Mutiara

Ulama Eksentrik dari Tanah Rencong

Abu Ibrahim Woyla membiarkan rambut dan kuku-kukunya manjang. Penampilan fisiknya yang bak orang kurang waras, tidak menghalangi sebagian masyarakat Acrh yang menganggapnya wali. Dikabarkan ia pernah bertemu dan bahkan berteman dengan Gus Dur.  

Abu Ibrahim Woyla adalah ulama sufi pengelana   asal Aceh. Selama pengembaraannya antara lain ia diceritakan pernah bertemu Nabi Khidir. Tindak-tanduknya sering dianggap kurang  waras. Tetapi masyarakat Aceh tetap menghormati Abu Ibrahim. bahkan sebagian mempercayainya sebagai wali.

Menurut  menantunya, Teungku Nasruddin, semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah menghilang tiga kali dari keluarga. Yakni  masing-masing selama dua bulan, dua tahun, dan empat tahun. Ketika kali terakhir kembali pada keluarganya di Pasi Aceh, mereka tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada Abu Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya  demikian panjang tak terurus. Pakaiannya compang-camping dan kuku-kukunya panjang. Melihat penampilan fisiknya semacam itu, wajar jika sebagian masyarakat Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.

Selain dikenal sebagai sosok ulama yang suka mengembara, Abu Ibrahim Woyla oleh banyak juga dikenal sebagai orang yang cenderung pendiam. Dia hanya berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan, sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila dikerjakannya.

Abu Ibrahim Woyla tampaknya sudah tidak membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, jika dia memiliki uang, maka dalam sekejap uang itu habis ia bagi-bagikan kepada orang yang membutuhkan.

Abu Ibrahim Woyla,  nama lengkapnya Teungku Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen,  dilahirkan pada tahun 1919 di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat. Pendidikan formalnya hanya sampai Sekolah Rakyat.  Setelah itu dia menempuh pendidikan di dayah (pesantren) selama hampir 25 tahun. Abu Ibrahim Woyla pernah belajar di Dayah Bustanul Huda di Blang Pidie, Aceh Barat,  selama 12 tahun. Dayah ini dipimpin Syekh Mahmud, seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang kemudian mendirikan dayah. Ia juga pernah belajar pada Abu Calang (Syekh  Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu Abu Adnan Bakongan. Selain itu, ia juga berguru kepada Syekh Muda Waly al-Khalidy, yang juga  murid Syekh Mahmud. Sekembalinya dari Mekah, Syekh Muda Waly menjadi ulama tarekat Naqsabandiah yang terkenal di Aceh. Ia juga telah mendirikan dayah sendiri. Sekitar dua tahun Abu Ibrahim belajar kepada Syekh  Muda Waly untuk memperdalam ilmu tarekat Naqsyabandiyah. Setelah itu dia pun kembali ke kampung halamannya.

Abu Ibrahim Woyla  dikabarkan pernah bertemu dan bahkan berteman dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Terakhir mereka bertemu pada tahun 2005, ketika Gus Dur berziarah ke pemakaman massal korban Tsunami Aceh. Dialah yang langsung menjemput Gus Dur di Bandara Iskandar Muda. Kemudian keduanya pergi bersama ke pemakaman massal. Dia meminta kepada Gus Dur untuk mendoakan para korban.

Abu Ibrahim Woyla wafat pada 18 Juli 2009 di kampung kelahirannya dalam  usia 90 tahun. Makamnya banyak dikunjungi para peziarah karena Abu Ibrahim dianggap seorang wali

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda