“Dengan ini saya meletakkan jabatan saya sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia.”
Itulah bagian akhir surat Haji Abdulmalik Karim Amrullah yang selembar . Pada 18 Mei itu Buya Hamka resmi mundur dari MUI.
Sebelum itu masyarakat dihebohkan oleh fatwa MUI yang mengharaman kaum muslimin mengikuti perayaan Natal. Fatwa yang mengundang reaksi Menteri Agama itu akhirnya dicabut, lewat pernyataan yang ditandatangani Buya Hamka sendiri dan Sekretaris Umum Burhani Tjokrohandoko . Tapi, esoknya, Buya membuat pers rilis atas nama pribadi. Ia menegaskan bahwa pencabutan itu tidak berarti fatwa itu batal. “Fatwa itu shah,” katanya. “Yang dicabut hanyalah peredarannya.”
Hamka adalah ketua umum MUI pertama, sejak organisasi itu didirikan pemerintah pada 1975. Ketika mundur, ia baru setahun menjabat untuk periode yang kedua. banyak yang kaget: apakah peletakan jabatan itu merupakan perlawanan kepada rezim yang terlalu dalam mencampuri urusan agama?
Tidak sebagaimana kawan-kawan sefahamnya di Masyumi, semisal Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, atau Prawoto Mangusasmito, yang sampai akhir hayat menjadi musuh Orde Baru, Hamka justru “menikmati kewibawaan” sebagai ulama besar pada rezim Orde Baru.
Tapi yang menarik sebenarnya adalah segi lain dari peran seorang Hamka. Yakni, lepas dari yang di atas itu, Hamka bukan saja tokoh yang menjadi pembicaraan dalam sejarah Indonesia modern, tapi juga diakui sebagai sumber yang penting bagi para sejarawan. Figur-figur seperti Taufik Abdullah, Azyumardi Azra, Anhar Gonggong – untuk menyebut beberapa – adalah sejarawan yang kerap mengutip Hamka. Dari luar yang melakukan studi tentang Hamka antara lain James R. Rush dan Jeffery Hadler.
Dalam salah satu ceramahnya di LIPI pada 1982, Rush menyatakan, Hamka sesungguhnya hanyalah satu di antara banyak orang dalam generasinya yang dikenal sebagai politikus, ulama, dan pengarang yang tulisan-tulisannya mengarah kepada perubahan Indonesia. Sesungguhnya, kata Rush, di antara mereka ada yang lebih terpelajar, baik dalam pengetahuan Barat maupun studi mendalam tentang Islam, dan ada yang mempunyai gagasan yang lebih orisinal ketimbang Hamka. Tapi justru Hamka-lah yang justru tampak menonjol. Mengapa?
Yang terpokok, menurut Rush, Hamka adalah seorang penulis yang tidak hanya produktif dan cakap dalam beberapa hal, tetapi juga populer. Pada akhir 1930-an buku-buku Hamka sudah dapat ditemukan di perpustakaan sekolah umum, dan para pelajar sering dianjurkan membacanya. Dalam perkembangan kebudayaan nasional, pengaruh penulis populer, menurut Rush, lebih luas dibandingkan peranan cendekiawan, ilmuwan, dan lainnya. Dan jangan lupa, tema utama yang dibawakan adalah tema “kemajuan”, yang amat digandrungi masyarakat waktu itu. Bukankah Hamka menamakan tasawufnya Tasauf Modern?
Oleh kepiawaian menulis dan kemampuan membaca “arus pasar” ini, ditambah wibawa keulamaan, Hamka yang lahir pada 17 Februari 1908 dan wafat pada Jumat pagi 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun 5 bulan, akhirnya menjadi penting, sebagai pribadi maupun sumber bagi penulisan sejarah Indonesia modern.
Rush sendiri, setelah lebih dari tiga dasawarsa tertunda-tunda, baru menyelesaikan proyek penulisannya tentang Hamka pada 2016. Buku bertajuk Hamka’s Great Story , A Masters Vision of Islam for Modern Indonesia kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan ditertbitkan pada 2017 dengan judul Adicerita Hamka, Visi Islam Penulis Besar untuk Indonesia Modern.
Berikut adalah riwayat Hamka, yang disajikan dalam beberapa bagian; kami nukil-nukilkan dari Kenang2an Hidup (Jilid I-IV) karangan ulama pengarang itu sendiri, dengan beberapa perubahan kecil, bila dibutuhkan untuk lebih memperjelas. Memoar ini pertama kali terbit pada 1951, menyusul Ayahku, biografi Haji Abdul Karim Amrullah yang juga ditulis Hamka.
Di Rumah Demikian Aku Dilahirkan
Di tepi Danau Maninjau, di satu kampung bernama Tanah Sirah, dalam negeri Sungai Batang, di situlah rumah orangtuaku. Aku masih ingat sebuah rumah beratap ijuk bergonjong empat, menghadap ke danau, membelakang ke timur. Halamannya tidak luas sebab rumah itu di lereng bukit. Di pinggir halaman, ditanamkan Andung (panggilan nenek perempuan) bunga raya putih, yang senantiasa dipangkas, agar mudah bagi ibuku menjemur kain.
Rumah kami tidak banyak penghuninya, sebagaimana rumah Minang yang lain. Sebab anak andungku hanya ibuku seorang. Anak perempuannya yang tua telah lama meninggal di Mekah tatkala dibawa ayahku naik haji. Andungku tidak pula mempunyai anak laki-laki. Maka tertumpahlah kasih sayang andungku, dan saudara laki-lakinya yang berlima, kepada kemenakan yang hanya satu-satunya itu.

Di rumah demikianlah aku dilahirkan. Setelah aku dewasa, barulah dapat kulihat di dalam buku catatan ayahku bahwa aku dilahirkan Ahad petang, malam Ithnin (Senin, red) tanggal 13 jalan 14 Muharam tahun 1326, bersetuju dengan 16 jalan 17 Februari 1908. Aku adalah anak yang pertama dari ibuku. Dengan ibuku yang tua, kakak ibuku yang mati di Mekah, ayahku tidak beroleh seorang anak laki-laki. Almarhumah ibu tuaku yang meninggal di Mekah itu hanya meninggalkan seorang anak perempuan. Sebab itu saat yang mulia itu ( kelahiran Hamka, red) sangatlah beliau tunggu. Setelah tangisku kedengaran, demikian cerita andungku, dan dukun memberitahukan bahwa anak itu laki-laki, terbangunlah ayahku yang sedang berbaring-baring di bangku, terkejut dan kelihatan gembira di mukanya, sambil berkata, “sepuluh tahun”.
“Apakah maksud “sepuluh tahun”, Guru Haji?” tanya andungku.
“Sepuluh tahun dia akan dikirim belajar ke Mekah, supaya kelak menjadi orang alim pula seperti aku, seperti neneknya, seperti nenek-neneknya yang dahulu.”
Aku sendiri mana aku tahu hal ini. Dan siapakah orang yang dapat mengetahui masa yang gilang-gemilang dari permulaan menempuh dunia itu? Yang menceritakan hal ini kepadaku adalah andungku.
Kabarnya konon setelah tahun 1908 itu telah banyak pelajar agama yang datang ke kampungku, menuntut ilmu kepada ayahku, sebab beliau baru saja pulang dari Mekah. Beberapa orang yang sampai sekarang jadi orang ternama dalam gerakan agama belajar pada masa itu di surau ayahku di Muara Pauh.
Abdullah Ahmad mengeluarkan majalah Al Manar di Padang (1911). Di awal 1912 (ayah Hamka, red) pindah ke Kota Padang, di sana pun hendak meneruskan mengajar dan turut membantu mengisi majalah Al Manar dalam perkara agama. Beliau berangkat ke Padang, ibuku dan kakak perempuanku dibawa.Tetapi aku yang usia empat tahun kabarnya ditinggal.
Bersambung
Sumber : Panjimas 2-15 Oktober 2015