Ads
Muzakarah

Alat Potong Sapi dan Babi serta Daging Impor

Sebuah rumah potong hewan (RPH) yang cukup besar di Jawa Tengah dikabarkan tidak hanya melakukan pemotongan daging sapi, tetapi juga babi, dengan peralatan yang sama. Memang, saat digunakan memotong sapi, peralatan itu sudah dibersihkan dengan semprotan air? Bagaimana pula dengan daging yang diimpor dari negara-negara nonmuslim? Sebab, meski pernah dinyatakan halal, kan tidak ada jaminan perusahaan tidak melakukan penyimpangan. Maksud saya, katakanlah sudah ada penelitian terhadap cara mereka memotong hewan—sesuai syariat dan tidak pula dicampur dengan daging babi—tetapi setelah itu kan tidak ada pengawasan. Siapa bisa menjamin bahwa mereka tidak melakukan penyimpangan?

Jawaban KH Ali Yafie, waktu itu Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia  (MUI)

Kita memang harus berhati-hati memilih apa yang akan kita makan atau minum. Secara umum saya katakan, daging sapi yang dipotong dengan alat yang juga digunakan untuk menyembelih babi, asal alatnya sudah dibersihkan, tidak apa-apa, meski sekadar disemprot dengan air. Kalau ada orang yang keberatan karena hanya dibersihkan dengan air, dia juga tidak keliru, sebab soal membersihkan najis bebas daging babi, itu masalah khilafiah. Ada perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab fikih mengenai hal ini.

Memang, mazhab yang dianut umat Islam Indonesia umumnya berdasarkan mazhab Syafii. Mazhab ini mensyaratkan, pembersihan bekas najis semacam itu (babi) dan anjing yang dikategorikan najis berat atau mughallazah), dengan air tujuh kali, satu di antaranya dicampur tanah. Tapi, sekali lagi, ini hanya masalah khilafiah. Bagi imam mazhab lainnya, yang penting sudah dibersihkan dengan air. Asal benar-benar bersih, sudah hilang bau, warna, dan rasanya. Meskipun demikian, karena umat Islam di Indonesia umumnya bermazhab Syafii, sebaiknya perusahaan memakai landasan fikih Syafii kalau memang tetap ingin mendapat kepercayaan umat Islam.

Maka, demi meyakinkan konsumen yang mengeluhkan soal pemakaian alat potong untuk sapi dan babi ini, untuk menegaskan status hukumnya menurut ajaran Islam, sebaiknya perusahaan melibatkan ulama untuk memeriksa prosesnya. Dalam penentuan kehalalan, ada instansi di bawah MUI, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika (LP-POM) yang memerlukan penegasan dengan mendapatkan sertifikat halal. Penentuan akhir suatu produk halal menurut syariat Islam, bergantung pada fatwa MUI berdasarkan penelitian LP-POM.

Soal daging yang diimpor, asal pernah dinyatakan halal, maka hukumnya halal. Soal kemudian ada penyelewengan setelah diadakan penelitian, maka itu berpulang pada perusahaan yang bersangkutan. Buat kita, ada satu kaidah fikih, “Al-ashlu baqa-u ma kana ala ma kana, pada prinsipnya sesuatu masih tetap dengan keadaan semula.” Jadi, karena perusahaan bersangkutan sudah dinyatakan mematuhi prosedur syariat (ini disebut keadaan semula), maka daging yang dia produksi tetap halal, sampai kita menemukan bukti atau indikasi penyimpangan. Kecuali kalau anda ragu, tinggalkan saja. Sesuai dengan sabda Nabi,  “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, kepada hal yang tidak meragukanmu.”

Sumber: Panji Masyarakat , 7 Juli 1999

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda