Ihdinash shirathal mustaqiim
Tunjukilah kami jalan yang lurus
(Q. 1:6)
Ini awal bagian ketiga surah Fatihah – ayat 6 dan, berikutnya nanti, ayat 7, yang merupakan ayat-ayat doa. Begitulah bila ayat sebelumnya, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”) tidak dianggap sebagai juga doa melainkan ikrar (kredo) yang lalu menjadi bagian kedua. Sedangkan bagian pertamanya adalah empat ayat awal (sejak basmalah), tentang Allah dan sifat-sifat-Nya. Jadi urut-urutannya : Allah, antara hamba dan Allah, dan hamba, sebab doa adalah bagian hamba.
Syahdan, bapak-bapak ilmu Qiraat—Ibnu Katsir, Al-Kisa’i, Ya’qub, juga Qunbul dan Ruwais—membaca shirath dengan sin (s), menjadi sirath. Bacaan dengan s memang masyhuur. Maklum, shirath adalah “jalan”, dan ia berasal dari sarath (dengan sin, alias s). Pengubahan s menjadi sh (sirath menjadi shirath) dilakukan oleh dialek Quraisy, yang disetujui sebagai dialek bagus dan merupakan bahasa fushha (fasih, resmi). Dengan shad pula (ihdinash shirath ) jumhur ulama membaca kaimah itu, dan itu pula yang tertulis dalam mushaf induk (Al-Mushaful Imam) di tangan Khalifah Utsman r.a.
Tetapi Hamzah, juga bapak qiraat, meng-isyam-kan shad (sh) itu dengan zai (za). Yakni menggerakkan bibir untuk menyebut z, tanpa suara, sebelum membunyikan sh –salah satu teknik khas dalam Ilmu Qiraat. Memang isyaman itu, yang berasal dari bahasa kabilah Qais, dilakukan bila shirath didahului alif lam (al, menjadi ash-shirath), seperti dalam Fatihah ini. Begitu pula pada Hamzah, Kisa’i, Khalaf, dan Ruwais—bila shad dalam keadaan mati (sukun), lalu dal (d) mengiringinya, seperti yashduru, fashda’, atau yashdifun.
Dari Abi Amr, dalam pada itu, diriwayatkan baik pengucapan sin maupun shad, malahan juga penyeruaan (mudhara’ah) zai (z) dengan shad (sh). Penuturan al-Ashmu’i bahwa Abu ‘Amr membacanya dengan zai murni adalah pernyataan yang salah, menurut para ahli bahasa: yang didengar Ashmu’i sebenarnya penyerupaan itu, hanya saja Ashmu’i membayangkannya sebagai z murni, dan Ashmu’i bukan ahli bahasa. Adapun yang benar-benar membunyikan zai (z) murni adalah Ka’b dan Bani al-Qain. Mereka, misalnya bilang azhdaq untuk ashdaq. (Abu Ja’far ath-Thusi , at-Tibyan fi Tafsiril Quran, I:40-42: Abu Haiyan al-Andalusi, al-Bahrul Muhith, I:25)
Kemudian Abu Haiyan (Spanyol-Mesir, 654-754 H), yang kitab tafsirnya memberi tekanan pokok pada Ilmu Qiraat dan Bahasa, mengutip Abu Bakr ibn Mujahid: pembacaan antara zai (z) dan shad (sh) itu merupakan pemaksaan satu huruf di antara dua huruf, dan itu berat bagi lidah, sementara “huruf baru” itu bukan pula huruf yang menjadi bahan bangunan kata… “Saya tidak menolak itu pengucapan Arab fasih, “Abu Bakr berkata, “tetapi shad lebih fasih.”
Yang menarik, dalam pada itu, ialah bahwa Zaid ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, imam kaum Zaidiyah, dan Ad-Dahhak, membaca ihdina shirathan mustaqiimaa (Abu Haiyan, I:25,26). Tampaknya ini mengacu pada bacaan serupa di akhir ayat-ayat Q. 4:68,175, dan 48:2,20: shirathan mustaqiimaa. Bersambung…
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sumber: Panji Masyarakat, 13-25 Desember 2002