Perkawinan Presiden Soekarno dengan Hartini menuai protes dari gerakan kaum perempuan. Juga istrinya Fatmawati. Apa kata Bung Karno?
Dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada, Presiden Soekarno bertemu Hartini di Salatiga. Konon, Bung Karno langsung jatuh cinta kepada janda 28 tahun itu. Setahun kemudian mereka bertemu kembali pada acara peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan, Yogyakarta. Dan pada 7 Juli 1953 mereka menikah di Istana Cipanas, Jawa Barat. Enam bulan sebelumnya, Bung Karno minta izin kepada Fatmawati yang baru melahirkan Guruh Soekarnoputra, untuk menikahi Hartini. Sebelum dengan Fatmawati, Soekarno pernah menikah dengan Utari, putri guru politiknya Tjokroaminoto, dan Inggit Ganarsih, mantan ibu kosnya di Bandung.
Adapun Hartini, atau yang biasa dipanggil Tien adalah anak ke-2 dari lima bersaudara. Ayahnya, Osan, pegawai kehutanan mendidiknya secara tradisional. Tidak mengherankan jika Tien berpendidikan formal hanya sampai kelas 2 SMA. Kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924, ini menikah dengan Dokter Soewondo dan tinggal di Salatiga, Jawa Tengah. Mereka dikaruniai lima anak.
Apa alasan Bung Karno menikah dengan Hatini? Dia berkata: “Alasannya sederhana saja. Alasan pokok yang telah berlangsung sejak zaman dulu dan akan tetap berlangsung terus setelah aku tiada lagi: Aku bertemu dengannya. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan begitulah yang terjadi. Tidak lebih dari itu.”
Betapapun, perkawinan Soekarno dengan Hatini banyak menuai protes dari kalangan gerakan perempuan. Mereka kecewa dengan Presiden. Dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno menyatakan: “Tepat di tengah menghangatnya masalah ini (tuntutan antipoligami), presiden mereka menikahi istrinya yang kedua. Timbul kehebohan. Para perempuan itu, yang merasa kuatir kedudukan istana, mengadakan protes. Sikap militan mereka membuat aku menderita, terutama ketika koran-koran terus menyerangku. Kalau demosntrasi ini dilakukan untuk menentang kebijaksanaan negara, aku dapat segera mengambil tindakan. Tetapi meski situasinya membuat aku menghadapi kesulitan dan menimbulkan kemarahanku, demonstrasi ini ditujukan kepada pribadiku. Karena itu aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak menyuruh mereka supaya tutup mulut, tetapi aku berusaha, misalnya, untuk menahan perasaan supaya tidak melukai hati mereka selanjutnya.”
Menurut Soekarno, istrinya Fatmawati marah sekali atas perkawinannya itu. “Seharusnya dia tidak perlu marah. Istriku yang pertama dan kedua ini adalah penganut Islam yang saleh, yang mengetahui benar hukum-hukum agama kami. Dan mereka mengerti. Atau, bagaimanapun, seharusnya mengerti. Tetapi Fatmawati memutuskan pergi dari istana. Itu adalah pilihannya sendiri. Bukan aku,” ujar Bung Karno. Meski memiliki kehidupan masing-masing, Bung Karno tidak menceraikan Fatmawati. “Aku masih menjadi suaminya dan aku menyokong penghidupannya, bukan negara.”
Yang tidak protes dan menunjukkan kemarahannya ketika Bung Karno menikah lagi adalah Hartini. Setelah dengan Hartini, ada beberapa perempuan yang sempat dinikahi Bung Karno, di antaranya Ratna Sari Dewi, yang dari Jepang itu. Dan boleh dibilang, perkawinan Hartini dengan sang Proklamator tampak “samawa” sampai mereka dipisahkan oleh maut di tahun 1970. Apa senjata utama Hartini menaklukkan Bung Karno hingga perkawinan mereka bertahan sampai 16 tahun?
Ternyata simpel saja. Tien yang biasa mendapat giliran hari Jumat sampai Minggu, mengatakan, “Selain sebagai istri, kita juga adalah ibu, kawan dan kekasih bagi suami.” Sebagai ibu, menuut dia, bila suami sakit harus dilayani dengan cermat. Meminumkan obat, memijati dan mengelusnya sampai terlena. Sebagai kawan, di mana dan kapan pun, patut mengimbangi pembicaraannya. Oleh karena itu, ia selalu meng-upgrade diri, dengan banyak membaca dan mengumpulkan informasi.
Bagaimana sebagai kekasih? Kata Tien, “Toh semua orang dewasa memakluminya. Yang jelas, Bapak itu seorang romantis.” Ia mengaku biasa menghabiskan waktunya dengan Bung Karno dengan bergurau, nonton film, bermesraan, dan bertengkar. Semasa hidup Bung Karno, ia biasa mendapat giliran pada Jumat sampai Minggu.
Dari perkawinan ke-2 dan terkhirnya itu, Hartini Soekarno beroleh dua anak, Taufan Soekarnoputra (almarhum) dan Bayu Soekarnoputra. Ia wafat di Jakarta pada 12 Maret 2002 dalam usia 77 tahun, dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.***