira ketika membuka tutup belanga, yang ia temukan bukannya leher domba tetapi darah hitam yang menjijikkan. Melihat hal itu wajahnya memucat dan segera mendapatkan si rentenir itu. “Saksikanlah sendiri, akibat perbuatan terkutuk Anda, daging yang masih bagus berubah menjadi darah busuk!” ucap si wanita itu sambil menangis. Menyaksikan kejadian itu, dada Habib terbakar oleh api penyesalan. Penyesalan yang membawanya kepada pertobatan.  

Itulah yang disebut yaqzhah.  

Bersambung

Penulis:  Prof. Dr. Yunasril Ali, M.A.,  dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sumber: Panjimas, 13-25 Desember 2002

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda