Ads
Hamka

Hamka tentang Hamka (bagian 8)

Kalau banyak kawannya terhenti kegiatan belajar karena kawin, sehingga ada pepatah pelajar di surau-surau , ilmu terikat di antara kedua belah paha perempuan, maka bagi Hamka justru  dia baru memulai kegiatan hidup sesudah kawin. Ia menikah dengan Siti Raham di usia 20 tahun.

Hidup Dimulai Setelah Kawin

Setelah kawin tahun 1929 itu, dia telah mempunyai bekal yang jarang pemuda lain sebaya dia mempunyai bekal sekaya itu. Dia telah mengenal Tjokroaminoto, dia telah mengenal Haji Agus Salim, dia telah mengenal pemimpin-pemimpin Muhammadiyah yang dikagumi waktu itu, seperti Kiai Haji Mas Mansur dan Haji Fachruddin dan lain-lain.

Sebab itu, dia telah mempunyai apa yang dinamakan orang di waktu sekarang “mission”, yaitu cita-cita hidup yang hendak diperjuangkan. Kalau kita simpulkan cita-cita ialah, “Bergerak untuk kebangkitan kembali umat Islam”, sebagai yang diperjuangkan ayahnya, sebagai yang diajarkan iparnya, dan sebagai semangat Islam Merdeka yang diterimanya dari Tjokroaminoto, dan sebagai yang dibacanya di surat-surat kabar bahasa Arab dari Mesir dan lain-lain.

Dia pun tertarik dengan gaya pidato ayahnya, atau iparnya, atau gurunya Tjokroaminoto, dan dia tertarik dengan Kiai Mas Mansur yang didengarnya di Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada tahun 1928. Dan dia pun tertarik kepada pidato-pidato Abdul Muis (pengurus Sarekat Islam dan pengarang Salah Asuhan) ketika dia datang ke Sumatera Barat sekitartahun 1920, sebelum diinternir dari sana.

Cara mereka berpidato adalah memakai trubuni yang luas, sehingga mereka  berpidato sambil berjalan, sambil melihat kepada orang banyak. Di zaman mereka belum ada mikrofon.

Semua yang dilihat dan didengarnya dan dibacanya itu, mengesan ke dalam hatinya. Lalu dilatihnya dirinya berpidato dan mengarang.

Kesanggupan lisan dan kesanggupan tulisan!

Dengan lisan dia akan berpidato, bertablig, mengajar dan mengaji. Di dalam kongres Muhammadiyah ke-19 ia berpidato tentang “Agama Islam dalam adat Minangkabau”. Baru itu kali seorang pembicara mencoba mempertalikan adat dengan agama di sebuah kongres yang bersifat “nasional”.

Di samping itu tertarik hatinya mengarang buku-buku pengetahuan Islam. Di tahun 1929 dia mengarang buku-buku: Sejarah Sayidina Abu Bakar Shiddiq; Ringkasan Tarikh Ummat Islam; Kepentingan Tabligh; Adat Minangkabau dan Agama Islam. Buku yang disebut terakhir itu dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.

Dia telah mulai menempuh hidup, melakukan tugas bertablig atau berdakwah, kata orang sekarang. Di samping itu mengarang. Dia sudah “bernama”.

Kalau banyak kawan-kawannya terhenti kegiatan karena kawin, sehingga ada pepatah pelajar di surau-surau , “al-ilmu marbuthun baina fakhidzaiha ilmu tergantung di antara kedua belah paha perempuan), maka bagi teman kita, dia telah memulai kegiatan hidup sesudah dia kawin.

Bersambung  

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda