Sebelum membahas lebih lanjut tentang “kediaman Gusti Allah dalam diri manusia”, ijinkan penulis mengutip kembali apa yang sudah penulis sampaikan di dalam bahasan sebelumnya, yaitu peringatan sejumlah ahli sastra Jawa agar kita hati-hati dalam menyikapi aneka tafsir, metode gothak-gathik-gathuk ala Jawa dan spekulasi yang bersifat kebatinan, mistik, spiritual bahkan klenik yang juga terjadi di sejumlah ajaran yang diuraikan dalam berbagai serat dan suluk.
Akan halnya masalah-masalah yang samar tersebut , ijinkanlah saya mengulang kembali kutipan Prof Simuh terhadap pendapat ahli sejarah dan kebudayaan Prof.Poerbatjaraka sebagai berikut : “ Rupa-rupanya sudah menjadi adat dalam golongan klenik (ilmu kebatinan). Kaum klenik itu jika bersua dengan ‘kitab klenik’ yang samar-samar artinya malahan dianggap sangat indah dan murni. Bagi orang yang bukan ahli klenik, apalagi orang yang suka akan hal-hal yang nyata dan terang, apabila membaca kitab yang demikian, maka kesallah hatinya.”
Menurut Prof Simuh, dalam Wirid Hidayat Jati juga banyak istilah dan ungkapan yang samar ditafsirkan dengan pengertian yang menyimpang. Misalkan : ”ajaran Islam yang tafsirannya sengaja disesuaikan dengan pemahaman secara kejawen. Dalam Wirid Hidayat Jati diterangkan, ‘iya sajatine kang aran Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun.” (halaman 31 – 32).
Syamsul Alam dalam buku “Hidayat Jati Kawedar Sinartan Wawasan Islam”, penerbit PT.Citra Jaya Murti, Surabaya 1991, tentang wejangan ke 4 ini dan juga dalam beberapa hal yang lain, menegaskan kuranglebih sebagai berikut: “ Saya menyarankan agar kita merenungkan dengan hati yang suci, apakah betul, pendapat yang menyatakan bahwa Gusti Allah berkedudukan di kepala manusia (Baitulmakmur). Apakah juga betul bahwa mahligai Dzat itu dinamakan rumah Allah (Baitullah)? Sesungguhnya Gusti Allah itu meliputi segala hal dan alam semesta. Tempat di mana saja yang oleh umatnya dipakai untuk sembahyang memuliakan-Nya, bisa disebut rumah Allah, dan tidak khusus hanya di kepala manusia, tidak juga hanya di dadha dan lain-lain. Adapun sebutan Baitullah yang asli bersumber dari firman-NYa (Al Qur’an) sebagai pusat arah shalat secara lahiriah adalah di Mekah. Sedangkan secara arah batiniyah itu ditujukan langsung kepada Gusti Allah yang berada di mana-mana.”
Di dalam buku “Islam Mencintai Nusantara, Jalan Dakwah Sunan Kalijaga”, penulis mencoba membahas sastra-sastra suluk yang menggambarkan hubungan Gusti Allah dan manusia tatkala masih dalam alam ruh, serta gambaran tentang singgasana dan kediaman Allah di Baitul Makmur, Baitul Muharram dan Baitul Muqaddas atau Masjidil Aqsa. Di Baitul Makmur, para malaikat setiap hari silih berganti memohon ampun dan bertawaf seperti orang bertawaf di Ka’bah. Dari baitul Makmur pula Allah bertitah serta mengatur alam raya, dunia akhirat dan para makhluk-Nya.
Baitul Muharram digambarkan sebagai rumah tempat Allah menyendiri, tempat terlarang sehingga bahkan malaikat pun tidak boleh masuk. Sedangkan Baitul Muqaddas adalah tempat yang disucikan.
Ketiga rumah Gusti Allah tersebut banyak diulas dalam kajian-kajian kebatinan Jawa, namun tidak demikian halnya di dalam Al Qur’an maupun hadis. Dalam kedua sumber rujukan utama umat Islam itu, Baitul Haram atau rumah suci tiada lain adalah ka’bah yang berada di Mekah, yang disebut dalam Surat Al Maidah dan sebelumnya juga dalam Surat Ali Imron ayat 96. “Ja’ alallaahul ka’batal baital haraama qiyaamal lin naasi, (Allah telah menjadikan ka’bah rumah suci itu sebagai pusat peribadatan manusia,” (Al Maidah: 97).
Sedangkan mengenai Baitul Makmur, Surat At-Thur : 4 – 6 Gusti Allah berfirman, “dan demi Baitul Makmur, dan atap yang ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam tanahnya terdapat api,” . Uraian lebih lanjut tentang Baitul Makmur diterangkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw tatkala mengisahkan perjalanan Isra’ Mi’rajnya. Beliau bersabda, “Saat melewati langit ke tujuh, aku diangkat menuju Baitul Makmur. Padanya datang setiap hari 70.000 malaikat yang tidak akan kembali lagi. Mereka beribadah dan berthawaf sebagaimana penduduk bumi berthawaf di Ka’bah. Demikianlah Baitul Makmur, ia adalah ka’bah bagi penduduk langit ke tujuh. Di situ terlihat Nabi Ibrahim Al Khalil alihisshalatu wasalam menyandarkan badannya (Shahihain).
Ada pun Baitul Maqdis, disebut dalam hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar, Baginda Rasul menyatakan Baitul Maqdis di Palestina itu adalah rumah suci yang kedua di bumi, yang dibangun 40 tahun setelah Baitul Haram. (Wirid Hidayat Jati: 11 dari 14, dalam Seri Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”)