Yang harus dicatat, bencana alam tidak pernah muncul tiba-tiba, dia selalu didahului oleh apa yang bisa kita sebut sebagai ‘bencana budaya’.
Bencana budaya ini ditandai dengan lunturnya nilai-nilai dan lembaga-lembaga penopang suatu masyarakat, yang pada gilirannya menyebabkan masyarakat rentan dan gampang disusupi nilai dan kepentingan yang hanya berorientasi jangka pendek; utamanya orientasi ekonomis kebendaan.
Dikeroposkannya nilai dan lembaga budaya yang menopang kepedulian lingkungan di kalangan rakyat, adalah titik awal dari lahirnya beragam kerusakan dan bencana alam.
Sebagai akibatnya, kini tiap anggota masyarakat seperti dikondisikan untuk selalu berorientasi pada pencarian keuntungan ekonomis jangka pendek, tanpa terlalu peduli lagi pada dampak-dampak tindakannya pada alam. Dampak yang dalam rentang waktu tertentu bukan cuma akan menyerang balik dirinya tapi juga lingkungannya.
Sebenarnya, ini bukan kecenderungan khas Indonesia; tapi telah menjadi kecenderungan global. Kecenderungan yang menurut publikasi The National Research Council beberapa waktu lalu, telah menyebabkan terjadinya lonjakan pemanasan global selama kurang lebih 25 tahun terakhir. Pemanasan global yang angkanya melebihi pertumbuhan panas selama paling tidak 400 tahun terakhir, atau bisa jadi lebih lama lagi.
Dan sekarang, tampaknya kita sedang menuai kombinasi bencananya: antara yang lokal dan yang global. Jadilah sebuah potret glokalisasi bencana: banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, air pasang dan kekacauan musim.
Kalau Al Qur’an mengatakan “sungguh telah nyata kerusakan di darat dan lautan karena ulah tangan manusia”; tak jauh beda dengan itu The National Research Council menyimpulkan “human activities are responsible for much of the recent warming.”
Kita kacaukan keseimbangan alam hampir sepasti Tuhan menciptakanNya dalam keseimbangan. Tak perlu diperdebatkan, keserakahan dekade kitalah yang paling berjasa mengacaukan keseimbangan ini.
Di banyak negara berkategori miskin, keserakahan (yang berwujud investasi besar-besaran demi ‘pertumbuhan ekonomi’ tanpa menimbang faktor lingkungan) ini lantas berkombinasi dengan kemiskinan (yang membuat orang rentan terprovokasi untuk menggunduli hutan atau mengalih fungsikannya menjadi ladang misalnya), ditambah runtuhnya lembaga-lembaga tradisional (yang selama ini berfungsi menopang dan menjaga keseimbangan hubungan dengan lingkungan hidup), dan disempurnakan oleh lemahnya wibawa hukum.
Kalau kita melihat kerusakan alam dan bencana dari perspektif ini, maka mengatasi bencana dengan sekedar melakukan aktivitas penanaman pohon dan semacamnya (apalagi cuma geger saat banjir atau longsor menimpa, habis itu kembali diam seribu bahasa), rasanya menjadi pincang.
Karena aktivitas semacam ini, tanpa disertai dengan upaya membangun kembali budaya peduli lingkungan yang terlanjur rusak, akan terasa artifisial dan sia-sia. Membangun kembali budaya peduli lingkungan ini sekaligus berarti meninjau kembali arah pembangunan yang kita pilih.
Dan ini artinya masyarakat harus mengorganisasikan kekuatannya, untuk mengimbangi dan membatasi wilayah operasional kepentingan lokal maupun global yang sering membonceng negara. Kepentingan-kepentingan yang tak mempedulikan apapun kecuali keuntungan diri dan kelompoknya sendiri.
