Kenikmatan salat dengan bacaan Quran yang panjang, yang menyebabkan penat sekali di kaki. Karena itu pula istilah ‘berdiri’ dalam Quran dipakai mewakili salat. Misalnya, qiamul lail untuk tahajud, dan qiamu ramadhan tarawih.
Menghafalkan itu, untuk surah-surah panjang, biasanya satu ruku’, dipakai untuk satu rak’at, kalau salat panjang, atau setengah ruku’ kalau salat agak cepat. Sering satu ruku’ itu seperti sudah terbagi dua — seperti terdiri dari dua unit wahyu, demikianlah khususnya dalam surah-surah mufashshal — dan itu memudahkan orang menghafalkannya. Kalau kita melakukan itu, alangkah puasnya kita: kita mati dan seluruh Quran sudah akrab dengan kita dan menjadi saksi kita.
Ada salat yang lama berdirinya, dan ada salat yang banyak sujudnya. Mana yang lebih utama? Ada diskusi kecil mengenai ini di kalangan ulama. Dalam Alquran difirmankan, “Yauma yuksyafu ‘an saaqin wa yud’auna ilas sujuudi falaa yastathii’ uun (Pada hari ketika betis dibuka, dan mereka diseru untuk bersujud, tapi mereka tak mampu)”. Itu lukisan yang indah dan penuh perasaan tentang hari kiamat. “Waqad kaanuu yud’ auna ilassujudi wa hum saalimuun (Padahal mereka dahulu sudah diajak bersujud pada ketika mereka masih waras)”, tetapi mereka menolak (Q. 68:42, 43).
Mengapa betis dibuka? Betis itu menyimpan banyak kenangan berdiri dalam salat. Akan berbeda, di hari kiamat, betis mereka yang salat dan betis yang tidak pernah atau jarang dipakai sembahyang. Betis yang dipakai salat akan menyimpan memori salat, dan demikianlah seluruh tubuh, sebagaimana difirmankan dalam surah Yasin: “Hari ini Kami kunci mulut mereka, sementara tangan mereka berbicara kepada Kami dan kaki mereka menyaksikan apa yang sudah mereka usahakan” (Q. 36:65). Jadi tidak perlu pengakuan dengan mulut, karena seluruh anggota tubuh punya kenangannya masing-masing.
Nabi memimpin salat zuhur. Seseorang yang perutnya mulas pergi buang air besar, lalu kembali. Masih di raka’at pertama
Dan kenangan betis yang dipakai berdiri dalam waktu lama adalah kenangan salat dengan bacaan Quran yang panjang. Pernah Nabi s.a.w. mengimami salat zuhur di masjid beliau, di Madinah. Ada sahabat yang, menjelang takbir pertama, merasa perutnya mulas. Karena itu dia pergi ke Baqi’, di sekitar pekuburan umum yang sekarang, dan buang air di sana. Ketika kembali ke masjid, sesudah bersuci, salat tadi masih berada di rak’at pertama.
Abu Bakr r.a. juga pernah dalam salat subuh, membaca Al-Baqarah. Sehingga waktu salam, matahari di timur sudah terbit. Kata orang-orang wah, kita kesiangan, nih. Jawab Abu Bakr, “Tidak apa, kita kesiangan ‘kan bukan karena tidur”. Itu pula sebabnya mengapa Sayidina Umar membagi tarawih yang delapan rak’at menjadi 20 rak’atnya dua-dua supaya santai, tidak terlalu capek di betis, tapi panjang bacaan Qurannya barangkali sama.
Lihat juga Fatimah r.a. putri Nabi. Ketika di waktu subuh Rasulullah masuk masjid, dilihatnya tali terentang antara tiang sama tiang. Ini apa? Dijawab oleh sahabat, “Oh, itu putri Bapak, kalau salat malam dan mengantuk tangannya memegang tali itu.” Jadi, kata Nabi, tidak usah begitu. Kalau mengantuk lebih baik beristirahat.
Itu semua gambaran kenikmatan salat dengan bacaan Quran yang panjang, yang menyebabkan penat sekali di kaki. Karena itu pula istilah ‘berdiri’ dalam Quran dipakai mewakili salat. Misalnya, qiamul lail: berdiri (salat) malam, yakni tahajud. Juga qiamu ramadhan, alias berdiiri (salat) tarawih. Di sini bisa disimpulkan, salat yang lama berdirinya lebih utama dari yang banyak sujudnya. Begitu pula yang disebut pertama kali dalam ayat di atas adalah ‘berdiri’(yakni betis), bukan ‘sujud’.
Tapi tentu saja sujud bukan tidak punya keutamaan. Bukankah salat yang banyak sujudnya berarti banyak salatnya? Ayat tadi mengatakan, mereka diseru bersujud tapi tidak mampu melakukannya. Begitulah gambaran orang-orang yang di dunia menolak bersujud. Tapi, lihatlah, sujud ini hal yang cukup susah. Mereka yang sudah mulai memasuki usia tua akan tahu: penyakit asam urat, atau encok, membuat orang makin susah bersujud.
Kita pahami bila sujud punya kehormatan paling tinggi sujud itulah dahulu yang menentukan kafir-tidaknya Iblis. Padahal sujud inilah tanda melepaskan kesombongan kita, dan sujud ini merupakan ibadah yang tua sekali. Kalau di lithang (kelenteng Cina) mereka begini-begini, dengan stik bambu, sudah itu mereka akan sujud. Lalu orang-orang di Tibet, setelah mereka berdiri, sujudnya dengan cara menjatuhkan diri begitu saja ke tanah — buk. Jadi seperti disebutkan dalam sebagian hadis yang tidak populer, ibadah para nabi itu dahulu masing-masing ada sujudnya. Bersambung
Penulis: Syu’bah Asa; Sumber: Panjimas, 09-22 Januari 2003