Ads
Cakrawala

Dakwah Kultural

Dakwah kultural memberi pengharapan kepada setiap orang atau masyarakat, bahwa menjadi Muslim itu gampang, menyenangkan, dan menggembirakan.

Gagasan dan praktik dakwah kultural sebenarnya tidak sama sekali baru. Modal dakwah ini mencoba melihat keberagamaan sebagai faktor sosial, dan sebagaai sebuah proses kultural. Religiusitas dan kesalehan keberagamaan pemeluk yang plural ditempatkan pada posisi setara, sebagai dasar pengembangan hubungan sosial yang yang saling menghormati.

Dakwah kultural berdasarkan kesadaran tentang keragaman jalan bagaimana seseorang tertarik memeluk Islam, dengan praktik keberagamaan yang juga beragam. Kategorisasi santri-abangan, misalnya, ditempatkan sebagai kategori sosial-politik, bukan lagi kategori kesalehan seseorang. Seluruh bentuk keberagamaan tidak lagi dilihat sebagai produk yang selesai, tapi merupakan proses yang terus berlangsung sepanjang hayat.

Karena itu, dakwah kultural dipahami sebagai dakwah amar makruf nahi mungkar. Yakni dengan memberi pengharapan kepada setiap orang atau masyarakat, bahwa menjadi Muslim itu gampang, menyenangkan, dan menggembirakan. Dan secara bertahap, melalui beragam jalan, dakwah kultural mendorong setiap orang atau masyarakat mengubah diri mereka menjadi Muslim yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masing-masing. Bentuk dan tahap-tahap perubahan itu berbeda untuk setiap orang dan masyarakat sesuai dengan pengalaman hidup, lingkungan geografis, budaya, keluarga, pekerjaan, dan Pendidikan mereka.

Dakwah kultural memandang manusia sebagai makhluk terbuka yang terus berubah, sesuai dengan situasi aktual dan kultural yang dihadapinya. Dakwah kultural dilakukan untuk mendorong setiap orang untuk mengubah dan mengembangkan diri mereka sehingga mencapai tahap kehidupan yang lebih islami. Materi, metode, dan media dakwah perlu disesuaikan dengan kondoisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masing-masing orang.

Karena itu, dakwah di pedesaan bagi petani berbeda dengan dakwah untuk buruh dan pegawai di kota. Dakwah bagi masyarakat industri yang punya empat musim berbeda dengan dakwah untuk masyarakat agraris yang bermukim di negeri dengan dua musim. Dakwah bagi para selebritis, seniman dan artis berbeda dengan dakwah untuk para eksekutif professional dan intelektual. Dan seterusnya.

Dakwah kultural melihat keislaman seseorang sebagai proses perubahan yang berlangsung sepanjang hidup sesuai kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya orang itu. Kualitas keislaman diukur dari etos dan tahapan perubahan pemeluk, bukan semata dari kesesuaian dengan ketentuan baku normatif suatu ajaran.

Kriteria keagamaan, santri dan abangan penting bagi konstruksi sosial dan rekrutmen pimpinan gerakan Islam, tetapi kurang bermakna bagi religiusitas. Kualitas keislaman tidak hanya dilihat dari kesesuaian perilaku empirik atas rumusan baku tauhid dan fikih, tetapi dari tahap perubahannya. Karena itu, dakwah kultural bukan sekadar strategi atau taktik, tetapi esensi dan substansi dakwah itu sendiri.

Dalam hubungan itulah kriteria “umat ijabah” dan “umat dakwah” dalam berbagai penjelasan akademik, bukan berarti posisi “umat dakwah” lebih rendah ketimbang “umat ijabah” atau sebaliknya. Keagamaan keduanya ditempatkan setara dengan fungsi dan tanggung jwab sosial yang berbeda sesuai dengan kemampuan profesional keduanya, sebagai media untuk memeperoleh kedudukan di hadapan Tuhan. Dasar pemahaman dari dakwah kultural seperti itu bisa dikaji lebih lanjut dari sejarah risalah kenabian Muhammad s.a.w. dan dari berbagai teks Alquran.

Sumber normative dan historis dari dakwah kultural bisa dikaji lebih lanjut dari Alquran, sunnah Nabi, ide dan aksi dakwah para penganjur Islam di Tanah Air seperti yang dilakukan Walisongo dalam kasus Islam di Jawa. Surah Ibrahim ayat 4 menyatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. dan para rasul Allah hanya diutus mengubah perilaku manudia sesuai kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masing-masing (lihat Tafsir Maraghi). Banyak kisah dramatis yang menarik dicermati tentang bagaimana proses perubahan seseorang atau masyarakat menjadi Muslim.

Syahdan, usai Perang Khandak, Tsumamah ibn Utsal, kepala sukuHanifah, salah satu musuh besar kaum muslimin, tertawan tentara Islam. Selama beberapa hari dalam tawanan, setiap pagi Nabi menyuguhinya susu onta sebagai penghormatan atas kedudukan sosial Thumamah. Namun orang itu terus bersikap sombong dan unjuk kehebatan diri. Di hari terakhir ia dibebaskan tanpa syarat. Namun Thumamah tidak bergegas kemballi ke kaumnya, tetapi bersuci dan menyatakan masuk Islam. Orang yang kemudian menjadi tokoh penting Islam ini menjadi Muslim bukan oleh ancaman neraka dan hukuman, tapi berkat perlakuan istimewa Nabi yang tak dipahami oleh akal tradisional.


Penulis: Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyaakarta; Sumber: Panjimas, 22 Januari-5 Februari 2013.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda