Maaliki yaumid diin
Penguasa hari pembalasan (Q. 1:4)
Maalik (penguasa) lebih cocok dipakai memuji Allah dibanding malik (raja), sedangkan malik (raja) lebih sugestif untuk memuji makhluk dibanding maalik. Sebab penguasa (maalik) di kalangan makhluk belum tentu raja (malik), sedangkan bila Allah Ta’aala adalah penguasa (maalik), sudah tentu Dia raja (malik).
Antara malik dan maalik
Syahdan, maalik dalam maaliki yaumid diin, dalam ayat di atas, adalah lafal yang bisa dibaca dengan banyak cara. Dengan akar huruf-huruf mim-lam-kaf (m-l-k), ia bisa diucapkan dengan cara kita seperti tercantum di atas (maaliki), dengan arti pemilik atau penguasa. Tapi bisa juga dibaca maliki, dengan arti raja. Manakah yang lebih kuat menggambarkan keagungan Allah Ta’ala: maalik ataukah malik?
Malik lebih umum dan lebih sugestif dibanding maalik. Demikian mula-mula dituliskan dalam Fathul Qadir, tafsir Quran Muhammad As-Syaukani (w. 1250). Alasannya: semua malik (raja) adalah maalik (penguasa), tapi tidak semua penguasa raja. Juga karena perintah raja (malik) terlaksana, termasuk yang berhubungan dengan penguasa dalam kerajaannya, dan seterusnya. Ini pendapat pertama. Pendapat kedua menyatakan sebaliknya: maalik (penguasa) lebih luas, karena ia berarti penguasa atas manusia maupun yang lain.
Yang sebenarnya ialah, masing-masing dari yang dua itu punya kekhususan yang tak ada pada yang lain. Maalik lebih kuat dibanding malik dalam beberapa hal, sedangkan dalam hal-hal lain malik justru lebih kuat. Tetapi perbedaan antara dua ungkapan itu sehubungan dengan Ar-Rabb Subhanahu ialah bahwa malik (raja) itu sifat bagi Dzat-Nya, sementara maalik (penguasa) sifat bagi perbuatan (af’al)-Nya.
Dalam pada itu Abu Hatim punya pandangan menarik: maalik (penguasa) lebih cocok dipakai memuji Allah dibanding malik (raja), sedangkan malik (raja) lebih sugestif untuk memuji makhluk dibanding maalik. Sebab penguasa (maalik) di kalangan makhluk belum tentu raja (malik), sedangkan bila Allah Ta’aala adalah penguasa (maalik), sudah tentu Dia raja (malik). Ini pendapat yang dipiilih Abu Bakar ibn Al-‘Arabi. (Syaukani, I:22). Karena itukah kita, di Indonesia, khususnya, lebih umum membaca maaliki, menjadi maaliki yaumid diin?
Yang jelas, maaliki itu bacaan yag dipilih bapak-bapak Ilmu Qiraat: ‘Ashim, Al-Kisa’i, dan Ya’qub. Dan pilihan itu bisa dikuatkan oleh ayat “Hari yang tidak satu jiwa memiliki kekuatan (bukan merajai) untuk jiwa yang lain sedikit juga, dan seluruh perkara hari itu milik Allah” (Q. 82:19). Tapi jangan kita menganggap pilihan itu disetujui semuanya—tentu saja. Al-Baidhawi (w.658 H), termasuk yang memilih yang sebaliknya, yakni maliki (raja). Alasannya karena ia merupakan bacaan Ahlul Haramain (Orang Mekah dan Madinah, waktu itu), dan karena ayat “Milik siapakah kerajaan hari ini? Milik Allah, Yang Esa, Mahaperkasa” (Q. 40:14). Juga karena “raja” lebih agung. (Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, I:27-28).
Manakah bacaan terkuat
Semua itu menunjukkan bahwa pembacaan (qiraat) Alquran memang mengandung perbedaan-perbedaan, dan itu sudah sejak zaman para sahabat Nabi. Sampai tingkat tertentu Rasulullah sendiri memberi toleransi kepada keberlainan-lainan itu, terutama berdasarkan dialek, tapi juga karena kemungkinan mengandung pemahaman arti berdasarkan kekayaan makna Alquran. Dan karena itu versi-versi bacaan yang berbeda tapi bisa dirunut sampai ke zaman sahabat Nabi, dan—untuk lebih hati-hati—sekaligus bisa diakomodasi oleh bentuk tulisan mushaf ‘utsmani (berdasarkan standarisasi ejaan di masa Khalifah Utsman r.a.), adalah sah.
Tasfsir Az-Zamakhsyari (w.538 H.), Al-Kasysyaf, misalnya, bisa lebih lanjut memberikan sebagin contoh untuk ayat yang kita bicarakan ini. Abu Hurairah r.a. membaca maliki yaumid diin dengan maaliki yaumid diin, yang karena diucapkan dengan nashab (bunyi a), mempunyai arti “wahai yang menguasai”. Tetapi ada juga yag melafalkannya sebagai maliku, dengan arti juga”penguasa”. Malahan Imm Hanafi (Abu Hanifah) membaca keseluruhan ayat itu malaka yaumad diin, dengan arti “(Dia) memiliki/menguasai hari pembalasan.” (Zamakhsyari, I:56-57).
Sementara itu Turmudzi meriwayatkan dari sumber pertama Umm Salamah r.a., bahwa Nabi s.a.w. dahulu membaca maliki yaumid diin tanpa alif (pendek, bukan maaliki). Ini juga diriwayatkan oleh Ibnul Anbari dari Anas r.a. tetapi Turmudzi juga, bersama Ahmad, meriwayatkan dari sumber Anas juga, bahwa Nabi s.a.w. Abu Bakar, Umar, Utsman, r.a., membacanya maaliki, dengan alif.
Itu didukung riwayat-riwayat lain: Sa’id ibn Manshur dari sumber pertama Ibn Umar r.a., lalu Waki’, Abd ibn Humaid, dan Abu Dawud, dari sumber Az-Zuhri, lalu riwayat-riwayat Abdur Razzaq, Abd ibn Humaid, dan Abu Dawud, dari Ibnul Musaiyib. Al-Hakim dalam pada itu mengeluarkan hadis, yang dinyatakan shahih, dari sumber pertama Abu Hurairah r.a. (meskipun beliau ini juga diriwayatkan maalika yaumid diin), bahwa Nabi s.a.w. dahulu membaca maaaliki yaumid diin. Begitu pula yang diriwayatkan At-Thabari dari sumber lain, Ibn Mas’ud r.a. Pokoknya, ini versi yang sampai kepada kita dari sumber yang banyak, dan karenanya lebih kuat dari versi yang maliki.
Adapun yaumid diin adalah hari pembalasan, dari Ar-Rabb Subhanahu kepada para hamba-Nya. Firman-Nya: “Dari mana kau akan tahu apakah yaumud din itu? Hari yang tidak satu jiwa memiliki kekuatan untuk jiwa yang lain sedikit juga, dan seluruh perkara hari itu milik Allah” (Q. 82:17-19). Sebuah riwayat dari Ibn Jarir dan Al-Hakim, dari sumber pertama Ibn Mas’ud r.a., menceritakan bahwa orang-orang di antara para sahabat Nabi s.a.w. menafsirkan yaumud din dengan yaumul hisab, hari perhitungan. Begitu pula yang diriwayatkan Ibn Jarir dan Ibn Hatim dari Ibn Abbas. (Syaukani, I:22). Bersambung
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sumber: Panjimas, 13-26 November 2002.