Kartosuwirjo memberikan arti baru kepada istilah-istilah dari masa Nabi untuk perjuangannya
Abdurrahman ibn Auf sudah tidak punya apa-apa ketika tiba di Madinah. Imigran yang hidupnya berkecukupan waktu itu memang hanya Utsman ibn Affan, yang sudah kaya dari sono-nya. Beruntung Abdurrahman sudah dipersaudarakan dengan Sa’d ibn Rabi’, penduduk Madinah. Dermawan ini menawarkan hartanya dibagi dua—tapi ditolak. Abdurrahmn hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah dia berjualan keju. Kelak, di masa pemerintahan Utsman, ia menjadi salah satu orang terkaya Madinah. Hartanya, menurut Al-Mas’udi, meliputi kebun-kebun senilai ratusan ribu dinar, ternak kuda, unta, dan kambing, masing-masing ribuan ekor, di samping kafilah-kafilah dagang. Cukup banyak, memang, Muhajirin yang berprofesi serupa. Ada pemeo: orang Mekah mengubah pasir menjadi emas.
Mereka yang tidak seprofesi dengan Abdurrahman, seperti Abu Bakr, Umar, Ali, terjun ke pertanian, menggarap tanah orang Anshar. Toh ada pula Muhajirin yang sejak di Mekah memang miskin, dan di Madinah tidak punya tempat tinggal. Para homeless ini oleh Nabi disediai tempat yang disebut shuffah, bagian pinggir masjid yang beratap. Karena itu mereka dinamakan ahlush suffah. Mereka hidup dari sokongan kaum muslimin dan menghabiskan waktu dengan belajar dan beribadah. Shuffah, dengan demikian, hanya istilah yang menunjuk satu warna yang muncul dengan sendirinya dalam mosaik masyarkat muslim, bukan lembaga yang dipersiapkan untuk tujuan tertentu.
Berbeda dengan di Indonesia, ketika istilah itu diadopsi Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Yakni setelah ia dikerluarkan dari PSII, 1940, lalu mendirikan PSII tandingan di Malangbong, Jawa Barat. Di kampung istrinya inilah dia membikin lembaga latihan kepemimpinan politik keagamaan yang ia beri nama Institut Supah atau Suffah—dengan para siswa yang juga berasal dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Di sini ia mengajar dengan metode gurunya, HOS Tjokroaminoto. Banyak peserta yang sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan yang keras, kerja berat, dan makanan sangat sederhana. Ini memang lembaga penggemblengan. Beberapa pengikut setianya, yang kelak bersama-sama mendirikan Darul Islam, berasal dari sini.
Sebagai bahan pengajaran, Kartosuwirjo menggunakan “Daftar Oesaha Hidjrah” yang ia susun sebagai wakil ketua PSII. Ini elaborasi brosurnya terdahulu, “Sikap Hidjrah PSII”, yang pernah dijadikan haluan partai. Risalah yang diterbitkan Poestaka Darul Islam ini (didirikan Kartosuwirjo di situ) memuat lima program aksi—untuk bidang-bidang politik, sosial, ekonomi, ibadah, dan mistik Islam serta “ajaran Islam yang lainnya”. Kartosuwirjo memang tertarik kepada mistisme dan pikiran-pikiran magis tentang kekebalan dan semacamnya. Lalu apakah arti hijrah, bagi tokoh ini?
“Kalau kita hijrah dari Mekah-Indonesia ke Madinah ke Madinah-Indonesia, bukankah sekali-kali kita harus berpindah kampung dan negeri, beralih daerah dan wilayah, melainkan hanyalah di dalam sifat, thabi’at, amal, itiqad, dan lain-lain sebagainya… Untuk mencapai Darul Islam, manusia harus melepaskan sifat, thabi’at, dan laku ke-Mekah-an dan beralih kepada sifat, thabi’at, dan laku ke-Madinah-an” Melalui Darul Islam, atau masyarakat idealnya, Kartosuwirjo menginginkan “tiap muslimin dan muslimah dapat melakukan hukum-hukum agama Allah, dengan seluas-luasnya, baik yang berhubungan dengan syahsiyah maupun ijtima’iyah (perorangan maupun sosial; Red.).”
Institut Supah ditutup menyusul pembekuan semua kegiatan politik oleh pemerintah pendudukan Jepang. Dan ketika kemudian dibuka kembali, setelah Jepang takluk, fungsinya diubah menjadi pusat latihan militer para pemuda Hizbullah dan Sabilillah. Konon tanggal 14 Agustus 1945 ia sudah memproklamasikan sebuah negara Darul Islam yang merdeka. Hanya saja, setelah 17 Agustus ia memihak Republik Indonesia. Lalu menyerukan perang suci melawan Belanda, menyusul agresi pertama 21 Juli 1947. Belanda pun menyerbu Garut. Membakar Malangbong. Dan membumihanguskan Institut Supah berikut, sayang sekali, perpustakaan dan berbagai catatan pribadi Kartosuwirjo. Toh ia kembali menyerukan perang suci setelah agresi kedua, 19 Desember 1948.
Figur ini adalah tokoh yang selalu menolak setiap jenis kompromi—termasuk hasil perjanjian Renville, Januari 1948. Pemimpin Masyumi Mohammad Natsir, yang menjadi menteri penerangan Kabinet Hatta, mengontaknya melalui surat pada 5 Agustus 1949, untuk mencegah timbulnya situasi patah arang. Tapi terlambat: selang dua hari, Kartosuwirjo sudah sekali lagi memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Inilah yang kelak dijadikan pokok tuntutan Jaksa.
Tanggal 16 Agustus 1962 Kartosuwirjo dijatuhi hukuman mati. Kecuali keinginannya bertemu keluarga, semua wasiatnya, termasuk agar dikuburkan di tanah miliknya di kompleks Institut Supah di Malangbong, ditolak Oditur. Tanggal 4 September, pagi-pagi sekali, di pantai sebuah pulau kecil di Teluk Jakarta, serentetan dentuman bedil regu tembak memecah sepi. Dan lewatlah satu sekuen yang heroik dan sedih