Tuhan tahu seluruh kebutuhan kita secara lebih baik dari yang kita ketahui; dan anugerah-Nya selalu terbuka tanpa kita mohon, baik bagi orang salih maupun bagi pendosa. Tetapi doa diperlukan buat pendidikan rohani kita sendiri, disamping sebagai penghiburan dan konfirmasi.
Bagi Abdallah Yousuf Ali, pujian-pujian itu, seperti yang diajarkan dalam surah yang begitu padat dan menakjubkan, merupakan ungkapan perasaan yang vital sekali dalam hubungan manusia dengan Tuhan sebgaimana dilakukan dalam kontemplasi (tafakkur) dan salat. “Dalam kontemplasi spiritual kita, kata-kata pertama mestilah kata-kata pujian tersebut. Kalau puji-pujian itu keluar dari kita punya nurani yang paling dalam, itu akan membawa kita ke persatuan dengan kehendak Allah. “Kemudian mata kita akan melihat semua kebaikan, kedamaian, dan harmoni. Kejahatan, pembangkangan, konflik, semuanya tersingkirkan. Semua itu tidak maujud untuk kita, karena pandangan kita terangkat dari segala-galanya itu dalam puja-pujian.” Dari situ, demikian selanjutnya, kita akan melihat secara lebih baik sifat-sifat Allah, yang akan membingin kita dalam kehidupan penyembahan (ibadat) secara benar.
Tuhan sendiri, demikian Yousuf Ali, tidak membutuhkan pujian. Dia di atas seluruh pujian: Dia bahkan tidak memerlukan doa atau petisi, lantaran Dia tahu seluruh kebutuhan kita secara lebih baik dari yang kita ketahui; dan anugerah-Nya selalu terbuka tanpa kita mohon, baik bagi orang salih maupun bagi pendosa. Tetapi doa diperlukan buat pendidikan rohani kita sendiri, disamping sebagai penghiburan dan konfirmasi.
Itulah sebabnya kata-kata dalam keseluruhan surah itu diberikan kepada kita dalam bentuk yang siap untuk kita ucapkan. Bila kita sampai batas pencerahan, kata-kata itu akan meluncur secara spontan (bukan lagi dalam Alquran, tetapi) dari diri kita sendiri. (lih.Yousuf Ali, The Glorious Kur’an, 14n).
Rabb: Tuhan, bukan Bapa
Arti pertama dari ar-rabb adalah al-maalik (pemilik). Rabb adalah salah satu nama Allah Ta’ala, Adapun untuk yang selain Allah (dalam arti pemilik), ia bisa dipakai asalkan dengan penyandaran (idhafah). Misalnya rabbul bait, pemilik rumah.
Arti kedua: tuan (as-sayyid). Dalam Alquran: “Udzkurnii ‘inda rabbik (ingatkan aku kepada tuanmu)”. Dalam hadis: “Kalau budak perempuan melahirkan tuan perempuannya (an talidal amatu rabbataha).”
Arti ketiga: yang memperbaiki, mengelola, menjaga. Dari situ juga lahir nama rabbaniyyun sebagai istilah mereka yang menjaga/mengawal A-Kitab.
Arti keempat: yang disembah (tuhan). Kata syair: Arabbun yabuuluts tsu’lubaanu bira’sihii, Laqad dzalla man baalat ‘alaihits tsa’aalibu. Ini ejekan kepada berhala-berhala:
Tuhankah yang dikencingi rubah di kepalanya
Alangkah rendah yang dikencingi segala rubah
Arti kelima: yang mengasuh, mendidik, menumbuhkan, dan itulah sifat Allah Ta’ala terhadap seluruh ciptaan-Nya. Ini sifat bagi tindakan. Sedangkan rabb dengan makna penguasa dan tuan merupakan sifat bagi Dzat.
Bila alif-lam ditambahkan pada rabb, menjadi al-rabb (ar-rabb), rabb menjadi nama/sifat Allah Sendiri. Sedangkan tanpa alif-lam ia bisa bersangkutan dengan Allah maupun para hamba. Contohya, Allahu rabbul ‘ibad (Allah tuhan para hamba), sedangkan Zaidun rabbud dar ( Zaid penguasa rumah). Tetapi kalau disebut Ar-Rabb saja, itu Allah, tak lain (lih.Qurthubi I:136-137).
Bagi Muhammad Ali (The Holy Quran) karena pengertian luas rabb dalam hubungan dengan seluruh alam, rabb sebagai sifat Allah mengandung makna: yang mengadakan segala yang maujud, yakni yang menyediakan segala kebutuhan seluruh ciptaan, yang menentukan lebih dulu satu per satu ciptaan itu menurut kadar masing-masing, yang menyediakan sarana di dalam batas kadar tersebut, agar tiap-tiap makhluk bisa dengan lestari melanjutkan kemajuannya, yang pada ujungnya mencapai batas kesempurnaan. Menjadi jelas bahwa kata rabb mengandung pengertian yang lebih luhur dan lebih luas dibanding kata ‘bapa’ dengan makna yang amat terbatas itu. Karena itu dalam doa orang Islam, Tuhan dipanggil dengan panggilan rabb dan bukan ab yang berarti ‘bapa’. (R. Ng Djajasugita dan M. Mufti Sharif, Quran Suci Jarwa Jawi dalah Tafsiripun, I:8-9n). Bersambung
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat Sumber Sumber: Panjimas, 30 Oktober-12 November 2002