Bila sebuah godaan setan menimpa kamu maka mohonlah perlindungan kepadaAllah. Dia-lah yang Mahamendengar dan Mahamengetahui.
Kapan Membaca ta’adwudz
Sekelompok ahli qiraat berpendapat, isti’adzah dilakukan setelah membaca Alquran. Mereka beralasan dengan zahir ayat “Fa idza qaratal qur-ana fasta’idzbillahi minasy syaithanirrajim (Maka bila engkau membaca Alquran mohonlah perlindungan kepada Allahdari setan yang terkutuk).” – yang menyebut “’membaca’ (qara’ta) lebih dulu sebelum ‘berlindung’ (fasta’idz), dan yang pertama itu dengan fi’il madhi, kata kerja masa lampau (meski dalam aturan gramatika Arab bentuk lampau tak selalu harus menunjuk masa lalu). Pengucapan ta’awudz setelah pembacaan ayat itu juga dimaksudkan untuk menghindari sikap ujub sesudah melaksanakan suatu bentuk ibadah.
Di antara yang berpendapat seperti itu adalah Hamzah, seperti diutarakan Abu Qasim al-Maghribi dalam Kitabul ‘Ibadatil Kamil. Diriwayatkan juga yang begitu dari Abu Hurairah r.a., tetapi ini riwayat gharib (asing, menyendiri), dari satu penyampaian tentang Ibbn Sirin. Tetapi ini memang pendapat Ibrahim an-Nakha’i dan Dawud dari mazhab Zhahiri. Al-Qurthubi juga menuturkan dari Abu Bakr ibn al-A’rabi dari satu kelompok, dari Imam Malik rahimahullah, bahwa ta’awudz dibaca sesudah Fatihah, tetapi Ibnul ‘Arabi sendiri menilai ini juga riwayat gharib. Ada lagi pendapat lain: isti’adzah itu dilakukan dua kali, sebelum dan sesudah membaca Quran.
Hanya saja, pendapat masyhur yang dipegang ulama jumhur ialah bahwa ta’awudz dibaca sebelum tilawatil Quran—untuk menolak si pemberi was-was (setan) dari pembacaan. Dan kalau begitu makamakna ayat “Maka bila engkau membaca Alquran mohonlah perlindungan dari setan yang terkutuk” adalah “bila engkau ingin membaca Alquran”—sama dengan firman Allah Ta’ala (Q. 5:6). “Bila kalian berdiri sembahyang maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian” (yang juga memakai kata kerja bentuk lampau untuk ‘berdiri’—(quntum) berarti “bila kalian hendak salat”. Dalilnya adalah hadis berikut:
Riwayat Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullah dari Muhammad ibn Hasan ibn Anas, berturut-turut ke atas sampai kepada Abu Sa’id: “Adalah Rasulullah s.a.w. bila bangun malam hari, membuka salat beliau dan bertakbir, lalu mengucapkan:
Subhanaka llahumma wa bihamdika, wa tabaraaka smuka wa ta’aalaa jadduka, wa laa ilaaha ghairuk (Mahasuci Engkau ya Allah, dengan segala puji kepada-Mu, mahaberkat nama-Mu dan mahaluhur keagungan-Mu, tiada tuhan selain Engkau). Kemudian mengucapkan Laa ilaaha illallah (3 kali),
Kemudian membaca: A’udzu billahi minasy syaithanir rajim, min hamzihi wa nafkhihii wa naftsih (Aku berlindung kepada Yang Maha Mendengar dan Mahatahu dari setan yang terkutuk, dari godaannya, dari tiupannya dan semburannya).” Dan barulah membaca Fatihah.
“Jika kalian menemukan dua saudaramu bertengkar, saling mencaci, suruh mereka membaca ta’awudz. Jika mereka lakukan itu, maka perasaan marah dan murka akan pergi.”
Riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah dari hadis Syu’bah dari sumber pertama Nafi’ ibn Muth’im dari ayahnya. Katanya, “Aku melihat Rasulullah s.a.w., ketika memasuki salat mengucapkan: “Allahu akbar kabiiraa i (3 kali), Alhamdu illahi katsiiraa (3 kali), subhanallahi bukrtan wa ashiilaa” (3 kali), lalu “Allahumma innii a’udzu bika minasy syaithani min hamzihii wa nafkhihi wa naftsih. (Lalu membaca Fatihah). Masih ada pula riwayat senada yang bersumber pada Ibn Mas’ud dan riwayat Imam Ahmad yang lain.
Berikut ini riwayat Al-Hafizh Abu Ya’la dengan sumber pertama Ubay ibn Ka’b r.a. Katanya, “Dua orang saling mengutuk di hadapan Nabi s.a.w., dan salah satunya terpisah hidugnya lantaran begitu murka. Maka kata beliau, ‘Aku tahu sesuatu yang kalau dia mengucapkannya akan sirna yang sedang dirasakannya itu: A’uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim”. Demikian pula diriwayatkan Nasa’i.
Dalam versi lain, yang diriwayatkan Ahmad ibn Hanbal, Turmudzi, dan Nas’ai dalam Al-Yaum wal Lailah (Hari dan Malam), dengan sumber-sumber pertama ‘Abdurrahman ibn Abi Laila dari Mu’adz ibn Jabal r.a., kalimat Mu’adz: “Dua orang laki-laki saling memaki di hadapan Nabi s.a.w. Yang seorang marah bukan main, sehingga terbayang padaku hidungnya terpisah, saking marahnya. Maka Nabi s.a.w. bersabda, ‘Aku tahu satu kalimat yang kalau dia ucapkan akan pergi kemarahannya yang didapatnya itu.”
“Apa itu, ya Rasulullah?” tanya Mu’adz.
“Ia berkata,” jawab Rasulullah, “ ‘Allahumma inni a’uudzu bika minasy ssyaithaanir rajim’.”
Berkata perawi: “ Maka Mu’adz pun menyuruh orang itu begitu, tapi ia menolak, malahan makin marah.” Ini redaksi Abu Dawud.
Berkata Turmudzi: ini hadis mursal, ‘Abdurrahman ibn Abi Laila tidak bertemu Mu’adz ibn Jabal karena dia meninggal sebelum tahun 20 (Hijri). Tetapi menurut Ibn Katsir, bisa jadi ‘Abdurrahman mendengarnya dari Ubay ibn Ka’ab, dan sampai kepadanya dari Mu’adz ibn Jabal, sebab cerita ini tidak hanya disaksikan oleh seorang sahabat r.a.
Bukhari, dalam pada itu, meriwayatkannya dari sumber pertama Sulaiman ibn Shard r.a. Dua orang laki-laki, dalam versi ini, saling memaki di hadapan Nabi s.a.w., “Sedangkan kami duduk di dekat beliau. Salah satu dari yang dua itu mencaci saudaranya dengan begitu marahnya, dengan wajah memerah. Maka Nabi bersabda, ‘Aku tahu satu kalimat yang kalau ia ucapkan pasti pergi dari dia yang dirasakannya itu—kalau saja ia mau melafalkan a’udzu billahi minasy syaithanir rajim’. Maka orang-orang pun berseru kepada orang itu: ‘Apa kau tidak dengari yang dikatakan Rasulullah s.a.w.?’ Tapi jawab orang itu: ‘Aku tidak gila!’ (Ibn Katsir, I:12-14).
Sebuah riwayat dituturkan Thabari (w. 310 H., empat setengah abad lebih tua dari Ibn Katsir), dari sumber pertama Ibn ‘Abbas r.a. katanya, “Yang pertama kali diturunkan Jibril kepada Muhammad ialah, Jibril berkata, ‘Ya Muhammad, ucapkan “Asta’idzu bis-sami’il ‘alimi minasy syaithanir rajim (Aku berlindung kepada Yang Maha Mendengar dan Mahatahu dari setan yang terkutuk).” Kemudian katanya, “Ucapkan “Bismllahir rahmaniir rahim.” Kemudian katanya, “Iqra’ bismi rabbika ladzi khalaq.” Berkata ‘Abdullah ibn ‘Abbas, “Itulah awal surah yang diturunkan Allah kepada Muhammad lewat lidah Jibril. Ia menyuruhnya berlindung Allah, bukan kepada makhluk-Nya.” (Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wiili Ayil Quran, I:50).
Tetapi menurut Ibn Katsir, riwayat itu gharib (asing, menyendiri). “Dalam rangkaian perawinya terdapat kedaifan dan keterputusan, wallahu a’lam” (Ibn Katsir, I:13-14). Bersambung
Penulis: Syu’bah Asa; Sumber: Panjimas, Juni 2003