Tafsir

Jalan yang Penuh Anugerah (Bagian 2)

Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil magdhuubi ‘alaihim waladh dhaalliin.

Jalan mereka yang Kauberi anugerh, bukan mereka yang kena murka, bukan pula mereka yang sesat. (Q. 1:7)

Istilah “kemurkaan Allah” tidak dipakai untuk para pembangkang mukmin. Hanya untuk yang kafir.  

Bacaan yang dipengaruhi tafsir

Ada yang menganggap bahwa la (“bukan”) dalam ladhdhallin (“bukan pula mereka yang sesat”) adalah tambahan (zaidah), dengan kata lain bisa tidak ada. Asumsinya, ayat itu lalu menjadi ghairil maghdhubi wadh dhallin (“bukan mereka yang kena murka maupun yang sesat”). Tetapi la itu justru memberi tekanan, untuk menunjukkan bahwa ada dua (bukan satu) jalan yang rusak, yaitu jalan maghdhubi ‘alaihim (orang-orang yang kena murka) dan jalan dhallin (orang-orang yang sesat). Dan mereka tak lain, disebutkan Ibn Katsir, para Yahudi di satu sisi dan para Nasrani di sisi lain.

Itu pulalah, menurut mufasir abad ke-8 H. (w. 774) ini, yang bisa kita lihat dari cara ‘Umar ibn Khaththab maupun Ubay ibn Ka’ab r.a., membaca bagian akhir surah Fatihah ini dengan ghairadh dhalin seperti yang sudah dituturkan. Itu bacaan yang dipengaruhi tafsir (dan itu pulalah gunanya penyeragaman tulisan Quran di zaman Khalifah ‘Utsman r.a.,;pen.).  Tapi yang penting di sini, bacaan itu menunjukkan pemakaian la  (yang di situ diganti dengan ghaira) untuk penekanan sebuah negasi. Yakni agar tidak disalahmengertikan seakan-akan adh-dhalin (“mereka yang sesat”) merupakan kelanjutan alladzina an’amta ‘alaihim (“mereka yang Kauberi anugerah”)—selain untuk membedakan kedua jalan, agar bisa sama-sama disingkiri.

Sebab jalan ahlul iman mengandung ilmu tentang kebenaran dan kemudian amal berdasarkan ilmu itu. Sementara kaum Yahudi kehilangan amalnya, sedangkan kaum Nasrani kehilangan ilmunya. Karena itulah kemurkaan menimpa umat Yahudi, sedangkan kesesatan ada pada umat Nasrani. Karena orang yang tahu tetapi meninggalkan, seperti kaum Yahudi itu, berhak mendapat murka (berbeda dengan yang tidak tahu), sementara orang-orang Nasrani menuju kebenaran tetapi tidak mendapat petunjuk karena mereka tidak datang dari pintunya. (Ibn Katsir, I:29).

Syahdan. Adapun kemurkaan, ia berasal dari gejolak darah hati yang menginginkan penghukuman. Dari situ juga berasal sabda Nabi s.a.w., “Hati-hatilah kamu terhadap kemarahan, karena dia adalah bara yang menyala di hati anak Adam. Tidakkah kalian lihat urat lehernya menggelembung dan merah warna kedua matanya?”  Tetapi, kata Syekh ‘Alauddin al-Khazin (w.725 H.), kalau Allah digambarkan dengan kemurkaan, yang dimaksudkan hanyalah penghukuman itu saja, yaitu pembalasan-Nya kepada para pembangkang, bukan yang lain. (Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, I:18).

Dengan begitu kemurkaan adalah sifat dari perbuatan (af’al) Allah. Dari situ juga kita dapati hadis  “Sedekah itu memadamkan kemurkaan Tuhan.” Tapi kemurkaan Allah juga bisa berarti kehendakn untuk menghukum. Dan bila demikian ia adalah sifat Dzat, sebab iradat Allah Ta’ala termasuk sifat Dzat-Nya. (Qurthubi, I:150). Adapun istilah ‘kemurkaan Allah’, syukurlah, dalam Quran tidak dipakai  berkenaan para pembangkang mukmin—hanya para pembangkang kafir. (Khazin, I:18).

Duduk model Yahudi

Memang, baik Yahudi maupun Nasrani dua-duanya sesat dan kena murka. Tetapi sifat paling khas bagi Yahudi memang kemurkaan itu, sebagaimana firman Allah Ta’ala mengenai mereka:  “orang yang dilaknat Allah dan ditimpai kemurkaan-Nya” (Q. 5:60). Sementara itu sifat paling khas Nasrani adalah kesesatan, seperti firman Allah Ta’ala: “Mereka sudah sesat sebelum ini dan menyesatkan banyak orang—mereka sesat dari jalan yang benar.” Sebuah hadis dari ‘Ad ibn Hatim r.a. katanya, “Aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang firman Allah Ta’ala “bukan mereka yang kena murka”, maka kata beliau, “mereka itu Yahudi”.  “Bukan pula mereka yang sesat”? kata beliau, “Nasrani, merekalah yang sesat itu.”

Itu hadis ‘Adi yang diriwayatkan dari berbagai jalan dan dengan bermacam lafal—di samping hadis-hadis lain yang serupa. Juga firman Allah Ta’ala dengan pembicaraan-Nya dengan Bani Israil di surah Al-Baqarah:  “Alangkah jeleknya tukaran yang mereka peroleh dari menjual diri mereka: mereka ingkar kepada apa yang diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan sebagian karunia-Nya kepada yang dikehendaki-Nya di antara para hamba-Nya. Maka pulanglah mereka dengan murka di atas murka, dan bagi para kafir itu azab yang menghinakan” (Q. 2:90).

Juga firman-Nya di dalam surah Al-Maidah:  “Katakan, ‘Akankah aku beritakan kepada kamu hal yang lebih jelek dari itu sebagai balasan dari sisi Allah? Mereka yang dilaknat Allah, dimurkai-Nya, dan dijadikan-Nya di antara mereka monyet-monyet, celeng-celeng dan para penyembah berhala. Mereka itulah yang jelek posisinya dan teramat sesat dari jalan yang benar’ “ (Q.5:60). Juga firman Allah Ta’ala,  “Dikutuklah orang-orang kafir dari Bani Israil lewat lidah Dawud dan Isa anak Maryam. Itu karena pembangkangan mereka, sedang mereka melewati batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Jelek sekali apa yang dahulu mereka kerjakan” (Q. 5:78-79) (Ibn Katsir, I:29-30).

Sebuah hadis diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, Ibn Hibban, dan At-Thabrani, dari sumber pertama As-Syarid r.a. Katanya,  “Suatu kali Rasulullah s.a.w. melewati aku, sementara aku sedang duduk begini: aku taruh tangan kiriku di belakang punggungku, kemudian aku bertelekan pada punggung tanganku. Rasulullah bersabda,  ‘Apakah kau duduk model orang-orang yang kena murka Allah (al-maghdhubi ‘alaihimi)?’ “  Kata Ibn Abi Hatim: “Setahuku tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mufasir mengenai tafsir al-maghdhubi ‘alaihim sebagai Yahudi dan ad-dhallin sebagai Nasrani.”  (Syaukani I:25). Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat;Sumber: Panjimas, 26 Desember 2002- 08 Januari 2003

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda