Ads
Tafsir

Apakah Basmalah Termasuk Fatihah (Bagian 2)

Mu’awiah  memimpin salat. Sehabis salam, orang-orang  berseru: “Mana bismillah-nya?” Salat terpaksa diulang. Apa alasan alasan lainnya bahwa basmalah merupakan bagian dari Fatihah?

Tertulis dalam mushaf

Al-Ghazali membantah pandangan itu. Di antara alasannya adalah fakta yang sangat jelas: bismillah itu tertulis dalam mushaf Quran sejak awal. Dan itu memberi kesimpulan bahwa dia termasuk Quran sejak awal. Di sini lalu menjadi tidak sah penetapan bahwa ia bukan dari Quran kecuali dengan dalil terpisah. Dan di waktu itulah soalnya berbalik: apakah dalil yang menetapkan basmalah itu bukan Quran datang secara tawatur atau secara ahad-dan logika yang dipakai Qadhi tadi harus dikenakan pada jalan pikirannya sendiri.

Kontroversi ini memang cukup besar, di zaman lampau. Para qurra’  (jamak qari, ahli Quran klasik) Madinah, Basrah, dan para fakih Kufah menganggap basmalah bukan Quran. Sementara itu para qari Makkah, Kufah dan kebanyakan fakih Hijzah meyakininya sebagai bagian dari Al-Fatihah. Inilah pula keyakinan imam-imam Ibnul Muba dan At-Tsauri. Dan Al-Fakhrur Razi (w. 604 H.), mufasir kita yang kita kutip sejak awal tulisan ini, mengemukakan banyak sekali alasan, meskipun hanya kita pilih beberapa yang paling kuat (dan kita beri nomor baru):

Pertama, riwayat Syafi’i dari sumber pertama Umm Salamah s.a.w. membaca Fatihah dan menghitung Bismillahir rahmaanir rahim satu ayat, Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin satu ayat, Maliki yaumid din satu ayat, Maliki yaumid din satu ayat, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in satu ayat Ihdinash shirathal mustaqim satu ayat, dan Shirathal ladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh-dhallin satu ayat.”

Kedua, riwayat Sa’id al-Maqburi dari sumber pertama Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Fatihatul Kitab tujuh ayat, permulaanya Bismil lahir rahmanir rahim.

Ketiga, Dari sumber Umm Salamah, Tsa’labi meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. membaca Bismil lahir rahmanir rahim dan kemudian Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin. Sedangkan dari ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. diturunkannya bahwa Ali memulai surah di dalam salat dengan membaca Bismil lahir rahmanir rahim. Diriwayatkannya juga dari sumber Ibn Abbas, mengenai firman-Nya “Sudah Kami berikan kepada engkau tujuh yang diulang-ulang” (Q. 15:87). Kata Ibn Abbas, “Fatihatul Kitab.” Ditanyakan kepadanya:  “Lalu yang mana yang ketujuh?” Jawabannya, “Bismil lahir rahmanir rahim.

Keempat, firman Allah Ta’ala “Iqra’ bismi rabbik (Bacalah dengan nama Tuhanmu” (q. 96:10) sama sekali tidak berarti tidak berarti “Bacalh nm Tuhanmu”,  melainkan “Mulailah pembacaan dengan menyebut nama Tuhanmu”.

Kelima, semua yang bukan Alquran tidak dituliskan di dalam naskah Quran (lafal amin, misalnya; juga a’udzu billahi minasy syaithanir rajim—tak ada). Bukankah para pendahulu kita dahulu melarang menuliskan nama-nama surah dalam mushaf (Kitab Quran), juga kode-kode perpuluhan  surah atau perlimaan? Maksud tindakan itu adalah memelihara Quran dari kemungkinan pencampurannya dengan yang bukan Quran. Sekiranya tasmiah (basmalah) tidak termasuk Quran, tak mungkin mereka dahulu mengguaratkanya dengan khath Quran.

Keenam, sabda Nabi s.a.w., “Setiap perkara yang punya urgensi, yang tidak didahului dengan bismillah, dia buntung.” Sebesar-besar amalan sesudah iman adalah salat. Maka pembacaan Fatihah di dalamnya, tanpa pembacaan bismillah, menjadikan salat buntung.

Ketujuh, Mu’awiah datang ke Madinah. Ia salat bersama orang-orang, salat jahriah (dengan suara keras). Ia membaca Ummul Quran (Al-Fatihah) tapi tidak membaca bismillahir rahmanir rahim. Setelah rampung salatnya, orang-orang Muhajirin dan Anshar berseru-seru dari segala sudut: “Anda lupa? Di mana bismillahir rahmanir rahim, waktu anda memulai Quran?”   Maka Mu’awiah pun mengulangi salat dan membaca bismillahir rahmanir rahim. Hadis ini menunjukkan ijmak para sahabat r.a. bahwa basmalah termasuk Quran dan bagian dari Fatihah.

Kedelapan. Allah Ta’ala adalah yang terdahulu di dalam wujud dibanding wujud seluruh yang maujud. Dan Dzat yang kadim dan yang pencipta itu wajib menjadi yang terdahulu dibanding dzat yang bersifat baru dan yang makhluk. Bila demikian, wajiblah menurut hukum kepantasan yang rasional bahwa penyebutan nama-Nya didahulukan dibanding penyebutan yang selain-Nya. Dan ini tidak akan terjadi kecuali bila bismillahir rahmanir rahim mendahului seluruh sebutan dan bacaan.  Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat;  Sumber: Panji, 23 Januari-25 Februari 2003

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda