Ads
Hamka

Hamka Tentang Hamka (5)

Di kampung halamannya Hamka merasa sudah belajar agama. Dan kepergiannya untuk belajar pergerakan. Tetapi apa yang dirasakannya terutama dia setelah belajar tafsir kepada Ki Bagus Hadikusumo?

Ke Jawa:  Memperbarui Pengertian Islam

Kawan-kawannya banyak menyebut keadaan di Jawa. Tentang Semaun, Darsono, Muso, Alimin, Tan Malaka, Sneevliet, Baars, dan lain-lain. Gambar-gambar pemimpin itu tergatung di IDC (International Debating Club). Semuanya ini menambah perhatian kawan kita (Hamka, red) hendak ke Jawa. Dia telah mulai menjadi anak dewasa. Dengan semangat bergelora itulah dia minta izin ayahnya hendak pergi ke Jawa, terutama ke Yogya, Solo, Semarang, dan Pekalongan. Di tempat yang tiga itu hendak belajar pergerakan, di Pekalongan hendak menemui iparnya Sutan Mansur dan kakaknya Fatimah. Karena belum sekali juga ke Jawa dan masih tergolong anak-anak, walaupun dia telah merasa diri dewasa, perlu juga menumpang kepada orang yang sudah biasa ke Jawa.

Tempatnya menumpang dalam perjalanan lekas didapatnya, yaitu seorang saudagar yang hendak ke Yogya dan Pekalongan. Sampai di Yogya dia menumpang di rumah orang sekampungnya, Marah Intan. Hanya dialah satu-satunya orang Sumatera Barat di Yogya ketika itu. Dia tinggal di kampung Ngampilan, tidak berapa jauh dari Kauman. Di sana ia bertemu adik ayahnya, Ja’far Amrullah, yang meninggalkan perniagaannya karena hendak belajar agama di Yogya, barang dua bulan. Di sinilah pemuda kita merasa heran: cukupkah belajar agama dua bulan?

Sudut kampung Ngampilan kini yang dipenuhi penjual Bakpia, kue khas Jogja (foto : jalanjogja.com)

Si Bapak Kecil atau paman inilah yang membawa pemuda kita menjelang beberapa orang guru, mempelajari agama. Mulanya si pemuda memandang senang (iseng, red) saja. Dia sudahh belajar agama, dia sudah kelas VII di Sumatera Thawalib meskipun tidak berdiploma.

Yang agama pada hematnya yang sudah-sudah ialah belajar mendebat dan mengalahkan “kaum tua” dalam perkara ushalli dan talkin.Ini lain sama sekali

Agama apa yang akan dipelajari? Dan si Bapak Kecil pun sungguh-sungguh pula pergi belajar: pagi, petang, malam. Setelah sebulan si pemuda turut belajar, barulah dia tahu bahwa selama ini dia belum belajar agama. Dia baru belajar nahwu (gramatika bahasa Arab, ed) dengan memkai kitab Qatar, yang dia tidak mengerti. Belajar fikih dari Fathul Mu’in. Yang tinggal dalam pikirannya waktu mempelajari kitab itu ialah, bagaimana hukumnya seorang yang berjanggut tebal, wajibkah menyampaikan air kepada anggota wudunya. Yang agama pada hematnya yang sudah-sudah ialah belajar mendebat dan mengalahkan “kaum tua” dalam perkara ushalli dan talkin. Ini lain sama sekali.

Paginya telah dibawa bapak kecilnya itu belajar tafsir ke rumah Kiai Haji Hadikusumo (Ki Bagus Hadikusumo). Mula belajar dia enggan. Sebab di Padang Panjang dia telah mulai belajar tafsir Muhammad Abduh, padahal Ki Bagus hanya mengajar dengan menggunakan Tafsir Baidhawi, bahasaMelayu (Jawi); tetapi lama-lama dia merasa bahwa di Padang Panjang dia belum belajar tafsir, baru belajar membaca matan tafsir itu, dengan tidak boleh salah nahwunya. Dan kalau guru menyuruhnya membaca, mujurlah dia kalau betul satu baris dari 10 baris. Tetapi dengan Ki Bagus, maksud  per satu-satu dari ayat itu yang dikupas.

Ki Bagus Hadikusumo

Ketika itu kerja sama Muhammadiyah dengan Sarekat Islam amat rapat. Dua hal yang menekan kedua badan itu untuk memperteguh dirinya. Sarekat Islam mempersiapkan diri karena pukulan komunis yang tidak mengenal ampun. Muhammadiyah bersemangat hendak membela Islam, karena desakan Zending Kristen yang amat keras. Kedua hal ini mendorong kedua badan itu memperbarui pengertian Islam. Sedang di Sumatera Barat, ulama-ulamanya masih merasa asyik mempertengkarkan perkara-perkara yang kecil.

Bersambung          

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda