Negara kita akhirnya tidak bebas dari serangan wabah virus Corona, menyusul dua warga Depok yang positif terkena virus yang mematikan itu. Masyarakat diimbau untuk mengandalkan usaha medis, selain pendekatan religius.
Wabah virus corona yang membuat sempoyongan kota-kota besar di dunia, dan kini mulai bikin panik sekaligus sebagian masyarakat Indonesia, mengingatkan sebuah kisah yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khaththab. Bukan hanya soal wabah penyakit yang mematikan, melainkan juga bagaimana kaum Muslim menyikapi soal ajal mereka.
Syahdan, ketika sampai Jabiah dalam lawatan ke Syam (Suriah), Khalifah Umar dan rombongan mendengar kabar bahwa negeri yang akan mereka kunjungi itu sedang terkena wabah sampar. Sudah ribuan orang tewas. Lalu rombongan terpecah dalam dua pendapat. Sebagian menghendaki kunjungan dibatalkan dan kembali ke Madinah. Sebagian lagi ingin terus. Bukankah sakit dan senang, hidup dan mati,semuanya dibawah kuasa Allah? Kira-kira begitu pendapat yang ingin melanjutkan perjalanan.
Umar menyarankan lebih baik kembali. “Untuk apa menempuh bahaya?” katanya. Tetapi, koleganya, Abu Ubaida ibn Al-Jarrah, menyanggah: “bolehlah kita lari dari takdir Allah?” Apa jawab Khalifah?
“Kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah.”
Umar meneruskan: “ Misalkan bapak-bapak punya ternak kambing. Digiring ke dua padang. Yang satu penuh rerumputan , yang lain kering kerontang. Bagaimana pendapat bapak-bapak? Bukankah, jika kambing-kambing itu digembalakan di padang yang berumput subur, itu juga dibawah kudrat Ilahi?’
“Memang, kedua-duanya di bawah kuasa Allah,” mereka menjawab.
“Tapi di mana kalian semua akan gembalakan?” Umar mencecar.
“Di padang yang berumput subur, tentu saja, Amirul Mukminin.”
Umar tampak belum yakin benar dengan keputusannya. Lantaran itu ia mengizinkan beberapa orang yang , karena yakin kepada takdir pula, berteguh hati meninggalkan rombongan dan meneruskan perjalanan ke Syam.
Tibalah Abdurrahman ibn Auf. Sahabat Nabi yang dikenal sebagai saudagar yang cerdik, baru sampai di Jabiah-dari Madinah-pagi esoknya. Ketika Khalifah memberi tahunya hasil diskusi kemarin, Abdurrahman tiba-tiba berkata: “Dulu, Amirul Mukminin, saya pernah menerima dari Rasulullah s.a.w suatu sabda yang berkenaan dengan perkara ini.”
“Allahu Akbar,” Umar berucap. Nah, silakan sampaikan yang Anda dengar dari beliau itu.”
“Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Apabila kamu mendengar kabar suatu negeri terserang wabah, jangan kamu masuk ke situ. Dan kalau kamu berada di dalamnya, jangan pula kamu keluar dari situ.”
Mendengar petunjuk yang membenarkan ijtihad-nya, Umar tidak menyembunyikan kegembiraannya. Adapun nasib Abu Ubaidah, yang berkeras mendahului ke Syam, Allah yarham: dia wafat terserang pes di sana.
Shalawat Tibbil Qulub
Bahwa mati di tangan Tuhan, tanpa mempedulikan ancaman bahaya, juga terdengar dari seorang guru pembina Pramuka di Sleman, Yogyakarta, tempo hari, yang diingatkan warga untuk menghentikan kegiatan susur sungai karena cuaca di hulu sungai lagi gelap. Tapi sang guru tidak menggubrisnya dan tetap meneruskan kegiatan, yang akhirnya menelan korban 10 orang tewas itu karena dibawa arus sungai yang datang tiba-tiba.
Dan selain yang parno dan histeria, tidak sedikit pula yang terkesan cuek dengan wabah virus corona, yang sekarang sudah masuk ke negeri kita, dan diumumkan secara resmi oleh Presiden. Berbagai instruksi untuk menghadapi virus mematikan ini pun telah dikeluarkan. Termasuk dari ormas Islam terbesar, yaitu Muhammadiyah dan NU. Sikap tak peduli yang cenderung menggampangkan tadi, tidak terlepas dari keyakinan akan ajal atau kematian tiap orang yang sudah ditentukan Tuhan itu.
Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhamadin thibbil qulubi wa dawaa-ihaa wa ‘afiyati l abdaani wa syifaa-ihaa wa nuril abshaari wa dhiyaa-ihaa wa ‘aalihi wa shahbihi wa sallim (Ya Allah, limpahkan rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad s.a.w., sebagai obat hati dan penyembuhnya, penyehat badan dan kesembuhannya, sebagai penyinar penglihatan, dan (semoga rahmat tercurahlimpahkan) kepada para sahabat dan keluarganya.”
Tak seorang pun bisa melepaskan diri dari takdir Allah. Tapi itu tak berarti seorang Muslim mesti bersikap nrimo, dan mengabaikan ikhtiar. Juga ikhtiar untuk menghindari sebuah wabah, sebagaimana ditunjukkan oleh Khalifah Umar ibn Khaththab. Lalu apa yang perlu diperbuat umat dalam menghadapi virus ganas asal Tiongkok itu?
Berbagai petunjuk praktis seperti membersihkan tangan, menjaga ketahanan tubuh dengan mengkonsumsi makanan-makanan tertentu, menjalani hidup sehat, sampai kepada yang bersifat religius seperti berwudhu, dan membaca “Shalawat Tibbil Qulub” sebagaimana diinstruksikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). “Mari bersama kita membaca shalawat tibbil qulub untuk keselamatan kita semua dari segala penyakit dan wabah termasuk wabah corona,” kata siaran PBNU melalui akun twiter resminya.
Dalam pada itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr. Haedar Nashir menimbau masyarakat tidak panik menghadapi penyebaran virus yang telah menyerang dua warga Depok itu. Ia juga meminta masyarakat tetap mengandalkan pihak medis jika mengalami gejala yang mirip virus corona. “Yang penting masyarakat tidak panik dan tetap andalkan usaha yang sifatnya medis. Infrastruktur rumah sakit juga harus siaga semua, dan tentu kita sambil terus ikhtiar dan berdoa, “ ujar Haedar di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin 2 Maret lalu.
Hari itu Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan mengumumkan dua warga negara kita asal Depok, seorang perempuan berusia 64 tahun dan putrinya yang berusia 31 tahun, positif terkena virus corona setelah berinteraksi dengan seorang warga negara Jepang beberapa hari sebelumnya. Warga negara Jepang itu telah kembali ke tempat mukimnya di Kuala Lumpur, Malaysia, dan dinyatakan positif terkena virus corona.
Bagaimana dengan saran Nabi untuk tidak keluar-masuk suatu tempat atau tempat-tempat yang sedang kena wabah? Sejatinya bisa lebih mudah dilakukan zaman sekarang.***