Pangeran Keraton Jogja ini jadi petani dan guru bebatinan. Bung Karno dan UGM pun tertarik dengan ajaran-ajarannya. Tentang Ki Ageng Suryomentaram, yang pernah belajar agama kepada KH Ahmad Dahlan.
Ki Ageng Suryomentaram adalah guru aliran kebatinan bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja (ilmu bahagia).Salah satu ajaran moral Ilmu Begja yang sangat populer adalah Ojo Dumeh, yang dulu kerap dikutip Presiden Soeharto. Artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain, karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya. Sebab, hakikatnya manusia itu sama. Jadi, jangan mentang-mentang.
Ia lahir pada 20 Mei 1892. Putra ke-55 Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini ibunya bernama Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ia menyandang nama bangsawan Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji. Setelah umur 18 tahun nama kebangsawanannya menjadi Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryo Mataram.
Pendidikan Kudiarmadji dimulai di sekolah Sri Manganti, kemudian diteruskan ke pendidikan persiapan menjadi ambtenaar atau pegawai pemerintahan kolonial Belanda. Untuk itu pula ia belajar bahasa Belanda. Selain itu, ia belajar agama Islam kepada Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ia juga belajar bahasa Inggris dan Arab. Kudiarmadji rupanya sangat tertarik pada hal-hal yang berbau filosofis, utamanya mengenai falsafah hidup. Ia pun rajin beribadah, salat dan mengaji kepada guru atau kiai yang terkenal di Yogya. Dari sinilah ia banyak belajar tentang berbagai hal soal agama Islam.
Namun, menginjak usia dewasa, Kudiarmadji yang telah berganti nama menjadi Pangeran Suryo Mataram itu, batinnya sering gelisah. Sejak itu ia kerap menyendiri, nyepi ke tempat yang hening seperti di Gua Langse, makam, hutan dan gunung. Tujuannya untuk mencari pencerahan batin dan mencari makna hidup sesuai dengan hati nuraninya.
Tapi kenapa Pangeran Surya Mataram kemudian menanggalkan gelar kepangeranannya dan menyebut dirinya Ki Ageng Suryomentaram? Hal ini bermula ketika dia turut dalam rombongan untuk menghadiri resepsi pernikahan ke Surakarta. Dalam perjalanan dengan kereta api ia melihat petani yang sedang bekerja di sawah. Pemandangan itu rupanya telah menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani. Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya seperti Gua Langse, Gua Semin dan Parangtritis. Lalu Suryomentaram keluar istana, pergi mengembara di daerah Kroya, Purworejo, sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani, dan kuli.
Pada saat utusan Keraton mencarinya, Suryomentaram ditemukan di Kroya sedang bekerja menggali sumur dengan memakai nama samaran Natadangsa. Utusan itu kemudian mengajak Natadangsa untuk kembali ke Istana. Tapi setelah tinggal di istana, ia kembali menjadi gelisah. Kegelisahannya memuncak ketika kakeknya, Patih Danurejo VI, dibebaskan dari tugasnya dan ibunya pun dikembalikan kepada kakeknya. Tidak lama kemudian istri Suryomentaram sendiri meninggal dunia, lalu ia mengambil sikap melepaskan kedudukan kebangsawanannya untuk hidup menjadi rakyat biasa.Ketika Sultan Hamengkubuwono VII diganti oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, Sultan baru ini mengizinkan Suryomentaram meninggalkan keraton Yogyakarta.
Suryomentaram memilih untuk hidup sebagai petani di sebuah desa yang bernama Bringin di daerah Salatiga, Jawa Tengah. Di sana ia menjad guru aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja tadi. Penganutnya cukup tersebar di seluruh Jawa, meskipun tanpa ada organisasi atau propaganda seperti yang dilakukan oleh aliran-aliran yang lain. Ia menjalani hidupnya sangat sederhana. Ia biasa mengenakan celana pendek, sarung yang diselempangkan pada pundaknya dan memakai kaos. Rambutnya dicukur pendek, tanpa penutup kepala dan tanpa alas kaki. Dan dengan pakaian seperti ini pula Ke Ageng Suryomentaram bertemu Presiden Soekarno di Istana pada tahun 1957.

Semasa hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai percobaan. Jadi, pemahamannya tentang manusia bertitik tolak dari pengamatan terhadap dirinya sendiri. Ia menggunakan metode empiris yang didasarkan pada percobaan yang dilakukan pada dirinya sendiri. Dengan cara merasakan, menggagas dan menginginkan sesuatu, menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia. Ki Ageng Suryomentaram mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia yang dilihatnya sebagai sumber yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Di antara hasil penyelidikan tentang diri sendiri itu, ia tuangkan dalam tulisan dan atau dia ungkapkan dalam ceramah-ceramah. Pengajaran Ki Ageng Suryomentaram biasanya berupa ceramah yang ditujukan kepada kalangan terbatas sambil lesehan. Di antara tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian antara lain Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Kawruh Jiwa, Aku Iki Wong Apa? Teori psikologi Ki Ageng Suryomentaram ini termasuk bahan kajian di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyaksrta.
Ki Ageng Suryomentaram wafat pada 18 Maret 1962, dalam usia 69 tahun.