Konon, suatu saat ada tukang sampah pingsan di pinggir jalan. Orang-orang mengerumuni dan mencoba menyadarkan. Ada yang menguncang-guncangkan tubuh, ada yang menggosok dada dengan minyak angin, ada juga yang menggosok-gosokkan parfum ke hidung. Semua gagal.
Seseorang tiba-tiba menyibak kerumunan. Di tangannya tergenggam seonggok sampah, lantas digosokkan ke hidung si tukang sampah. Ajaib. Si tukang sampah langsung sadar.
Orang-orang heran: bagaimana bisa? Bau paling akrab dan paling khas yang dikenalinya adalah sampah, karena di lingkungan itulah sehari-hari dia bergaul; kata orang tersebut sambil berjalan meninggalkan kerumunan.
Nanti dulu, jangan tergesa merendahkan tukang sampah berdasar kisah ini. Tukang sampah adalah salah satu profesi paling mulia; tanpa mereka kota-kota bisa berubah jadi samudra sampah. Dan beragam penyakit segera mengintip kita.
Artinya, pusat masalah adalah sampahnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sampah adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Ini arti denotatifnya. Secara konotatif, kata ini biasa dipakai untuk menyebut sesuatu yang keberadaannya hanya membuat kotor atau mengotori ruangan; sehingga ada istilah ‘sampah masyarakat’ dls.
Apakah ini cukup menjelaskan? Belum. Kata ‘dibuang karena tidak terpakai lagi’ dan ‘kotor atau mengotori’ jelas punya muatan subyektif dan relatif. Sesuatu yang dibuang karena dianggap tidak terpakai lagi oleh seseorang atau sekelompok orang, mungkin bagi orang lain justru dicari untuk dipakai lagi. Botol bekas yang kita buang, akan segera dikumpulkan orang lain untuk dijual dan didaur ulang misalnya.
Demikian juga sesuatu yang dianggap kotor atau mengotori oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa jadi dianggap suci dan menyucikan oleh kelompok lainnya. Koruptor mungkin kita anggap sampah karena kotor dan mengotori masyarakat; tapi bagi kelompok, organisasi atau partai yang selalu dia bantu, mungkin saja dia dianggap pahlawan.
Ajaib. Berarti sampah hanya persepsi, hanya tafsir manusia? Bisa jadi. Dalam proses di alam semesta memang tak pernah ada yang namanya sampah. Semua hanya bagian dari proses pembentukan dan pembentukan kembali secara terus menerus. Bukankah al Qur’an sendiri menegaskan mâ khalaqta hâdzâ bâthilan, tiadalah Kau ciptakan semua ini sia-sia (Ali Imran 191)?
Uniknya, lanjutan ayat ini berbunyi subhânaka faqinâ ‘adzâban nâr; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan api. Ungkapan ‘Maha Suci Engkau’ mengandaikan sebelumnya ada yang dianggap sia-sia, dianggap sampah, oleh persepsi atau tafsir kita. Sementara ungkapan ‘peliharalah kami dari siksaan api’ sekaligus menunjukkan bahwa persepsi atau tafsir tersebut bisa mendorong kita ke kekacauan pemahaman tentang diri, lingkungan dan semesta, yang berdampak menguatnya hawa nafsu ketika di dunia, dan pada ujungnya menjerumuskan ke neraka.
Apakah ini berarti tidak boleh ada sesuatu yang dalam pembahasaan kita disebut ‘sampah’? Nanti dulu. Meski punya muatan subyektif dan relatif, tapi kenyataannya selalu saja ada sesuatu yang memang kita anggap tidak berguna dan harus dibuang. Yang jadi masalah: bukan substansinya sebagai sesuatu yang menjadi ‘sampah’ bagi kita; tapi pengelolaannya. Artinya: apa yang kita anggap sebagai sampah itu harus dikelola, agar terjadi proses daur ulang secara alamiah mau pun oleh manusia. Kalau tidak, dia akan menumpuk dimana-mana, yang justru potensial menyebarkan penyakit ke siapa saja.
Itu untuk sampah dalam pengertian denotatif. Bagaimana dengan sampah dalam pengertian konotatif? Wah, ini yang agak sulit, karena subyektivitas parameternya semakin kental. Untuk sampah denotatif, alat ukurnya gampang: apa saja yang kita anggap tak berguna otomatis menjadi sampah yang harus dikelola agar terjadi proses daur ulang. Nah, untuk yang konotatif?
Ini yang bikin bingung. Orang yang sehari-hari hidup dan bergaul dalam atmosfer ‘sampah’; otomatis akan menganggap sampah bukanlah ‘sampah’. Salah satu pesan kisah di awal tulisan ini menyiratkan kenyataan tersebut. Di lingkungan koruptor, korupsi adalah akhlak alias kebiasaan yang otomatis dikerjakan sehari-hari setiap kesempatan muncul. Di lingkungan penjilat, menjilat adalah habit lidah sehari-hari yang tak mengagetkan. Dan seterusnya.
Atau, kalau kita balik: apa yang diucapkan atau dilakukan orang, secara personal sebenarnya hanya mengungkapkan siapa sebenarnya dia, dan secara sosial merefleksikan lingkungan dimana dia berada. Kalau menurut istilah nabi Isa alaihi salam: orang hanya akan melemparkan apa yang ada di keranjangnya.
Jadi ya begitulah. Ketika ada koruptor sulit dilacak, ketika ada yang bilang ‘haram’ meneladani cara Nabi Muhammad mengelola masyarakat, kita ada yang ngomong ‘sampah’ pada data-data yang disodorkan (meski ‘terpaksa’ direvisi sendiri), saat ada yang tanpa beban menuding agama musuh terbesar Pancasila (meski sama juga ‘terpaksa’ direvisi sendiri) dan seterusnya banyak lagi lainnya; itu tidak menunjukkan apa-apa kecuali kualitas ‘keranjang’nya sendiri.
Apakah itu semua bathilan? Tentu tidak juga. Semua tetap merupakan bagian dari proses daur ulang raksasa, pembentukan dan pembentukan kembali. Soal pembentukannya menuju kejayaan atau kehancuran; itu soal yang lain lagi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
