Cakrawala

Kemaruk Politik

Islam menganjurkan sikap tawasuth wal i’tidal, di tengah-tengah, dan melarang sikap berlebihan. Karena sikap inilah  yang dapat mengantarkan orang ke sikap adil dan istiqamah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kemaruk” berarti selalu hendak makan (sesudah sembuh dari sakit), selalu berbuat berlebih-lebih karena baru kaya dsb., dan selalu ingin mendapat banyak.

Orang (biasanya anak-anak) yang berpuasa, seharian tidak makan-minum, dan ketika berbuka inginnya makan-minum apa saja, namanya orang kemaruk. Orang baru punya mobil, terus-terusan mondar-mandir ke sana ke mari dengan mobilnya, disebut orang kemaruk. Nelayan yang tahu dapat hasil lelang ikannya melebihi kebisaan, lalu membeli apa saja (termasuk kulkas padahal di rumahnya belum ada listrik), disebut kemaruk. Orang sudah kaya tapi masih memburu harta tanpa mengindahkan norma-norma, disebut orang kemaruk.

Jadi, kemaruk bisa digunakan untuk menyebut banyak orang atau pihak yang berperilaku kelewatan, terutama setelah kondisi tertentu yang biasanya berbalikan. Barangkali euforia termasuk bagian dari kemaruk. Dari sisi kelewatan inilah, kemaruk dipandang sebagai perilaku negatif , termasuk oleh agama (Islam).

Masyarakat negara-negara berkembang seperti kita, kiraya boleh juga masyarakat kemaruk, minimal dalam menyikapi modernisasi, misalnya. Boleh jadi karena terlalu lama dijajah dan terbelakang, maka ketika merdeka dan  ingin selalu (tampak) maju, berlebih-lebih dalam meniru gaya “masyarakat maju”. Lihat saja, misalnya, bagaimana masyarakat bergaya hidup, berpakaian, berbicara dsb.

Kita lihat banyak pria kegerahan tapi terus menahan diri berpakaian jas dan dasi; banyak wanita kedinginan tapi terus menahan diri berpakaian backless, newlook, atau youcansee; banyak orang terpaksa berselimut supaya dapat berada di ruang ber-AC; banyak orang jika bicara (atau menulis) tidak menyelipkan kata-kata asing merasa akan kena sariawan; banyak anak muda merasa malu bila belum pernah berkunjung ke pub atau kafe; dan Anda bisa meneruskan sendiri untuk memperpanjang daftar fenomena itu.

Lihat dan dengan pula pengeras-pengeras suara yang hampir menghiasi  setiap masjid dan mushalla yang tak hanya melengkingkan suara azan (sehingga kaum muslimin sendiri lupa akan hukum tasywisy, mengganggu, dan iidzaa-uljaar, menyakiti tetangga). Ini barangkali juga merupakan tampilan kemaruk . kemaruk benda modern berupa loudspeaker.

Lain lagi dengan seringnya orang menggunakan lafal “akbar” tidak hanya untuk menyebut Allah, tapi juga untuk memberikan pengajian, rapat, dan doa mereka. Agaknya ini —  mirip dengan kegemaran baru muslim kota bertakbir di mana-mana — merupakan kemaruk keberagamaan. Kegemaran orang-orang NU akhir-akhir ini berseminar di hotel berbintang, saya kira juga salah satu bentuk kemaruk.

Kemaruk ada di mana-mana , seperti wabah. Ingat ketika KKN merebak di kalangan pejabat dari pusat hingga ke daerah, dari atas sampai ke bawah. Bukankah ini wabah kemaruk kekuasaan? Juga ketika orang-orang yang dekat dengan penguasa ramai-ramai mengkaplingi tanah atau hutan rakyat kemarin, apalagi namanya kalau bukan kemaruk.

Ketika masyarakat yang terkungkung  begitu lama lepas dari kungkungan, wabah kemaruk menyatakan pendapat pun merebak. Pers kemaruk. Orang-orang kemaruk berdemonstrasi hinga ke desa-desa. Para pakar kemaruk menyampaikan teori. Para politisi kemaruk membuat stattemen-statemen dan manuver-manuver. Semua orang kemruk disebut reformis.

Dalam sidang-sidang di DPR Anda pun akan menyaksikan betapa para wakil rakyat kemaruk pamer interupsi. Selah-olah interupsi itulah tugas wakil rakyat di parlemen. Maklum lembaga yang mulia ini selama berpuluh-puluh tahun dicap sebagai lembaga yang manis, yang hanya bisa meneriakkan kata “setujuuuu”. Mungkin wakil-wakil rakyat itu tidak ingin sama dengan para pendahulunya di zaman Orde Baru. Lalu berlomba-lomba menunjukkan kebolehannya bervokal-vokal-ria. Atau tak mau kalah dengan para anggota KPU yang ia-tiba menjadi orang  penting. Mereka menjadi kemaruk menggunakan apa yang dianggap menjadi wewenang mereka, tanpa mikir kepentinganawal dibentuknya KPU.  

Mudah-mudahan kemaruk para orang penting itu tak berlarut-larut seperti sidang-sidang mereka. Semoga mereka segera menyadari tugas dan kewajiban mereka yang hakiki.

Waba’du, kemaruk merupakan sikap berlebihan yang berakibat buruk: membuat orang tidak adil. Makan-minum berlebihan, menyeret kepada ketidakadilan terhadap kesehatan sendiri. Senang-benci berlebihan, menyeret kepada ketidakadilan terhadap akal sehat. Mencintai dunia berlebihan, meyeret kepada ketidakadilan terhadap kehidupan . Demikian seterusnya.

Karena itulah Islam menganjurkan sikap tawasuth wal i’tidal, di tengah-tengah, dan melarang sikap berlebihan. Karena sikap tawasuth wal i’tidal itulah yang dapat mengantarkan orang ke sikap adil dan istiqamah. Sebaliknya, sikap berlebihan menghambat atau bahkan menghalangi orang untuk dapat bersikap adil dan istiqamah yang sangat dianjurkan agama itu. Wallahu a’lam bish-shawab.***

Penulis: KH Mustofa Bisri, ulama dan budayawan, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin (Taman Pelajar Islam), Rembang, Jawa Tengah. Sumber: Panji Masyarakat, 20 Oktober 1999  

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda