“Politik kita sudah menjadi politik nasar, politik para pemakan bangkai” tegas seorang kawan dengan berapi-api dalam diskusi rutin yang biasa kami selenggarakan.
Nasar adalah jenis burung pemakan bangkai, seperti juga burung kondor. Semula saya sempat kaget karena menyangka ia menyebut Nazar, Nazarudin; orang yang dulu tampak pucat dan ketakutan ketika kali pertama tiba di Indonesia pasca penangkapannya; tapi kemudian tampak begitu enjoy dan bahkan berani cengengesan tiap di wawancara televisi, dan sekarang entah dimana rimba suaranya.
“Ungkapan ‘berlomba-lombalah dalam kebaikan’ sekarang diplesetkan jadi ‘berlomba-lombalah dalam memburu bangkai’. Orang tidak lagi memikirkan rakyat, tapi mengerahkan seluruh energinya untuk mengais-kais, mencari kelemahan mereka yang dianggap lawan politiknya.”
“Bukankah yang demikian justru menguntungkan rakyat, semua ditelanjangi sehingga tak ada lagi yang bisa bersembunyi dari kebusukannya sendiri?” sergah seorang kawan.
“Bisa jadi, tapi yang terjadi jauh lebih mengerikan dari itu: orang membingkai, mengarahkan, memelintir segala sesuatu seenaknya untuk disesuaikan dengan kepentingannya!”
Mengikuti perdebatan tersebut, yang terlintas pertama kali di pikiran saya adalah: rakyatlah yang pertama kali akan jadi korban. Mereka sudah sangat sengsara, tapi tiap hari masih dipaksa mengikuti sinetron tidak bermutu dari para nasar. Sinetron yang digelar berseri di televisi, majalah, koran, apalagi media sosial. Akibatnya mereka cuma bisa diam. Diam orang yang menunggu sesuatu. Diam yang mencekam.
Ada istilah bahasa Jawa yang tepat untuk menggambarkan situasi diam menunggu ini, yaitu: tintrim. Sunyi yang mencekam. Sunyi ini terasa mencekam, karena rakyat bukannya tidak tahu bahwa selama ini prioritas bagi kepentingan mereka hampir selalu berada di posisi paling buncit; dan mereka tak punya kekuatan yang memadai untuk merubahnya.
Mereka toh tidak mungkin beramai-ramai menggelar demonstrasi, agar kepentingannya diperhatikan misalnya. Toh, bahkan demontrasi yang berjilid-jilid pun tak mengubah apa-apa, kecuali mungkin bagi para pemangku kepentingannya. Jadi tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menunggu dan berharap-harap cemas akan adanya perubahan yang menguntungkan mereka.
Paling tidak selama dua puluh satu tahun terakhir, rakyat telah begitu banyak belajar. Mereka sudah begitu banyak menelan pil pahit, karena harapan mereka yang menggebu sering harus berakhir dengan kekecewaan. Tak heran bila mereka tak mau kembali terperosok pada lubang yang sama.
Mereka tak mau lagi ceroboh membaca janji sebagai kenyataan; sehingga -seperti yang sudah-sudah- gampang terprovokasi untuk meluapkan kegembiraan, begitu tokoh yang sudah membius mereka dengan janji-janji indah, duduk di tampuk kekuasaan.
Bayangkan: sejak reformasi dimulai, rakyat senantiasa dibayangi harapan yang tanpa ragu terus diguyurkan elite politik: inilah saat perubahan. Harapan semacam ini bahkan nyaris jadi mantra, karena selalu diulang sebagai komoditas politik setiap kali ada pergantian rezim.
Harapan-harapan rakyat yang pada awalnya senantiasa demikian menggelembung ini, pelan-pelan -tapi hampir pasti- selalu gembos begitu sebuah rezim mulai berkuasa dan memperlihatkan kebijakan dan kinerjanya. Orang bisa saja berdebat, bahwa setiap rezim yang pernah berkuasa sejak reformasi, dengan skala dan intensitasnya sendiri-sendiri, pada dasarnya telah menyumbang penyelesaian bagi tumpukan masalah yang mendera republik ini.
Tapi, betapapun bagi rakyat tampaknya ini semua terlanjur dipersepsi sebagai kegagalan, paling tidak karena jejaknya dianggap tidak terlalu dirasakan dalam kenyataan keseharian mereka.
Kini disaat rakyat makin terjepit, ketika kehidupan makin terasa pahit; bukannya jalan keluar yang ditawarkan, tapi malah sinetron para nasar yang disajikan. Sinetron yang hampir sebagian besar dimainkan oleh para mantan ‘pejuang’ dan peliharaannya, yang sedang asyik saling hajar untuk berebut remah-remah kekuasaan.
