Sama-sama aktivis Muhammadiyah, Hamka berbeda haluan dalam berpolitik, Toh keduanya tetap bersahabat, yang telah mereka jalin sebelum kemerdekaan. Mengapa kemudian hubungan mereka renggang, dan bahkan Buya Hamka dijebloskan ke dalam penjara?
“Lawan berdebat, kawan berpikir, bersahabat hingga akhir hayat”. Inilah tagline yang diusung Dr. Faozan Amar pada “Diskusi Serial Studiologi Buya Hamka”, 26 Februari 2020 , yang diselenggarakan Pusat Studi Buya Hamka (PSBH) Uhamka, Jakarta. Topiknya “Meneladani Pertemanan Buya Hamka dengan Bung Karno”. Pembicara lainnya, Dr. Heni Ani Nuraena, yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka).
Dalam makalahnya “Menyegarkan Kembali Keteladanan Sekarno Hamka”, Faozan Amar menegaskan bahwa Bung Karno dan Buya Hamka itu dicintai dan mencintai rakyat dan umatnya, Keduanya berjuang dan rela berkorban untuk rakyat dan umat tanpa pamrih; bersahabat hingga akhir hayat, dan memiiki jasa yang besar bagi bangsa dan negara. Kedekatan mereka anatara lain tampak dari sering diundangnya Buya Hamka untuk berceramah di Istana Negara pada acara peringatan hari besar keagamaan. Bung Karno-lah yang pertama kali mengajak Hamka pindah dari Medan ke Jakarta pada tahun 1946. Namun ajakan ini tidak bisa dipenuhi, menyusul agresi pertama Belanda pada 1947. Hamka baru bisa datang ke Jakarta pada 1949, setelah Bung Karno berkunjung ke Bukittinggi, Sumatera Barat. “Karena kealiman dan luasnya ilmu Hamka, Bung Karno tak segan-segan meminta sahabatnya itu untuk berceramah di Istana. Sejumlah acara besar kenegaraan terkait hari besar agama pun pernah dipimpin oleh Buya Hamka,” ungkap Faozan, yang juga Sekretaris LDK PP Muhammadiyah.
Sebelum kemerdekaan, Bung Karno dan Hamka sudah saling kenal. Yakni pada masa-masa Soekarno dibuang ke Bengkulu pada 1938 -1942, sementara Hamka menjadi pemimpin redaksi Pedoman Masyarakat di Medan. Waktu itu keduanya menjadi aktivis Muhammadiyah di daerah masing-masing. Sebagai aktivis politik, tentu saja mereka punya haluannya sendiri, meskipun punya tujuan yang sama yaitu mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, yang dalam bahasa agama dan kerap dikatakan Buya Hamka sebagai baldatun thayyibatu wa rabbun ghafur. “Soekarno dari Jawa aktif di PNI yang nasionalis, dan Hamka dari Sumatera aktif di Masyumi yang Islamis,” ungkap Faozan.
Namun, seiring dengan memanasnya kondisi politik, hubungan Bung Karno dan Buya Hamka, seperti dikemukakan Heni Ani Nuraini, sempat merenggang. “Hal itu tidak terlepas dari pengaruh PKI yang memulai memperalat secara politik posisi Bung Karno. Buya Hamka saat itu aktif di Masyumi, partai yang paling dibenci PKI. Puncaknya saat Buya Hamka ditangkap dan dipenjara atas tuduhan keterlibatan percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno dan Menteri Agama saat itu,” ungkap Nuraeni.
Pada 27 Januari 1964, di awal bulan Puasa, Buya Hamka ditangkap dan dibawa ke Sukabumi – dan kemudian hidup di penjara selama dua tahun dan empat bulan. Dan selama daam penjara inilah Buya Hamka bisa menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Sampai sekarang, kitab tafsir yang berjilid-jilid ini menjadi salah satu referensi utama kaum Muslim di Tanah Air, dan bahkan masyhur sampai Asia Tenggara.
Soekarno wafat pada 21 Juni 1970, dalam tahanan pemerintah Orde Baru. Selain jasa-jasanya untuk kemerdekaan Republik Indonesia, Hamka memuji Soekarno yang telah membangun masjid Baitul Rahim di Istana Negara, dan membangun Masjid Istiqlal, masjid terbesar di Asia Tenggara itu. Bersambung