Semua gotha’an di pesantren mbah Sirra dibangun oleh orang tua santri, karena sejak awal beliau memang tidak berniat membangun pesantren.
Gotha’an adalah istilah khas pesantren salaf di Jawa. Kecuali gotha’an, dipakai juga istilah kombongan. Bentuk gotha’an adalah semacam rumah panggung mini semi-permanen, terbuat dari kayu atau bambu. Istilah gotha’an sendiri sangat mungkin adalah plesetan santri dari istilah ‘kotakan’; karena bentuknya memang kotak.
Masing-masing gotha’an di tempat mbah Sirra memiliki namanya sendiri, yakni: gotha’an Adam, gotha’an Isa-Yahya, gotha’an Yusuf, gotha’an Idris, gotha’an Harun, gotha’an Musa dan terakhir gotha’an Ibrahim.
Saya sendiri kebetulan tinggal di gotha’an Ibrahim yang posisinya berhadapan dengan rumah mbah Sirra; dengan demikian, sebagai santri ndalem, akses saya untuk keluar masuk ke rumah beliau lebih mudah.
Tapi untuk saat ini, tidaklah terlalu penting membicarakan semua tetek bengek pesantren tersebut; karena rasa-rasanya sebagian dari kami masih penasaran untuk melanjutkan pembicaraan kang Sam kemarin soal peradaban berbasis kerah massal.
“Rasa-rasanya cara berpikir orang sekarang kok malah mirip dengan cara berpikir kelompok khawarij ya…!” celetuk Lik Cecep. Cecep itu sebenarnya plesetan dari chef, karena dia adalah juru masak para santri. Lik Cecep memang santri ndalem yang diserahi tanggung jawab memimpin dapur pesantren.
“Maksud sampeyan?” tanya saya penasaran.
“Khawarij ya khawarij…” Lik Cecep bergumam dengan ogah-ogahan. Matanya memandang ke kejauhan. Karena Lik Cecep terus membisu, saya pun diam, tak melanjutkan pembicaraan dan tenggelam dalam pikiran saya sendiri.
Khawarij secara harfiah artinya adalah ‘mereka yang keluar’; bentuk jamak dari kata dasar kharaja yang artinya ‘keluar’. Nama ini dinisbahkan pada pengikut sayyidina Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisan dan membentuk kelompok sendiri.
Masa kekhalifahan sayyidina Ali yang kurang lebih lima tahun memang penuh pergolakan; yang sebenarnya adalah lanjutan dari pergolakan yang mulai muncul di paruh akhir kekhalifahan sayyidina Utsman yang sudah sepuh.
Bisa dikatakan, sebagian besar para sahabat Nabi waktu itu kecewa terhadap pola kepemimpinan sayyidina Utsman. Kekecewaan yang menyebar kemana-mana ini berujung pada pengepungan dan pembunuhan terhadap sayyidina Utsman.
Pembunuhan inilah yang kemudian menjadi pangkal pergolakan di masa sayyidina Ali. Yang pertama adalah perang Jamal yang dirancang oleh Thalhah dan Zubair dengan memanfaatkan ummul mukminin sayyidatina ‘Aisyah sebagai simbolnya. Yang kedua perang Shiffin yang digerakkan oleh Mu’awiyah, gubernur Suriah di masa sayyidina Utsman.
Posisi sayyidina Ali memang serba sulit. Beliau adalah salah satu sahabat yang secara terbuka membela dan mencoba melindungi sayyidina Utsman; bahkan putranya, sayyidina Hassan dan sayyidina Hussain, beliau perintah untuk menjaga dan melindungi sayyidina Utsman; tapi oleh para penentangnya beliau malah dituduh melindungi pembunuh sayyidina Utsman.
Tuduhan tersebut muncul hanya karena beliau tidak segera mencari dan mengadili pembunuh sayyidina Utsman. Padahal melihat faktanya kekacauan yang lebih besar sangat mungkin terjadi bila pengadilan segera digelar.
Di sisi lain, karena ketegasan sayyidina Ali merombak pola pemerintahan, menyebabkan munculnya kelompok sakit hati. Mereka inilah yang kemudian berdiri di belakang Mu’awiyah dan melakukan pembangkangan terbuka terhadap kekhalifahan sayyidina Ali, dengan alasan yang sama: menuntut qisas atas terbunuhnya sayyidina Utsman.
Maka terjadi perang besar yang kemudian dikenal sebagai perang Shiffin. Di saat pasukan Mu’awiyah sudah terdesak, mereka meminta tahkim atau arbitrase dengan mengangkat tinggi-tinggi mushaf Al Qur’an di ujung tombak mereka. Apa yang dilakukan Mu’awiyah ini, kalau memakai terminologi masa kini, mungkin termasuk kategori memanipulasi agama demi kepentingan politik.
Saat itu, Sayyidina Ali mengatakan bahwa mereka menggunakan yang haq untuk tujuan bathil, tapi para pengikutnya cenderung untuk menerima ajakan tahkim tersebut.
Pada akhirnya terbukti, hasil tahkim memang merugikan dan melemahkan posisi sayyidina Ali. Dari sini kemudian muncullah kelompok khawarij, yang menyatakan bahwa baik sayyidina Ali maupun Mu’awiyah sebagai kafir yang harus dibunuh. Bukan hanya itu, mereka lantas mengembangkan pemikiran yang berlandaskan garis batas yang eksklusif antara mukmin dan kafir; dan menganggap siapapun di luar kelompok mereka sebagai kafir yang boleh diperangi.
“Kok malah melamun?” Suara Lik Cecep mengagetkan saya.
“Sampeyan juga diam saja kok…” jawab saya sekenanya.
“Saya sedang mikir-mikir, khawarij itu aneh…masak menantu dan orang yang disebut kanjeng Nabi sebagai pintu gerbang kota ilmu kok dibilang kafir. Kalau pintu gerbang ilmu saja dianggap kafir, lantas siapa yang mukmin?” tanya Lik Cecep.
“Itu pokok masalah yang saya bicarakan kemarin…” sahut kang Sam tiba-tiba. Dari tadi kami sangka dia tidur, ternyata telinganya menyimak pembicaraan saya dan Lik Cecep.
“Apa maksud sampeyan Kang?” tanya Lik Cecep penasaran.
“Saya bicara khawarij sebagai gejala sosial, bukan gejala keagamaan. Kita akan salah memahaminya kalau hanya melihat dari tampilan luarnya belaka. Khawarij itu cara berpikir dan menyikapi kenyataan; sama sekali tak ada hubungannya dengan pakaian cingkrang, jenggot, tanda hitam di dahi, apalagi dihubungkan dengan kerajinan sholat malam dan membaca Al Qur’an. Menghubungkan tampilan lahir ini dengan khawarij bukan cuma naif dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan, tapi juga akan menyesatkan pemahaman kita terhadap gejala-gejalanya.” Kang Sam memandangi kami satu persatu.
“Khawarij itu cara berpikir yang mengeksklusivkan kebenaran, bukan sekedar eksklusif tapi sekaligus sambil menafikan yang lain. Mereka merasa merekalah satu-satunya pihak yang benar, sementara yang lain bathil. Nah, kalau di masa sayyidina Ali hanya ada satu kelompok khawarij, rasa-rasanya sekarang ada puluhan bahkan ratusan atau malah ribuan khawarij…” Kang Sam menarik nafas panjang.
“Ibarat di dalam masjid, setiap kelompok bikin kemah sendiri, dengan imam dan kiblatnya sendiri, sambil saling lempar satu sama lain. Bayangkan apa jadinya masjid? Kalau kita ibaratkan negara, setiap kelompok bikin negara kecil yang saling berkelahi satu sama lain. Semua lawan semua, terus mau kemana yang namanya negara? Itu dilakukan oleh siapa saja atas nama apa saja, bukan cuma atas nama agama. Yang menyedihkan, yang demikian sekarang justru banyak dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya modern, merasa dirinya paling berilmu dan berwawasan jauh…” lanjut kang Sam.
“Padahal apa yang mereka lakukan pada dasarnya tak beda dengan gejala khawarij di awal Islam dulu. Kan lucu jadinya: orang-orang yang merasa dirinya ultra modern, demokratis, toleran, pluralis, kalau perlu liberal; kok kelakuannya tak jauh beda dengan badui yang dulu bikin gerakan khawarij? Mereka sibuk membuat macam-macam garis batas imajiner antara ‘kami’ dan ‘mereka’; dengan sasaran menghabisi yang ‘mereka’ agar yang ‘kami’ bisa eksis. Lho, bagaimana ini?” Kang Sam menghela nafasnya.
“Lebih lucu lagi: orang-orang ini juga yang sangat intesif menyerang kelompok yang disebut wahabi-salafy sebagai neo-khawarij yang tidak toleran; padahal apa yang mereka lakukan pada dasarnya sama sebangun dengan ideologi khawarij itu sendiri. Api dilawan dengan api, ya kebakaran hasilnya…” Suara kang Sam terdengar semakin lirih.
Mata kami cuma menerawang ke kejauhan sementara mulut kami rasanya disumpal belerang.
Tiba-tiba terlintas di pikiran saya; konon dulu sayyidina Ali pernah berpesan agar sepeninggalnya kelompok khawarij tidak lagi diperangi. Alasannya: mereka sekedar pencari kebenaran yang tersesat. Ini dibedakan dengan kelompok Mu’awiyah, yang tahu kebenaran tapi memanipulasinya demi kekuasaan politik.
Ada dua sisi yang harus dipertimbangkan untuk memahami pesan ini. Pertama, pesan ini mesti dibaca sebagai ucapan khalifah (pemimpin pemerintahan) yang punya legalitas memerangi pemberontak; dan waktu itu kelompok khawarij memang sempat memunculkan apa yang kemudian disebut sebagai perang Nahrawan.
Kedua, pesan ini sekaligus juga menyiratkan kekhawatiran: jangan-jangan setelah beliau, para pengikutnya salah mempersepsikan peperangan yang sepenuhnya bersifat ‘kenegaraan’ tersebut dan mengangkatnya menjadi persoalan keagamaan.
Bahkan, kalau teliti membaca argumen dasar kelompok khawarij dan jawaban sayyidina Ali, kita mungkin bisa menyimpulkan bahwa gerakan ini pada dasarnya adalah semacam gerakan anarkis (dalam pengertian awalnya) berbasis keagaamaan.
Argumen dasar yang mereka bangun adalah ‘tiada hukum kecuali bagi Allah’ (la hukma illa lillah). Terhadap klaim ini, sayyidina Ali berargumen: “Memang benar ‘tiada hukum kecuali bagi Allah’. Tapi dengan kalimat ini, orang-orang itu bermaksud mengatakan ‘tiada pemerintahan kecuali bagi Allah’. Padahal masyarakat harus punya pemerintahan, apakah baik atau buruk!”
Dari sisi ini, tidaklah salah bila menyebut ideologi dasar khawarij memang nyaris sepenuhnya bersifat anarkis keagamaan.
“Nanti dulu, ini tidak jernih, sama sekali tidak jernih…” tiba-tiba suara Lik Jum mengagetkan kami.
“Maksudmu?” tanya kang Sam.
“Kita harus jernih dari awal agar tak salah jalan dan menebar stigma tanpa dasar. Khawarij itu kan artinya kelompok yang keluar atau memisahkan diri, dan bukan murtad yang artinya membalik imannya menjadi kekafiran. Dulu khawarij itu artinya keluar dari barisan sayyidina Ali. Nah, kalau sekarang? Keluar atau memisahkan diri dari apa atau dari siapa? Ini harus jelas lebih dahulu, agar kita tak salah identifikasi…” jelas Lik Jum.Gotha’an tiba-tiba seperti disergap keheningan. Kami benar-benar tak punya jawaban untuk pertanyaan yang seharusnya menjadi pertanyaan yang pertama diajukan saat membahas gejala khawarij.
