Perkembangan Masjid Agung Solo mengalami masa gemilang ketika Sunan Paku Buwono IV dan Paku buwono X berkuasa. Tingginya kesadaran religius raja dan sikap politik keagamaan raja menjadi faktor pendorongnya.
Paku Buwono IV (1788-1820) dikenal sebagai raja yang punya hubungan intensif dengan para ulama, baik yang tinggal di Kauman maupun pedesaan sekitar Solo. Interaksi ini mampu memupuk semangat intelektual dan membuka cakrawala Sinuwun (sebutan Raja Solo-red) tentang dunia Islam. Pengetahuan ini mengendap dan tersalur melalui karya-karya sastra bernuansa Islam. Petuah yang disisipkan dalam serat piwulang garapan Paku Buwono IV terasa sentuhan islaminya. Karya sastra seperti Serat Wulangreh, Wulang Putri, Wulang Dalem dan lainnya disesuaikan dengan ajaran Islam melalui Quran dan Hadis.
Di sisi lain, melalui Masjid Agung PB IV mendidik masyarakat untuk taat beribadah sekaligus gemar membaca karya sastra. Bahkan sastrawan cum wartawan Mahbub Djunaidi dalam novel Dari Hari ke Hari menggambarkan bagaimana sampai 1945, para pengelola Masjid Agung Solo dan sekolah Mambaul Ulum memiliki perpustakaan pribadi. Ini menggambarkan betapa tingkat kesadaran ulama pada literasi. Masuknya karya sastra penuh muatan nilai-nilai Islam ke jantung peradaban Jawa menjadi salah satu tonggak pertautan budaya Jawa dengan Islam selain gamelan dalam perayaan sekaten.
Interaksi raja dengan ulama itu juga tercermin ketika PB IV yang bergelar Sunan Wali dan Ratu Ambeg Wali Mukmin mendatangkan para ulama ke Solo. Seperti Kiai Jamsari dari Banyumas yang selanjutnya tinggal di sebelah barat daya Kraton. Di tempat tersebut Kiai Jamsari mendirikan masjid dan surau dan mengajarkan Islam ke masyarakat, bangsawan, dan pejabat istana sehingga ajaran Islam berkembang merata. Kampung kediaman Kiai Jamsari dikenal sebagai Jamsaren. Pondok Pesantren Jamsaren menjadi salah satu pondok tertua di Jawa meskipun pernah vakum selama 50 tahun setelah Perang Diponegoro pada 1825 karena para ulama mengungsi ke luar Surakarta. Ponpes Jamsaren kembali aktif pada tahun 1880.
Pertautan yang kuat antara Raja dan Ulama ini membentuk relasi yang mencegah timbulnya konflik kekuasaan. Fungsi masjid tidak sekadar sebagai tempat sholat tapi juga sebagai wahana musyawarah untuk memperbincangkan politik Islam dan kondisi keberagaman masyarakat. Ruang dialektika yang diciptakan oleh Sinuwun ini berhasil mengembangkan Masjid Agung Solo tidak hanya tempat salat tetapi juga membicarakan masalah sosial masyarakat. Sebuah cita-cita yang kini juga menjadi banyak impian pengelola masjid di Tanah Air.
Sinuwun Kaping Sedasa
Kajayaan berikutnya terkait Masjid Agung Solo adalah saat Sunan Paku Buwono X berkuasa (1893-1939). Ia sejak kecil dididik agama oleh Paku Buwono IX dengan kidung-kidung dan geguritan nasihat kebaikan dan budi pekerti seperti dalam Serat Woelang Dalem. Buku ini memberi petuah dan ajaran kepada putra mahkota antara lain tentang keagamaan, pergaulan dengan sesame, kepribadian yang baik, tidak sombong, adil, hingga mencintai rakyat. Ketika berkuasa, PB X mewujudkan reproduksi identitas Islam tercermin dari pembangunan menara masjid, memperbaiki tempat wudlu, mengadakan pengeras suara, jam, menciptakan suasana islami di dalam istana dan pembangunan kelas madrasah Mambaul Ulum di kawasan Masjid Agung.
Untuk mendekati masyarakat yang masih memeluk kepercayaan lokal dan abangan, PB X memiliki strategi bahwa ulama yang tergabung dalam birokrasi reh pangulon diminta berkhotbah dalam bahasa Jawa dan Arab. Reh pangulon adalah lembaga yang berfungsi mengurusi administrasi keagamaan secara integratif di bawah pimpinan penghulu tafsir anom. Para pegawai yang membantu reh pangulon disebut sebagai abdi dalem pethakan yang berarti golongan putih (suci). Mulai 27 Muharram tahun 1823, atas perintah Raja, khotbah dilakukan dengan bahasa Jawa. Ini tentu menggembirakan masyarakat karena dapat memahami isi khotbah dengan lebih jelas. Apalagi ketika masjid Agung diberi mikrofon dan loudspeaker dan siarannya dikirim melalui radio miliki Kasunanan masyarakat muslim semakin bersemangat mendalami Islam.
Sinuwun juga tidak sekadar menganjurkan masyarakat salat ke Masjid Agung. Ia sendiri tiap Jumat salat di masjid itu. Ketika masih muda, ia kerap bersama permaisuri berjalan kaki dari keraton ke Masjid Agung. Setelah beranjak tua, ia menggunakan kereta kerajaan. Kontribusi luar biasa dari PB X adalah didirikannya madrasah Mambaul Ulum sebagai peletak dasar pendidikan Islam modern yang menggabungkan pendidikan Islam dan umum. Awalnya tujuan dari pembentukan madrasah ini adalah menjawab soal regenerasi yakni mengganti ulama pengelola masjid dan langgar yang sudah wafat, dan menyiapkan kader penghulu handal untuk memegang jabatan di birokrasi kerajaan. Tetapi ada juga yang memberi tafsiran bahwa langkah Paku Buwono X secara simbolik adalah kritik tajam terhadap pemikiran Snouck Hurgronje yang menyarankan pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi ketat para penghulu.
(Bersambung)
Sumber : Sejarah Masjid Agung Surakarta, 2014