Hamka

Hamka tentang Hamka (Bagian 2)

Apa yang terjadi pada si Malik  di usianya yang 12 tahun? Bagaimana dia melihat pemuka agama seperti ayahnya yang kawin-cerai? Sampai dia akhirnya menghadapi sebuah peristiwa yang disebutnya “climax”.

Saat “Climax”

Usia (Hamka) telah 12 tahun. Kepada Ayah takut. Mengaji tidak menarik hatinya. Kursus bahasa Inggris tidak terus. Masa itu Engku Zainuddin Labai membuka sebuah kutub khanah (balai buku, perpustakaan), mempersewakan buku. Buku-buku Volklectuur (Bacaan rakyat, terbitan kantor voor volkslectuur didirikan 22-9-1917 di Batavia, kemudian dinamakan Balai Pustaka), buku-buku salinan Tionghoa, Melayu; Tiga Panglima Perang, Graaf De Monte Cristo, dan banyak lagi buku-buku yang lain. Di antaranya ialah Asia Timur, Kisah  Perjuangan Rus-Japan. Ada juga surat kabar Bintang Hindu, memuat karangan Dr A. Rival di Eropa.

Lantaran membaca buku-buku itu, terbukalah dalam khayalnya beberapa dunia yang belum dikenalnya, buruknya atau baiknya, pahit dan manisnya. Dan sekali-sekali dibujuknya Engku Bagindo Sinaro dan dibawanya buku pulang. Pernah juga dia kedapatan sedang membaca buku-buku itu oleh ayahnya. Setengah marah, tetapi tidak marah betul, ayahnya berkata, “Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau akan jadi tukang cerita!” Diletakkannya buku itu sebentar, tetapi bila ayahnya pergi, dibacanya pula.

“Perkawinan berulang-ulang, kawin dan cerai, kawin dan bercerai pula, adalah adat, adalah kemegahan yang harus dipegang teguh orang yang terkemuka dalam agama. Itulah yang mesti dipelihara selalu oleh ayah kawan kita itu, memelihara hati istri dan keluarganya pula, memelihara peraturan agama tentang membawa istri merantau bergiliran.”

Sudah biasa ibu-ibunya yang bertiga bergiliran dibawah ke Padang Panjang, berganti-ganti, dari puasa ke puasa. Jika puasa hendak datang pulanglah ayah dan ibunya ke kampung. Habis puasa berangkat pula ke Padang Panjang dengan ibu yang seorang lagi. Ayahnya seorang ahli agama yang terkenal (H.Abdul Karim Amrullah). Tetapi belum dapat dapat melepaskan dirinya (demikianlah ungkapan Hamka) daripada ikatan masyarakat adat negerinya.

Perkawinan berulang-ulang, kawin dan cerai, kawin dan bercerai pula, adalah adat, adalah kemegahan yang harus dipegang teguh orang yang terkemuka dalam agama. Padi yang masih mencukupi buat dimakan setahun, sawah yang berjenjang, ladang yang luas, adalah sandaran teguh bagi seorang penghulu atau mamak akan menerima seorang alim atau seorang penghulu jemputan menantu

Perkawinan di tanah adat bukanlah semata-mata perhubungan laki-istri, tetapi lebih utama adalah hubungan dua suku.

Itulah yang mesti dipelihara selalu oleh ayah kawan kita itu, memelihara hati istri dan keluarganya pula, memelihara peraturan agama tentang membawa istri merantau bergiliran. Bila sudah dekat puasa, sudah susah mencari belanjaan buat pulang ke kampung. Habis puasa repot pula mencari belanja buat berangkat lagi.

Lain dari itu kerapkali dia menyaksikan ibunya menangis, sampai matanya gembung. Jika ayahnya pergi kawin. Dan saudara perempuan ayahnya tersenyum-senyum melihat.

Itulah yang disaksikan, didengar, dilihat, dialami dan diderita oleh kawan kita ini setiap hari, sejak dia membuka mata melihat dunia ini. Tiba-tiba datanglah saat “Climax” (beginilah dia menulisnya) yang akan menentukan jalan hidup yang manakah yang akan ditempuh seorang manusia di kemudian hari. Kawan kita yang malang itu, atau anak muda kita yang bahagia itu, sedang duduk-duduk bermain dengan adik-adiknya dari ibu yang lain. Sebab ibunya sendiri sedang giliran ke kampung.

Tiba-tiba dengan tidak disangka-sangka, tibalah neneknya, andungnya. Berjalan kaki dengan tergesa-gesa dari kampung. Jarak kampungnya dengan Kota Padang kurang lebih 40 km.

Hanya sekejap saja hati anak itu gembira. Karena baru saja neneknya datang sudah menangis sambil menghempaskan kepalanya yang penuh uban itu ke hariban ayahnya.

Meletus dari mulut orang tua itu suatu perkataan yang sebagai digaris-gariskan pisau tajam dalam jantung anak kita itu: “Guru Haji! Guru Haji! Mengapa ditinggalkan anak-anak?

Orang tua itu belum bangkit, sebelum diangkat dan disuruh berdiri oleh ayahnya.

“Tegaklah Uaik (panggilan ibu), berdirilah,” katanya, sambil membimbing tangannya. Orang-orang yang ada di dalam rumah waktu itu, yang rupanya sudah tau apa yang kejadian, melihat dengan mencibirkan bibir. Karena rupanya hati mereka merasa puas atas suatu kejadian yang amat mereka inginkan. Si anak tercengang-cengang! Apakah yang telah terjadi? Bersambung

Sumber: Panjimas, 02-5 Oktober 2002

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda