Cakrawala

Selalu Ada Ruang untuk Berbeda

Kebebasan dan keragaman berpikir, baik yang berada dalam spektrum kanan atau kiri, liberal atau konservatif, harus tunduk pada aturan-aturan bersama.

Salah satu dasar mengapa Islam sering dipercaya sebagai agama yang shalih li kulli zaman wa makan adalah karena sebagian ajaran-ajarannya dirumuskan dalam nada-nada umum. Tentu, ada hal yang dituturkan  secara konkret dan pasti (qath’i), di mana ruang penafsiran sangatlah terbatas—kalau malah tidak mungkin. Tetapi, dalam banyak hal, ajaran-ajaran Islam terbuka untuk ditafsirkan. Pengetahuan banyak orang tentang Islam mungkin saja terbatas. Namun membaca petunjuk Alquran dan Sunnah Rasul tentang pentingnya posisi akal di dalam kehidupan  beragama, rasanya tidak salah untuk mengatakan bahwa berpikir adalah sesuatu yang “diwajibkan” di dalam agama Islam.

Konsekuensi dari keharusan untuk berpikir di dalam beragama di antaranya  adalah berkembangnya pandangan-pandangan yang beragam, ijtihad yang tidak tunggal. Gagasan-gagasan tentang Islam yang muncul pun beragam. Ini semua merupakan sesuatu yang sudah berlangsung lama. Persoalannya adalah komunitas Muslim, baik yang ada pada strata atas maupun bawah dalam konteks keilmuan Islam, tidak selalu “biasa” di dalam menghadapi dan mengelola perbedaan. Dalam peristiwa-peristiwa tertentu, respon kalangan Islam terhadap perbedaan pandangan dan ijtihad ada yang sangat “luar biasa” yang seperti ini belum tentu salah di mata Tuhan, tetapi dalam konteks kehidupan beragama memang bisa menimbulkan masalah dan kontroversi yang bukan tidak mungkin implikasi turunannya (derivative implications) menjadi sangat luas.

Hal seperti ini bisa menjadi lebih problematik dihadapkan pada pandangan dasar Islam bahwa di dalam struktur agama ini tidak dikenal pihak-pihak yang mendominasi kebenaran kecuali yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya. Konsekuensi dari  pernyataan bahwa sumber dasar Islam itu Quran dan Hadis adalah bahwa setiap muslim tidak boleh bertentangan dengan keduanya. Tetapi, berbeda pendapat di antara sesama muslim rasanya merupakan yang natural, yang secara teoritis dijamin oleh sumber-sumber utama Islam itu sendiri. Karenanya, mestinya tidak ada klaim-klaim bahwa pemahaman seseorang terhadap teks-teks Quran dan Sunnah lebih benar dari yang lain.

Struktur seperti ini bersifat problematis. Selalu saja terbuka kemungkinan bahwa orang-orang Islam yang terdorong untuk berperan menjadi the guardian of faith—dan karenanya tempo-tempo harus mengeluarkan pandangan-pandangan  yang “tidak biasa” –dimotivasi oleh kecintaan yang tulus terhadap agamanya. Tentu saja, setiap muslim tidak ingin melihat doktrin-doktrin agamanya “disesatkan” meski demikian, dorongan keagamaan seperti itu tidak boleh menafikan premis dasar di atas bahwa yang memiliki kebenaran mutlak hanya Allah dan nabi-Nya. Apa yang kita yakini sebagai kekeliruan, mungkin saja merupakan sesuatu yang bisa diterima di mata Allah. Karenanya, harus ada reserve pada diri setiap muslim karena diri mereka—sama dengan manusia lain—penuh dengan kenisbian.

Satu Islam dengan  Beragam Ekspresi

Sejarah Islam penuh dengan perbedaan. Benar bahwa Islam itu satu, akan tetapi ekspresi dan cara pandang umatnya terhadap agama bervariasi. Ini merupakan realitas yang secara keagamaan dan sosiologis harus diterima. Dan di tengah keberagamaan itu, mestinya masing-masing tidak boleh mengklaim pihaknya paling benar dan yang lain salah. Ini tentu kalau kita juga mau rendah hati menyadari kenisbian dan kelemahan yang inheren ada pada setiap manusia dihadapkan pada wahyu-wahyu yang mutlak itu. Tentu ada pandangan-pandangan dasar yang bersifat universal. Akan tetapi, dalam banyak hal, khususnya yang berkaitan dengan masalah sosial kemasyarakatan, yang bersifat “non ritual”, sangatlah beragam. Hal ini memenuhi aspek-aspek keberagamaan Islam yang sangat luas itu—teologi, syiar, tafsir, politik, ekonomi, dan sebagainya. Dengan latar belakang sosiologis, sumberdaya, dan motivasi yang berbeda-beda, orang-orang Islam yang berpikir dan berijtihad itu mempunyai preferensi yang berbeda pula—tekstual, kontekstual, skripturalis, substansialis, fundamentalis, reformis, akomodasionis, asy’ariyah, mu’tazilah, maturidiyah, murj’iah, syi’ah. Kini Muslim juga dihadapkan pada kecenderungan pemikiran-pemikiran “kiri”, “kanan”, “konservatif”, “liberal”, “radikal”, “ramah”, dan sebagainya. Semuanya itu sebenarnya merupakan a loaded concept-kategori-kategori yang penuh dengan preferensi sosial keagamaan dan politik.

Sampai kapan pun fenomena seperti ini akan selalu bersama komunitas Islam. Menghilangkan preferensi-preferensi atau keberagaman di atas adalah hal yang tidak mungkin. Karenanya, yang menjadi persoalan adalah bagaimana realitas seperti itu disikapi. Merumuskan sebuah standar sikap yang disetujui bersama barangkali bukan perkara mudah—kalau malah tidak mungkin. Akan tetapi, sebenarnya sejarah Islam yang panjang itu juga menampilkan kiat-kiat di dalam memberikan respon-respon yang tepat terhadap fenomena seperti itu. Seperti telah dijelaskan, tidak semuanya berada pada garis “biasa”. Tetapi, tanpa disadari, sebenarnya ada jaring-jaring atau mekanisme sosial keagamaan yang saling terkait, yang juga melibatkan faktor-faktor “non Islam” yang menjamin keberlangsungan pluralisme pemahaman keagamaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kendatipun radikalisme keagamaan tengah pasang beberapa tahun berakhir ini, keberagamaan pandangan dan pemikiran tetap terjaga—bahkan berkembang! Kalau kategori-kategori pemikiran bisa dijadikan indikator, maka dewasa ini kategori-kategori keislaman bertambah dalam jumlah yang cukup banyak. Artinya, meskipun menimbulkan kekhawatiran (alsrmism) – bahkan mungkin ketakutan—akan tetapi pluralisme tidak akan mati dengan sikap-sikap yang tidak ‘biasa’ itu.

Secara sederhana bisa disebutkan bahwa jaring-jaring atau mekanisme sosial keagamaan yang membuat keberagaman itu terus berkembang adalah hukum alam (sunnatullah) itu sendiri, yaitu bahwa unifikasi adalah sesuatu yang mustahil. Hal ini tidak hanya terbatas pada soal agama, tetapi juga seluruh struktur sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, dan politik. Kedua, meskipun ada semangat the guardian of faith pada diri sebagian umat Islam, bayang-bayang relativisme terhadap pemahaman keberagamaan tetap ada. Inilah yang antara lain membuat respon-respon yang “tidak biasa” itu dirumuskan di dalam kalimat-kalimat yang tidak bersifat kategoris.

Tanpa disadari dua hal ini sebenarnya telah berperan secara cukup berarti bagi keberlangsungan ruang untuk berbeda. Hal ini akan terasa lebih menjamin jika struktur dasar Islam seperti dijelaskan di atas menjadi panduan bersama. Akan tetapi, itu semua menjadi tidak berarti kalau negara tidak bisa memainkan perannya yang pas. Di sini yang diperlukan adalah aturan yang mengikat yang menegaskan bahwa seluruh artikulasi publik, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan, tidak boleh bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan publik (i.e hukum dan undang-undang). Kebebasan dan keragaman berpikir, baik yang berada dalam spektrum “kanan” atau “kiri”, “liberal”, atau “konservatif” harus tunduk pada aturan-aturan bersama.***

Penulis: Prof. Dr. Bahtiar Effendy (alm). Redaktur Ahli Panji Masyarakat ini pendiri dan dekan pertama FISIP UIN Jakarta, dan menjabat  ketua PP Muhammadiyah sebelum wafat (2018); Sumber: Panjimas, 26 Desember 2002 – 8 Januari 2003

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda