Tiga sikap dasar yang, menurut Kiai Imam Zarkasyi, harus dipegang oleh kalangan pondok pesantren agar bertahan dan berkembang mengikuti perubahan zaman. Tentang perjalanan sang legenda, pendiri Pondok Modern Gontor.
Imam Zarkasyi adalah salah seorang pendiri dan pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur. Pondok ini didirikan oleh tiga bersaudara, putra Kiai Santoso Anom, pada 20 September 1926, bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1345. Dua pendiri lainnya: K.H. Ahmad Sahal (1901-1977) dan K.H. Zainuddin Fananie (1908-1967)
Sebelum mendirikan lembaga pendidikan pesantren dengan corak yang modern, Imam Zarkasyi bersama kaka-kakanya telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Ada empat lembaga pendidikan yang menginspirasi pembangunan Pondok Modern Gontor. Pertama, Universitas Al-Azhar di Mesir, lembaga pendidikan swasta dengan kekayaan wakafnya yang luar biasa. Kedua, pondok Syanggit di Afrika Utara, dekat Libya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas yang menanggung kebutuhan hidup santrinya. Ketiga, Universitas Muslim Aligarh yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama, sehingga mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelopor kebangkitan Islam di India. Keempat, Perguruan Shantiniketan di India yang didirikan oleh seorang filosof Hindu, Rabindranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya, dan meskipun lokasinya jauh dari keramaian, tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik, bahkan dapat mempengaruhi pemikiran dunia.
Sejak awal Gontor memang dirancang menjadi pesanatren modern yang menekankan kepada kemampuan bahasa Arab dan Inggris yang aktif. Hal ini bermula dari kesulitan menemukan para ulama yang mampu berbicara dalam bahasa asing untuk menjadi utusan ke Timur Tengah pada kongres umat Islam tahun 1926, para pendiri Gontor terobsesi untuk mencetak ulama yang pandai bahasa Arab dan Inggris. Faktor lainnya, karena dunia pesantren sering dilecehkan sebagi tempat yang kumuh, ekslusif dan mundur dalam bidang pengetahuan. Oleh karea itu, menurut Imam Zarkasyi, harus ada pesantren yang tidak kumuh, berpengatuan luas dan berpikiran bebas. Santri tidak hanya dibekali pengetahuan dasar tentang Islam, tapi juga diajari ilmu pengetahuan “umum”.
Imam Zarkasyi lahir di Gontor pada 21 Maret 1910. Ia putra ketujuh Kiai Santoso Anom Besari, keturunan Kiai Kasan Besari, pengasuh Pondok pesantren Tegalsari, Ponorogo, pesantren terbesar di Jawa pada tahun 1800-an. Sedangkan ibunya adalah keturunan Bupati Suriadiningrat yang terkenal pada zaman Mangkubumen dan Panembangan (Mangkunegara). Sewaktu belajar di Solo, guru yang paling banyak mengarahkan Imam Zarkasyi adalah Al-Hasyimi. Seorang ulama, tokoh politik dan sastrawan dari Tunisia yang diasingkan Pemerintah Prancis di wilayah penjajahan Belanda, hingga akhirnya menetap di Solo. Tahun 1935, setelah menyelesaikan pendidikan di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Tahun 1936, setelah tamat dari Kweekschool, ia diminta menjadi direktur Perguruan tersebut oleh gurunya, Mahmud Yunus. Imam Zarkasyi menjalani amanah tersebut hanya selama satu tahun, karena ia melihat Gontor lebih memerlukan kehadirannya. Saat itu, kakaknya Ahmad Sahal tengah bekerja keras mengembangkan pendidikan di Gontor. Kakaknya pun tidak mengizinkan Imam Zarkasyi berlama-lama berada di luar lingkungan pendidikan.
Imm Zarkasyi tak hanya beraktivitas di pondok. Tahun 1943 ia diangkat menjadi Kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun. Sesudah Indonesia merdeka, tahun 1946 ia diangkat menjadi Seksi Pendidikan pada Kementrian Agama. Sejak tahun 1948-1955 menjadi Ketua Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII), selanjutnya menjadi penasehat. Tahun 1951-1953, ia menjadi Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar di Kementrian Agama. Tahun 1953, menjabat sebagai Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama. Tahun 1957, diangkat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama, Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan. Kemudian tahun 1959, Imam Zarkasyi diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas).
Menurut Imam Zarkasyi, pondok pesantren harus menatap ke masa depan yang lebih jauh untuk mengembangkan keberadaannya. Untuk itu dierlukan beberapa sikap dasar. Pertama, senantiasa memperhatikan perkembangan zaman. Untuk ini pelajaran yang diberikan di pondok pesantren harus disesuaikan dengan masa depan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan didaktik dan metodik yang tepat, tanpa menyimpang dari ajaran agama. Kedua, pondok pesantren harus dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memperhatikan syarat-syarat material. Untuk itu harus ada wakaf yang menjadi andalan bagi kelangsungan hidup pondok pesantren. Dengan cara ini, pesantren akan senantiasa dapat meningkatkan mutu pendidikan dan pengajarannya. Ketiga, pondok pesantren jangan melupakan program pembentukan kader untuk kelanjutan regenerasi.
K.H. Imam Zarkasyi wafat pada 13 April 19