Mutiara

Dari Negeri Atas Angin

Ar-Raniri membawa tradisi besar Islam ke Nusantara. Meski dikenal orang tasawuf, ia menaruh perhatian besar terhadap penerapan praktis dari syariat Islam.

Mendadak Ar-Raniri meninggalkan Aceh. Ia meminta salah seorang muridnya menyelesaikan karangannya. Jawahirul ‘Ulum fi Kasufil Ma’lum, yang baru sampai pada bab lima. Pada 1644 Nuruddin memang bertolak ke tanah airnya di Ranir, India. Melepas kedudukannya yang prestisius: Syaikhul Islam.

Di antara dua pembantu Sultanah Safiyyatuddin, Qadhi Malikul ‘Adil dan Orang Kaya Maharaja Srimaharaja, Syaikh lebih berpengaruh. Dia tidak melulu mengurusi masalah-masalah keagamaan, tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah ekonomi dan politik. Sang murid tidak menyebut alasan kepergian gurunya. Ia hanya mengatakan: “Setelah selesai bagian ini (bab kelima) datanglah takdir yang tak dapat ditolak.”

Muncul spekulasi bahwa Ar-Raniri menolak kebijaksanaan Sultanah yang akan menghukum orang-orang yang menentang kepempinan perempuan. Tapi fakta menunjukkan ia seorang loyalis. Ini antara lain tampak pada karya-karya yang ditulis menjelang keberangkatannya yang sebagiannya untuk memenuhi keinginan Sultanah. Jadi apa  dong alasan yang sebenarnya?”


Karangan pendek Takeshi Ito, “Why Did Nuruddin ar-Raniri Leave Aceh in 1045 AH” mencoba menguak selubung misteri itu. Tersebutlah seorang ulama bernama Saifur Rijal. Ia datang ke Aceh dari Surat, India. Seperti dilaporkan Peter Sourij dalam catatan hariannya 8 Agustus 1643, pendatang baru itu tak habis-habisnya berdebat dengan Ar-Raniri yang mencap ajarannya sesat.

Perdebatan antara kedua ulama itu juga berlangsung di depan kepala Penasihat Bersama Kesultanan alias Orang Kaya Maharajalela. Opperkoopman (pedagang tinggi) yang dikirim VOC menjadi komisiaris dagang di Aceh dan Jambi itu juga melaporkan. Saifur Rijal cepat merebut hati banyak orang Aceh lantaran pengetahuan dan kesalehannya. Ia juga mewakafkan rumah dan seluruh tanahnya untuk kepentingan agama.

Tak syak, perdebatan yang berlarut-larut itu menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat. Orang Kaya gagal mengatasinya hingga berkali-kali mengadakan pertemuan dengan anggota kabinet. Juga gagal. Lalu mereka menyarankan kasus itu diputuskan Sultanah. Merasa tidak cukup punya pengetahuan agama. Sultanah menyerahkannya kepada pemangku adat (uleebalang).

Tentu saja penolakan Sultanah itu membuat situasi bertambah kacau. Sourij pun mengeluhkan keadaan ini karena urusan dagangannya menjadi tertunda. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saifur Rijal. Sultanah memanggilnya ke istana dan memperlakukannya sebagai tokoh terhormat. Barangkali peristiwa inilah yang disebut “takdir yang tak bisa ditolak” itu.

Ar-Raniri yang kelahiran India dan keturunan Hadramaut lebih dikenal sebagai ulama Nusantara ketimbang India atau Arab. Setelah meraih posisi di Kesultanan Aceh, pengarang kitab produktif ini bergerak cepat membasmi ajaran wujudiah yang dia anggap sesat


Bagaimana kelanjutan peran Saifur Rijal, tidak banyak diketahui. Juga tidak ada informasi lebih jauh mengenai latar belakang tokoh ini. Yang pasti, menurut Azyumardi Azra, dia mewakili serangan balasan yang kuat terhadap Ar-Raniri yang selama tujuh tahun memburu dan menghukum mati para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Dan untuk meraih kemenangan itu, Saifur Rijal berlayar jauh ke Surat untuk belajar. Ar-Raniri tiba di Aceh pada 31 Mei 1637, menyusul wafatnya Syaikhul Islam Syamsuddin dan Sultan Iskandar Muda. Segera saja ia menggantikan posisi Syamsuddin. Kemungkinan ia sudah berada di Nusantara antara 1621 dan 1637. Ia tidak segera ke Aceh mungkin karena situasi politiknya tidak menguntungkan: wahdatul wujud yang diajarkan Hamzah dan Syamsuddin sedang jaya-jayanya di bawah perlindungan Sultan Iskandar Muda.
Nah, setelah meraih posisi penting itulah Ar-Raniri segera melancarkan pembaruannya di Aceh. Hampir seluruh tenaganya dikerahkan untuk melawan ajaran wujudiah, yang dianggapnya sesat, membunuhnya jika menolak melepas keyakinanya, dan membakar habis buku mereka.

Nuruddin Muhammad ibn Ali lahir di Ranir (Raniri, kota pelabuhan yang sibuk di Pantai Gujarat) Tahun kelahirannya tak diketahui persis, tapi kira-kira pada akhir abad ke-16. Ibunya konon seorang Melayu. Ayahnya imigran Hadhrami, yanng punya tradisi panjang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Meski demikian, Ar-Raniri lebih dianggap sebagai ulama Nusantara ketimbang India atau Arab.

Nuruddin Ar-Raniry


Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ranir, Ar-Raniri melanjutkan pelajarannya ke Hadramaut, sebelum akhirnya ke Mekah dan Madinah. Di Tanah Suci inilah Ar-Raniri melibatkan diri dengan komunitas Jawi. Tak heran jika dalam karyanya mengesankan dia sudah mengenal dunia Melayu, walaupun belum pernah ke Nusantara. Cerita pamannya, Muhammad Jilani, yang suka mondar-mandir ke Aceh, jelas menambah pengetahuannnya tentang tradisi budaya dan keragaman Melayu. Tapi, bukankah ibunya juga orang Melayu?

Sebelum meneliti karir di Aceh, Ar-Raniri sudah menjadi penulis produktif. Bidang perhatiannya meliputi tasawuf, kalam, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan agama. Kurang lebih 29 kitab ditulis  ulama yang namanya dijadikan nama IAIN di Banda Aceh ini. Setelah kembali ke tanah kelahiran, ia melewatkan sisa hidupnya yang 14 tahun, juga dengan menulis.

Setidaknya, ada tiga karya yang ditulisnya pada masa ini. Salah satunya ditulis sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Sultan Banten, Abu Al-Mufakir. Ini membuktikan Ar-Raniri tetap peduli terhadap persoalan-persoalan kaum muslimin di “negeri bawah angin”. Pengikut tarekat Rifa’iyah ini wafat pada 21 September 1658.

Sumber: Panji Masyarakat, 6 September 2000

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda