Ads
Mutiara

Dari Minang Hingga Minahasa

Imam Bonjol yang punya banyak nama alias ini belajar agama dan taktik perang sekaligus. Mengapa dia yang dipilih di antara pemimpin-pemimpin lainnya.

Tuanku Imam Bonjol alias Muhammad Syahab alias Peto Syarif alias Malin Basa alias Tuanku Mudo adalah ulama dan sekaligus panglima perang yang melawan pemerintah kolonia Belanda. Ia lahir pada tahun 1772 di Tanjuang Bungo, Alahan Panjang. Asal usul Imam Bonjol dapat diketahui melalui tambo. Dalam tambo disebutkan bahwa keluarga Imam Bonjol berasal dari Alahan Panjang dan Rao. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama Muhammad Syahab dari pasangan Khatib Rajamuddin (Buya Nuddin) seorang guru agama yang berasal dari Nagari Sungai Rimbang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Hamatun seorang pendatang dari Maroko. Sebagai seorang guru agama Buya Nuddin sudah lama menetap di Kampuang Tanjuang Bungo. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai empat orang anak terdiri dari seorang lelaki dan tiga orang perempuan. Mereka adalah Muhammad Syahab (Tuanku Imam Bonjol), Sinik, Santun, dan Halimatun. Buya Nuddin lalu memboyong istri dan anak-anaknya untuk menetap di Kampung Koto, perkampungan yang diberikan Datuak Bandaro kepada orang tua mereka.

Muhammad Syahab mendapat pendidikan dasar keislaman dari ayahnya. Pada masa anak-anak ia disuruh dan dibiasakan untuk melaksanakan ibadah salat lima waktu. Ketika ia berumur tujuh tahun (sekitar tahun 1779), ayahnya Khatib Rajamuddin meninggal dunia. Ia kemudian diasuh dan dididik oleh kakeknya,Tuanku Bandaro, yang tinggal di Kampung Padang Lawas, Kanagarian Ganggo Hilir. Selain belajar membaca Alquran dan fikih, ia belajar berbagai keterampilan seperti pandai besi, pertambangan, silat, dan keahlian lainnya yang harus dimiliki oleh seorang pemuda Minang. Setelah selesai belajar agama Islam, Muhammad Syahab kemudian digelari Peto Syarif (Peto: ulama).

Setelah itu Peto Syarif memutuskan untuk meninggalkan kampungnya untuk pergi menuntut ilmu ke Kampuang Muaro di Pauah Gadih, Suliki, yang tidak lain adalah kampung ayahnya sendiri. Dari sana ia melanjutkan perjalanannya ke Pasir Lawas di Palupuh. Setelah itu ia kembali ke kampungnya untuk mengembangkan dan mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat.

Pada 1792 Peto Syarif, bersama Datuak Bandaro, memperdalam ilmunya kepada Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampek Angkek, Agam. Ia salah seorang murid Syekh Burhanuddin, seorang ulama penganut aliran Syattariyah di Ulakan, Pariaman. Berbeda dengan sang guru. Tuanku Nan Tuo menganut aliran tarekat Naksabandiyah. Tarekat ini dianggap lebih dekat dengan aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Peto Syarif sangat cepat menyerap semua pelajaran yang disampaikan oleh Tuanku Nan Tuo. Karena itu ia dijadikan atau asisten Tuanku Nan Tuo. Dengan demikian ia mendapatkan dua keuntungan sekaligus yakni tambahan pengetahuan agama dan pengalaman menjadi seorang guru.

Setelah belajar 8 tahun Peto Syarif menamatkan pendidikannya dengan Tuanku Nan Tuo, dengan hasil sangat memuaskan. Ia pun diberi gelar Malin Basa. Artinya kurang lebih, seorang yang sudah bertahun-tahun mengajarkan dan mengembangkan ajaran Islam. Pada 1802 Malin Basa menikah. Setahun setelah menikah Malin Basa berangkat ke Bansa, Kamang untuk menimba ilmu dengan Tuanku Nan Renceh. Seorang ulama yang ingin mengadakan pembaruan terhadap praktek-praktek ajaran Islam yang telah menyimpang dari Alquran dan Sunnah. Ia berbeda dengan Tuanku Nan Tuo yang memilih jalan damai. Ia sangat terkenal dan pengikut serta murid-muridnya tersebar di mana-mana. Di Kamang, Malin Basa tidak hanya mempelajari pengetahuan agama Islam tetapi juga pengetahuan tentang strategi perang. Bahkan akhirnya pendidikannya lebih dititikberatkan kepada cara mengendarai kuda sambil memimpin pasukan, taktik dalam memimpin peperangan, bagaimana mencari tempat yang strategis untuk menyerang dan bertahan, dan cara mengendalikan pasukan.

Pada tahun 1805 Malin Basa diperintahkan oleh Tuanku Nan Renceh untuk mendirikan sebuah benteng di Batusangkar. Ia belajar ilmu militer kepada Haji Piobang. Setelah pembangunan benteng selesai, ia kembali ke Tuanku Nan Renceh. Pada tahun 1807 Malin Basa menamatkan pendidikan agama dan militernya di Kamang. Selanjutnya ia diutus ke kampungnya sendiri untuk mendirikan benteng juga di sana.

Sekembalinya ke Alahan Panjang, Malin Basa terus mengembangkan Islam di sana. Ia mendapat dukungan penuh dari Datuak Bandaro yang memegang kekuasaan tinggi di Alahan Panjang. Setelah Datuak Bandaro wafat, Malin Basa merasa sangat kehilangan sosok yang memiliki andil dalam usaha pengembangan Islam di Alahan Panjang.

Sepeninggal Datuak Bandaro kemudian diadakan pemilihan pemimpin Alahan Panjang selanjutnya. Berdasarkan kesepakatan ditetapkan empat orang yakni Tuanku Mudo, Tuanku Hitam, Tuanku Gapuak, dan Tuanku Kalnat. Semenjak itulah nama Malin Basa berubah menjadi Tuanku Mudo. Beliau terpilih menjadi pengganti Datuak Bandaro untuk menjalankan pemerintahan karena kepintaran, kejujuran, dan keluasan ilmunya terkait agama Islam. Sedangkan pemimpin lainnya terpilih karena keberaniannya. Walaupun Tuanku Mudo merupakan pemimpin termuda, namun ia dipercaya menjadi kepala pemerintahan. Di bawah pemerintahannya Alahan Panjang mulai membangun. Pengajaran agama Islam lebih digiatkan dan kesejahteraan masyarakat juga mulai meningkat.

Bersatu Melawan Belanda

Perjuangan Tuanku Imam Bonjol melawan pemerintah kolonial dimulai tahun 1807 ketika dia diperintahkan oleh Tuanku Nan Renceh untuk membangun benteng di kampung halamannya, Alahan Panjang. Tuanku Mudo mulai mencari daerah strategis untuk dijadikan benteng pertahanan. Pilihan jatuh kepada Bukit Tajadi di sebelah timur Alahan Panjang. Benteng ini kemudian dinamakan dengan Bonjol. Bonjol dalam Bahasa Indonesia “benjolan” atau “tonjolan” adalah simbol bahwa benteng ini didirikan untuk pemeliharaan pranata Islam yang benar, melawan semua tindakan yang melawan hukum, dan memperingatkan seluruh umat untuk melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Tuanku Mudo diangkat sebagai pemimpin benteng. Sejak saat itu ia dipanggil dengan Tuanku Imam Bonjol.

Setelah pembangunan benteng selesai, Syarif Peto melancarkan gerakan pemurnian agama ke daerah sekelilingnya, yang dikenal dengan gerakan Paderi. Mirip dengan gerakan Wahabi di Saudi Arabia, mula-mula ia mengirim utusan ke daerah-daerah yang menjadi target pembaruannya. Mereka lalu mengadakan perundingan dengan pemuka-pemuka masyarakat setempat mengenai maksud dan tujuan Gerakan Paderi. Gerakan Paderi adalah gerakan yang memberantas praktek-praktek non-Islami yang dijalankan masyarakat. Apabila anak nagari tersebut mau mengikuti gerakan kaum Paderi dan membantu memurnikan ajaran Islam, maka nagari tersebut akan dijamin keamanannya. Sebaliknya jika mereka menolak maka nagari tersebut akan diserang. Harta mereka akan disita untuk dijadikan tambahan modal perang. Dengan strategi ini Imam Bonjol berhasil memperluas daerah kekuasaan Paderi bahkan sampai ke Tapanuli Selatan.

Pada 1820, Tuanku Nan Renceh Meninggal. Sebelum wafat ia menunjuk Tuanku Imam Bonjol untuk menggantikannya sebagai peimpin gerakan. Waktu itu usianya 48 tahun. Tugas yang dipikul Imam Bonjol sangat berat karena ia tidak hanya menghadapi para pemuka adat saja namun juga kekuatan asing yakni Belanda yang telah menguasai Padang sejak tahun 1819.

Secara garis besar pergolakan di Minangkabau terbagi tiga. Pertama fase perang saudara antara kaum adat yang menyimpang dengan Gerakan Paderi (1809-1821). Fase selanjutnya (1821-1832) ditandai dengan bersatunya pemuka adat dengan kaum Paderi untuk melawan penjajah Belanda. Komitmen ini disepakati dalam perjanjian Tandikat pada tahun 1832. Fase terakhir adalah perjuangan rakyat Minangkabau mengusir penjajahan Belanda. Tujuannya hanya satu yakni mengusir penjajah bukan lagi kepentingan golongan.

Imam Bonjol dan pasukannya berusaha melawan Belanda. Peperangan sempat berhenti setelah penandatanganan Perjanjian Masang, pada tahun 1824. Pada saat itu, Belanda sedang memusatkan perhatiannya ke Pulau Jawa karena di Pulau Jawa pecah Perang Diponegoro. Setelah Diponegoro Ditaklukkan, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran ke seluruh Sumatera Barat. Gubernur Jenderal Van Den Bosch ikut turun memimpin penyerbuan, namun gagal membujuk Imam Bonjol dengan maklumat Plakat Panjang. Dengan alasan mengajak berunding, Belanda menjebak dan menangkap Tuanku Imam Bonjol.

Tuanku Imam Bonjol ditangkap di Palupuh pada tanggal 28 Oktober 1837. Ia dibawa ke Bukittinggi pada 5 November 1837. Tidak lama berada di Bukittinggi, beliau dipindahkan ke penjara di Padang. Namun sekalipun telah dipindahkan ke Padang, masih banyak pengikut Imam Bonjol yang setia dan sering mengunjunginya. Selanjutnya, pada 23 Januari 1838 berdasarkan keputusan pemerintah kolonial Belanda di Batavia, ia diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Di tanah Pasundan ini ia diizinkan menjadi guru agama. Oleh karena kewibawaan dan pengaruhnya, pemerintah kolonial merasa curiga sehingga memindahkannya ke Ambon. Selang dua tahun, pada 19 Januari 1939 Imam Bonjol diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Di tempat barunya ini ia hidup seperti rakyat biasa setelah di tempat pengasingan sebelumnya ia memperoleh sejumlah fasilitas layaknya pemimpin. Di sini pula ia tutup usia pada 6 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di Lutak, Minahasa.***

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

1 Comment

  • Imam Bonjol pernah belajar pada guru yang menganut tarekat Naksabandiyah, apakah Tuanku Imam Bonjol juga mengikuti jejak gurunya atau memiliki pandangan tersendiri?

    Sekelumit pertanyaan saya, Pak.

    Saya murid Bapak di Mata Kuliah Filsafat Komunikasi dan Etika Profesi, kelas A1.

Tinggalkan Komentar Anda