Kita tidak tahu, apakah bus itu awalnya dinamai Cilaka karena si pemilik punya kepekaan humor tingkat tinggi atau karena merasa mendapat wangsit? Bukankah kata cilaka sangat dekat dengan kata celaka? Apalagi di banyak daerah, terutama dalam bahasa pergaulan, kata celaka memang sering diucapkan menjadi cilaka atau cilakak.
Kata celaka jelas tidak sedikit pun punya konotasi positif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, celaka bermakna ’selalu mendapat kesulitan, kemalangan, kesusahan, kesialan dan sebagainya’. Lantas apa maksud si pemilik menamai busnya sebagai pembawa kesulitan, kemalangan, kesusahan, kesialan dan sebagainya?
Bus ini sejak awal memang agak aneh dan misterius keberadaannya. Bila umumnya bus punya satu trayek, dari A ke B, ditambah wilayah yang ada dalam lintasannya; bus ini trayeknya bisa kemana saja: bisa maju bisa mundur, bisa ke kiri bisa ke kanan, bisa serong sini serong sana, bahkan bisa ke atas bisa ke bawah. Artinya, ke manapun tujuannya, penumpang cukup naik satu bus ini.
Baik hendak ke Jakarta, Surabaya, Banten, Banyuwangi, Malang, Jogjakarta, Bandung, Pacitan dls; cukup naik bus ini, tanpa perlu pindah-pindah lagi. Bus ini memang dirancang sebagai bus sapu jagad, mungkin maksudnya sebagai pasangan dhohir dari doa sapu jagad. Bagi penumpang dengan bawaan sangat banyak, tentu ini meringankan. Mereka tidak perlu repot menaik-turunkan barang bawaanya karena harus ganti-ganti bus.
Untuk penumpang jenis ini, sudah pasti nama Cilaka tidak tepat disematkan pada bus tersebut. Bagi mereka, nama yang lebih tepat mestinya adalah yang mengandung makna kemujuran atau keberuntungan. Apalagi bagi kenyamanan penumpang tertentu, trayeknya telah dibuat sedemikian rupa, sehingga beberapa orang menyebutnya nyaris mirip dengan trayek di Cina.
Yang celaka pasti jenis penumpang sebaliknya: yang bawaanya sedikit atau malah tidak membawa bawaan, tujuannya dekat, waktunya terbatas, dananya pas-pasan. Mereka inilah yang benar-benar akan celaka bila dipaksa menumpang bus ini. Sudah tiketnya tak terjangkau, waktu tempuhnya bisa berlipat-lipat kali waktu normal. Untuk memilih bus yang lain pun mustahil, karena semua bus sudah dilebur dalam satu model, yakni bus yang lantas diberi nama Cilaka. Moda transportasi lain? Sama. Semua akan dibuat sedemikian rupa untuk mengikuti model bus tersebut.
Tapi nanti dulu, pasti akan ada yang segera protes: bukankah bus adalah salah satu moda transportasi massal? Dan sebagai moda transportasi massal, maka titik beratnya adalah mengakomodasi kepentingan massa, bukan kepentingan segelintir orang? Pertanyaan begini ini pasti muncul dari orang-orang yang tidak paham teori ekonomi dan pembangunan. Hukumnya sangat sederhana: pertumbuhan ekonomi hanya terjadi bila ada investasi. Tanpa investasi, ekonomi mandek dan pembangunan akan mangkrak.
Jer basuki mawa bea, begitu menurut ungkapan Jawa, setiap keberhasilan itu butuh biaya. Kalau kemudian ternyata bahwa yang harus selalu membayar biayanya itu justru orang-orang yang tidak punya biaya, dan yang menikmati keberhasilan bukan yang membiayai; sudah pasti itu persoalan lain.
Di titik ini kita perlu memahami perbedaan pelawak dengan pesulap. Seorang pelawak harus membangun narasi sedemikian rupa untuk mengarahkan perhatian penontonnya ke satu titik fokus yang diperkirakan bisa meledakkan tawa. Sebaliknya, seorang pesulap justru membangun narasi sedemikian rupa justru untuk mengalihkan perhatian penontonnya dari titik fokus akan akan disulapnya.
Mungkin ini semua memang sekadar pertunjukkan lawak dari para pesulap saja. Tak mengejutkan bila nama busnya diubah dan ketikannya pun ada yang dibuat salah.
