Konsep ketuhanan Allah yang begitu luas dan meliputi segala bangsa, sejak di Al-Fatihah, cocok sekali dengan sifat agama Islam yang memang mendunia,
Apakah Arti ‘Seluruh Alam’
Al-‘aalamiin, menurut Qatadah r.a., adalah jamak ‘aalam’: segala yang bukan Allah Ta’ala. Tapi bisa juga berarti “penduduk setiap zaman”: QS Asy-Syu’ara 165: “Patutkah kamu menggauli (bersanggama dengan ) laki-laki di antara orang banyak?” ‘Orang banyak’ di sini adalah terjemahan kita untuk al-‘aalamiin, yang menurut Qatadah berarti orang-orang di zaman tertentu.
Bagi Ibn Abbas, al-‘aalamiin itu hanya mencakup jin dan manusia: “…agar menjadi pemberi ingat bagi seluruh alam (al-‘aalaminn)” (QS Al-Furqan 1), padahal Muhammad s.a.w. tidak memberi peringatan kepada binatang. Jadi jin dan manusia saja.
Tetapi menurut Al-Farra dan Abu Ubaidah, al-‘aalam adalah ungkapan untuk makhluk berakal, yaitu empat umat: manusia, jin, malaikat, dan setan. Tidak termasuk binatang dan lain-lain.
Bagi Qurthubi, yang benar adalah pendapat pertama. Karena mengandung seluruh makhluk dan seluruh maujud. Dalilnya adalah firman, “Berkata Fir’aun: ‘Dan apakah seluruh alam itu?’ Jawabnya, ‘Tuhan seluruh langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya’.” (Qurthubi, I:139)
Dan di “ketiga tempat” itu terdapat banyak sekali dunia (alam): dunia astronomis dan dunia fisis, berbagai dunia pemikiran, berbagai dunia spiritual, dan seterusnya, seperti dikatakan Yousuf Ali. “Kita hanya mengekspresikan satu aspek daripadanya bila kita mengatakan, ‘Di dalam Dialah kita hidup, dan bergerak, dan mempunyai wujud kita.’ Pembedaan secara mistis antara (1) alam nasut, dunia manusia yang bisa diketahui melalui indera, (2) alam malakut, dunia malaikat yang tidak kasat mata, dan (3) alam lahut, dunia realitas ketuhanan (hakikat ilahiat), “memerlukan keseluruhan jilid buku untuk menguraikannya.” (Yousuf Ali, 14n).
Kata ‘aalam sendiri diambil dari ‘alam (tanda, bendera) maupun ‘alaamah (alamat), karena kata itu menunjuk kepada yang menciptakan. Begitulah menurut Az-Zajjaj. (Qurthubi, I:139).
Yang terakhir itu juga dikatakan Muhammad Ali. E.W. Lane, dalam Arabic English Lexicon, menyebutkan pengertian terbatas ‘aalam, yakni “satu golongan atau sebagian makhluk atau manusia”. Karena itu ‘aalamin, jamak ‘aalam, bisa diartikan “segala bangsa”. Misalnya dalam Q.2:47: “Hai anak-anak Israil, ingatlah karunia-Ku kepada kamu dan bahwa Aku sudah melebihkan kamu di atas segala bangsa” (Menurut definisi Qatadah di atas: di zaman tertentu).
Yang kemudian penting ialah bahwa konsep ketuhanan Allah yang begitu luas dan meliputi segala, yang dicantumkan sejak di permulaan kitab Quran (bandingkan misalnya dengan ungkapan ‘tuhan orang Israil’ dalam Bibel), cocok sekali dengan sifat agama Islam yang memang diperuntukkan bagi seluruh bumi, yakni yang mengajarkan kebenaran nabi-nabi segala bangsa (tanpa terbatas hanya pada Israil). Yang demikian itu punya arti menghapuskan segala faham agama dan ketuhana yang sempit. (Quran Suci Jarwa Jawi, I:9).
Mengulang Ar-Rahman dan Ar-Rahim
Adapun dengan ulangan pernyataan ar-rahmaanir rahiim sesudah rabbil ‘aalamiin, diajarkan kepada kita semacam keseimbangan, seperti dinyatakan Qurthubi. Allah menyifati Diri-Nya, menurut mufassir Kordoba ini (w.671 H.), dengan ar-rahmaanir rahiim setelah rabbil ‘aalamin, karena ketika di dalam sifat rabbil ‘aalamiin terdapat hal-hal yang menimbulkan takut atau perasaan segan (tarhib), dalam ar-rahmaan dan ar-rahiim terdapat hal-hal yang menimbulkan kesukaan (targhib), agar dalam penggambaran sifat-Nya berkumpul dua unsur itu. Contoh-contoh perimbangan yang lain: “Beritakan kepada para hamba-Ku bahwa Akulah, Aku, Maha Pengampun Maha Pengasih, dan bahwa azab-Ku adalah azab yang sangat pedih” (QS Al-Hijr 49-50). Juga : “Pengampun dosa dan penerima taubat, sangat keras di dalam siksa…” (QS Ghafir 3).
Dalam Sahih Muslim, dari Abi Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sekiranya orang mukmin tahu siksaan apa yang ada pada Allah, tidak seseorang akan sempat mengaharap surga-Nya. Sekiranya orang kafir tahu rahmat apa yang ada pada Allah, tak seorang pun akan berputus asa dari surga-Nya.” (Qurthubi, I:139). Karena itu janganlah kita hanya berat sebelah. Wallahu Musta’an.
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat Sumber : Panjimas, 30 Oktober-12 November 2002.