Baru saja sebuah media memberitakan “agama musuh terbesar Pancasila” atau “agama mengancam Pancasila”. Sebagai seorang yang menjalankan proses keberagamaan, berita itu menyulut emosi saya — dan banyak orang, tentu saja. Sebagai seorang Jawa yang lahir di bumi Indonesia dengan dasar falsafah bangsa Indonesia, Pancasila, saya marah kuadrat lantaran kedua hal tersebut dipertentangkan.
Bisa jadi orang yang fanatik hanya kepada agama, bakal mati-matian membela agama yang sesuai definisinya, pikirannya, evolusi dan konstruksi mentalitasnya. Masa bodo dengan pikiran dan mentalitas orang lain. Pokoknya yang tidak sependapat dengan saya itu salah dan saya yang benar. Sebaliknya, jika seseorang fanatik pada simbol-simbol negara seperti Pancasila, dia akan menyerang seseorang/pendapat yang sok suci pakai simbol agama yang memanifestasikan kebenaran agamanya berusaha menantang Pancasila. Padahal menurut dia, Pancasila adalah segala galanya: “Saya Pancasila”.
Saya dan banyak orang sudah terprovokasi pemberitaan yang melihat agama secara diametral bertentangan dengan Pancasila itu. Media memang jeli dalam melihat para konsumennya. Pasar beritanya jelas. Hasrat yang perlu dipuaskan dan dieksploitasi pun gampang saja dengan clickbait. Sasarannya sudah jelas, orang-orang yang cuma baca judul atau baca sekilas info saja: masuk ke hati lalu ke pikiran, bukan sebaliknya. Atau orang yang sedang mencari justifikasi fakta demi kebenaran dirinya.
Ya orang seperti saya yang seringkali bersumbu pendek. Karena itu mudah menjadi korban kebodohan diri sendiri dalam mengolah informasi. Namun beruntung dalam diri kita masih ada yang disebut angst. Yakni keresahan yang tak jelas (eksistensial), kebingungan akan-sesuatu yang perlu ditelisik mendalam dan terus menerus; absurditas manusia yang terus saya rengkuh (embrace) demi tetap merasakan menjadi manusia (wong/iyong/uwong). Inilah yang membuat orang seperti kesurupan: berbicara dengan diri sendiri seperti main catur sendiri di alam gaib.
Di sini, hati kecilku berkelakuan nakal, membuat kesurupanku menjadi-jadi. Hati yang resah ini bertanya-tanya pada bagian diri yang lain, “kok media yang menjadi pokok pembahasannya, bukan seorang yang mengatakannya?” Saya pikir, jika tidak ada media, maka semua hal yang menghebohkan tak mungkin ada. Media justru membuatku membaca, mendengar berita provokatif masuk ke ‘telinga’ saya, lalu memanaskan tungku emosi saya. Media adalah teks kebenaran bagi pembacanya. Media adalah realitas. Agar dibacanya ramai, beritanya memuat nuansa, atmosphere, situasi emosional, dramatis, dan kadang tragis serta brutal.
Professor pun “Dihabisi”
“Ah masa?” Namun bukannya yang bertanggung jawab adalah sang pengarang, yakni sang pengucap?” Hati kecilku terus menabuh lonceng kebisingan dalam nalar. Padahal emosi saya masih membara-bara. Dan sang pengucap itu tidak lain orang yang justru berada di garda depan ideologi Pancasila: Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yag baru dilantik: Profesor Yudian Wahyudi. Pertanyaan selanjutnya, “kok bisa seorang guru besar professor berkata seperti itu?
Apakah benar, seorang akademisi UIN Sunan Kalijaga kenamaan, ahlinya ahli hukum Islam sekaligus lulusan luar negeri kampus ternama pula yang kini ngurusin pembinaan Pancasila, kok mengeluarkan dua konsep yang dipertentangkan sekaligus melekat keduanya dalam dirinya? Ini sesuatu banget. Apa ini namanya manusia ironi atau manusia kontradiksi? Saya tidak tahu itu. Mungkin perlu perlu perbincangan lebih dalam tentang konsep itu di lain waktu. Yang jelas, professor kita ini harusnya tidak collapse, stress, dan konslet pikirannya sehingga pernyataannya itu memang secara sadar diungkapkannya.
Saya dengar capaian gelar professor itu membuat seseorang suka lupa dan aneh-aneh kelakukannya; Label professor itu sulitnya minta ampun sampai begitu banyak orang yang baru saja menerima gelarnya lalu beberapa harinya stroke, jantung, atau meninggal sedang yang masih hidup rambut telah mudar, memutih, dan tubuh semakin keropos termakan layar komputer dan kursi. Di Indonesia, jabatan ini begitu sulit sekali karena yang ngurusin tidak hanya dimensi akademisi tapi juga dimensi kekuasaan negara beserta sistem feodalisme yang sejak jaman Mahabarata justru semakin sustain, langgeng, dan komprehensif-massif.
Sudah sebegitu sulitnya gelar professor diperolehnya, begitu memberi wawasannya yang sekiranya kurang cerdik melayani pembaca dan umat demokrasi Indonesia, professor itu langsung di-bully dan dihabisi oleh media-media, para pejabat partai, netizens, dan orang-orang yang mempunyai dimensi hidupnya, level pendidikan, bahasanya, evolusi pikirannya, ruang dan waktunya beda-beda dan rumit. Kritik bertubi-tubi diarahkan kepada Prof. Yudian yang disebut buta sejarah, dan bagai anak SD yang baru belajar Pancasila.
Seorang pengkritik pun mengulitinya seolah-olah si Prof tidak paham relasi positif antara agama dan Pancasila. Dia mulai menguliahi professor itu dengan bercerita kontribusi organisasi Islam yang membuat Pancasila itu lahir. Demi mendidik si prof yang menurutnya telah salah arah, kesasar, dicarilah kisah mendalam tentang kelahiran Pancasila dan peran agama di dalamnya. Demokrasi sekarang memang luar biasa. Tidak ada lagi sekat antara prof dan ‘anak bawang’. Padahal di negara-negara Eropa seorang professor masih saja ilmuwan/akademisi tingkat ‘dewa’.
Ternyata angst saya telah menolong saya dari emosi yang lepas kendali. Seorang prof bisa saja salah, tapi ya kok kebangeten. Jadi saya curiga. Saya kembali baca lagi secara serius media yang memberitakan ucapannya.
Ternyata saya tak perlu keliling tujuh kali menelusuri jejak sejarah antara Pancasila dan agama (Islam). Saya cuma kurang bersungguh sungguh memahami strategi pemasaran media. Oleh sebab itu saya telisik kembali, perdalam kembali isi pemberitaan tersebut, kata demi kata. Saya harus lebih serius lagi masuk ke logika media sekaligus mengarungi makna dan pesan professor tersebut melalui ruang dan waktu serta konteks pembahasannya. Saya lawan kemalasan saya dengan melawan pikiran saya sendiri. Saya keluar dari dunia saya dan masuk ke dunia media dan professor itu agar paham betul apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata hanya dengan meneliti kata demi kata dimaknai melalui pintunya media dan sang Professor, konteks besar dari judul media “Agama musuh terbesar Pancasila” hanyalah strategi jualan produk saja.
Konteks itu sebenarnya memberi pesan bahwa jangan sampai segelintir orang yang mengatasnamakan agama tertentu, seperti Islam, lalu dihadapkan sebagai musuh Pancasila. Ambil contoh: Ada segelintir orang yang ngusel, ingin sekali pikirannya, semacam istilah “Khilafah” dijadikan dasar negara Indonesia dengan dihadapkan (seolah-olah mengancam/musuh) dengan Pancasila. Padahal mayoritas Islam yang suaranya moderat (NU dan Muhammadiyah) tidak menginginkan hal itu. Di sini saya menertawakan diri saya sendiri atas kecerobohan sendiri yang cepat marah.
Dalam paragrafnya ternyata ada kata (1) “mereduksi agama”, (2). “maka (therefore)”, dan (3) Pancasila. Singkat cerita, angst saya membuahkan hasil bahwa saya seharusnya lebih berhati- hati lagi dan lagi dengan akal saya menceramahi, menghakimi sang professor. Saya jadi ngerti yang disebut dengan agama oleh si media dan sang profesor itu ya segelintir orang yang mengatasnamakan agama dengan pikiran dan mentalitasnya sendiri (mau maunya mereka, maksa lagi) dengan mendesak (ingin merubah/mengganti) Pancasila. Jadi “orang yang “mereduksi agama” musuh “Pancasila”. Bukan “agama musuh Pancasila” Contoh gampangnya: ISIS, HTI, dan Wahabi politik yang memusuhi, mendesak Pancasila; “Reduksi agama” maka (therefore) memusuhi/mengancam “Pancasila”.
Ah…tapi itu cuma saya dan angst saya saja. Saya ini bukan siapa siapa, cuma seorang yang sedang kesurupan dengan berbicara sendiri. Ini cuma imajinasi saya saja, lelucon saja. Anggap saja ini lucu-lucuan tidak serius di saat ngopi. Toh, pak prof sudah klarifikasi setelah di-bully kanan-kiri. Jika tetap pada gak mau terima ya (dipaksa) dibuat (merasa) bersalah secara publik, disuruh minta maaf dengan meluruskannya seperti kasus disertasi kontroversial tempo hari itu.
