Tafsir

Tunjukkan Jalan Yang Lurus (Bagian 3)

Ihdinash shirathal mustaqiim

Tunjukilah kami jalan yang lurus

(Q. 1:6)

Lurus menuju surga

Begitulah mengenai makna ihdina,  “tunjukilah kami”. Mengenai pengertian “jalan lurus” sendiri, seluruh umat ahli tafsir sepakat bahwa arti shirath mustaqim itu adalah “jalan yang gamblang, yang tidak ada bengkoknya”. Demikianlah dalam bahasa Arab. Jalan itu disebut mustaqim (lurus)karena ia adalah kebenaran, yang tidak mengandung kekeliruan. “Sebagian orang bodoh memang mengira Allah Ta’ala menamai jalan itu mustaqim karena ia, bersama semua yang melewatinya, lurus menuju surga. Seluruh ahli tafsir bertentangan dengan pendapat itu, dan itu cukup untuk menunjukkan kesalahannya (Thabari,  I:73, 75). Sebab yang dimaksudkan tak lain “jalan kebenaran” Islam. (Nasafi, I:8). Tetapi At-Thusi merincinya menjadi beberapa pilihan, meskipun sebagian besarnya (kecuali yang nomor empat di bawah) juga sudah disebut dalam tafsir Thabari.

Pertama, dituliskan At-Thusi, Kitab Allah—seperti diriwayatkan dari Nabi s.a.w., dari Ali a.s., dan Ibn Mas’ud r.a. Kedua, Islam—seperti dituturkan Jabir dan Ibn Abbas r.a. Ketiga, agama Allah ‘Azza wa Jalla, satu-satunya yang bisa diterima Allah dan para hamba (yang pengertiannya bisa agama tauhid seluruh nabi Allah, yang hakikatnya satu dan bersifat islam). (lih. Juga Thabari, I:74-75). Dan keempat , Nabi s.a.w. dan para imam yang berdiri dalam posisi beliau, “sebagaimana disampaikan dalam riwayat kita.”

Yang dimaksudkan Thusi adalah hadis-hadis Syiah. Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan at-Thusi (w. 460 H.), mufasir tertua kedua sesudah Thabari, adalah salah satu peletak dasar ajaran Syiah Itsna Asyariyah (Syiah Iran) dari segi hadis. Tokoh besar yang juga disebut ‘Syaikhut Thaifah’ (pemimpin kelompok) ini adalah pemilik dua dari empat himpunan hadis Syiah, yakni At-Tahdzib dan Al-Istibshar. Meski begitu dalam hal pengertian shirath mustaqim ia menyatakan bahwa yang lebih utama ialah memahami ayat itu dalam artinya yang umum, karena “kalau kita bawa ayat itu kepada yang umum, semua yang di atas itu masuk ke dalamnya. Jadi, pengkhususan tak ada maknanya” (Thusi, I:42).

Klaim imam Syiah

Berbeda dengan Muhammad Husain Thabathaba’i. Mufasir Syiah abad ke-20 ini dengan sendirinya lebih menegaskan doktrin Syi’ah bila ia membawakan banyak riwayat yang mengartikan shirath mustaqim secara khas Syiah.

Mula-mula kutipan dari Man la Yahdhurul Faqih Ibn Babuya, yang juga himpunan riwayat seperti dua kitab Ath-Thusi. Kitab ini, bersama tafsir ‘Aiyasyi di belakangnya, ada menyampaikan penuturan tentang Ja’far as-Shadiq, yang dijadikan imam ke-6 Syiah 12 Imam, yang menyatakan bahwa shirath mustaqim adalah Amirul Mukminin”. Dan amirul mukminin bagi Syiah adalah Sayidina Ali ibn Abi Thalib r.a., bukan yang lain.

Dari Ruhul Ma’ani juga dinukil penuturan Ja’far Shadiq. Katanya, shirath mustaqim adalah jalan ke arah makrifat Allah, yaitu dua jalan: satu di dunia, satu di akhirat. “Jalan di dunia adalah imam, yang wajib ditaati. Siapa yang mengenalnya di dunia, dan mengambil petunjuknya, ia bakal lewat di jalan yang merupakan jembatan di atas Jahanam di hari akhirat. Sedangkan siapa yang tidak mengenalnya di dunia, akan tergelincir kakinya di akhirat dan terjatuh ke dalam api Jahanam.”

Juga dalam Al-Ma’ani dimuat klaim imam mereka, As-Sajjad:  “Tidak ada tabir di antara Allah dan hujjah-Nya (“argumen-Nya”—yang dimaksudkan adalah imam-imam mereka). Tidak ada pula tirai di antara Allah dan hujjah-Nya. Kamilah (imam-imam keturunan Husain ibn Ali dan leluhur mereka) pintu-pintu Allah. Kamilah kegaiban ilmu Allah. Kamilah pejabaran wahyu-Nya. Kamilah rukun-rukun tauhid-Nya. Dan kamilah tempat rahasia-Nya.”

Riwayat lain dinyatakan bersumber dari Ibn Abbas r.a., tapi menurut para rawi Syi’ah—Ibn Syahr Asyub, tentang tafsir Waki’ ibn Al-Jarrah, dari At-Tsauri, dari As-Suddi, dari Asbath dan Mujahid  – dan memuat kata-kata Ibn Abbas tentang ihdinash shirathal mustaqim. Konon dengan ayat itu  Allah Ta’ala bermaksud mengatakan, “Katakanlah, wahai seluruh para hamba,  ‘Bimbinglah kami kepada cinta Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan ahli  bait beliau ‘alaihimus salam’.” Ahli bait Nabi s.a.w., dalam pengertian Syiah, adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, r.a., dan keturunan Husain. (Lih. Thanathaba’i, Al-Mizan fi Tafsiril Quran,  I:39).

Yang menarik ialah bahwa sekitar 150 tahun sebelum Ath-Thusi, Thabari memasukkan juga, ke dalam aneka pengertian seperti di atas, riwayat ‘Ashim, dari Abul ‘Aliah, yang berkata tentang maksud shirath mustaqim itu—dan itu adalah Rasulullah s.a.w. dan dua sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar. “Lalu aku (‘Ashim) menyebut hal itu kepada Al-Hassan. Komentar Hasan:  ‘Benar Abul ‘Alaih, ia tulus;.” (Thabari, I:75).

Tetapi bagi Thabari sendiri, memohon petunjuk jalan yang lurus adalah, sekali lagi, memohon taufik untuk ketetapan “di dalam hal-hal yang Engkau ridai dan Engkau berikan taufiknya kepada para hamba-Mu yang Kau limpahi anugerah…”  Karena orang yang diberi taufik untuk hal-hal yang diberikan taufiknya kepada mereka yang mendapat anugerah Allah—para nabi, para shiddiqin dan para syuhada—benar-benar telah diberi taufik untuk Islam , untuk membenarkan rasul-rasul, berpegangan pada Kitab, melaksanakan semua yang diperintahkan Allah, meninggalkan semua yang disuruh-Nya meninggalkannya, mengikuti jalan hidup Nabi s.a.w. dan jalan hidup Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, dan semua hamba Allah yang salih.  “Semua itu Shirath Mustaqim, jalan yang Lurus”. (Thabari, I:74). Wallahul Muaffiq.

Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sumber:  Panji Masyarakat, 13-25 Desember 2002

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda