Ads
Tafsir

Tuhan, Perkenankanlah (Bagian 1)

Aamiin

Tuhan, perkenankanlah

Bila imam mengucapkan amin, hendaklah kalian mengucapkan amin, sebab barangsiapa bersesuaian amin-nya dengan amin para malaikat, diampuni dosa-dosanya yang sudah lalu. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Disukai bila seorang pembaca surah Fatihah menyudahi pembacaannya dengan aamiin. Itu bisa diucapkan dengan madd (pemanjangan huruf), seperti yaasiin, tapi bisa juga dengan pemendekan (qashr): amiin. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ahmad menuturkan dari Wa’il ibn Hajar r.a., yang menyatakan mendengar Nabi s.a.w. membaca ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh-dhallin lalu mengucapkan aamiin dengan memanjangkan suara beliau (redaksi Abu Dawud: mengangkat suara beliau).

Dalam riwayat Abu Hurairah r.a., bacaan amin Nabi itu didengar orang-orang di shaf pertama (riwayat Abu Dawud, Ibn Majah—dengan tambahan “maka bergelombanglah masjid”—dan Ad-Daruquthni). Adapun Bilal r.a., berkata, dalam riwayat Abu Dawud, “Ya Rasulullah, janganlah kau dahului aku dengan amin (jangan sampai aku ketinggalan amin Anda).”  Sedangkan Abu Nashr al-Qusyairi menukilkan dari Al-Hasan dan Ja’far ash-Shadiq bahwa mereka berdua membaca amin dengan men-tasydid kan mim—menjadi ammmiin, seperti pada ayat aamminal baital haram (“orang-orang yang menuju Bait Al-Haram”; Q.5:2) Ibn Katsir, Tafsirul Quranil Azhim, I:31). Begitu juga cara membaca Al-Husain ibn Fadhl. Hanya saja, menurut Al-Jauhari, men-tasydid-kan mim dalam pembacaan amin sebenarnya suatu kekeliruan. (As-Syaukani, Fathul Qadir, I:26).

Amin itu disukai diucapkan di luar salat (khususnya bila membaca  Fatihaht), tetapi ditekan (ta’kid) kan bagi yang sedang sembahyang, baik sendirian, sebagai imam, maupun sebagai makmum. Di dalam Shahih Muslim dimuat penuturan Abu Musa r.a., bersambung (marfu’) kepada Nabi s.a.w., yang mengantarkan sabda beliau: “Bila ia mengucapkan—yakni imam—wa ladh-dhallin, ucapkanlah aamiin, Allah mencintai kalian.”

Lebih kuat adalah sabda Rasulullah s.a.w. dalam Shahih Bukhari  maupun Muslim, berdasarkan penuturan Abu Hurairah r.a. Yakni,  “Bila imam mengucapkan amin, hendaklah kalian mengucapkan amin, sebab barangsiapa bersesuaian amin-nya dengan amin para malaikat, diampuni dosa-dosanya yang sudah lalu.” Di dalam Muslim, redaksinya berbunyi:  “Bila siapa saja dari kamu mengucapkan dalam salat, amin, dan para malaikat di langit amin, yang satu bersesuaian dengan yang lain, diampuni dosa-dosanya yang sudah lalu.”

Dalam versi yang lebih panjang, dari riwayat Ibn Mardawaih , dengan sumber pertama juga Abu Hurairah r.a.: “Bila imam membaca ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh-dhallin, lalu mengucapkan amin, lalu bertemu amin penduduk bumi dengan amin penduduk langit, Allah mengampuni bagi para hamba semua dosa mereka yang sudah lalu. Adapun pemisalan orang yang tidak melafalkan amin adalah seperti orang yang berperang bersama satu kaum,lalu mereka memilih, lalu keluarlah bagian (rampasan perang) masing-masing, tetapi bagian dia tidak keluar. Ia bertanya, “Kenapa bagianku tidak keluar?” Dijawab,  “Karena kamu tidak bilang amin.

Sebagian pendapat mengartikan kesesuaian amin  kita dengan amin para malaikat, seperti yang dimaksudkan Nabi, sebagai kesamaan waktu. Sebagian lagi, kesamaan pengabulan. Sebagian yang lain: kesamaan nilai keikhlasan. (Ibn Katsir, I:31. 32). Yang benar ialah kesamaan waktu. Mengenai diampuninya dosa-dosa yang sudah lalu, itu “dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar.”  (Al-Khazin, Lubabut Ta’wi fi Ma’anit Tanzil, I:18).

Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat;Sumber: Panjimas, 9-22 Januari 2003

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading