“Rahman” itu menyangkut rahmat kepada seluruh makluk di dunia dan di akhirat, sedangkan “rahim” hanya untuk orang mukmin di akhirat.
Maha Pemurah, Maha Pengasih
Dua ungkapan di atas, ar-rahman dan ar-rahim, sama-sama diambil dari ar-rahmah (rahmat). Hadis Turmudzi mengantarkan penuturan ‘Abdurrahman bin ‘Auf r.a., yang menyatakan mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Akulah Yang Rahman. Aku ciptakan rahim. Aku ambilkan untuknya nama dari nama-Ku. Maka barangsiapa menyambungnya (menyambung rahim/silaturahim), Aku menyambung hubungan dia, dan barangsiapa memutusnya Aku memutus hubungan dengan dia’.’’ Menjadi jelas bahwa rahman, rahim (dalam arti kandungan) dan rahmat berasal dari akar kata yang sama, ra-hi-ma (r-h-m).
Adapun rahman dan rahim sebagai sifat-sifat Allah kedua-duanya bentuk superlatif (mubalaghah), dengan tambahan bahwa rahman lebih ber-mubalaghah dibanding rahim (Ibn Katsir I:21). Tetapi Abdallah Yousuf Ali (The Glorious Qur’an) memilih menerjemahkan mubalagah itu sebagai bentuk intensif (intensive form), “yang menunjuk aspek-aspek berbeda dari rahmat Allah”. Bentuk intensif Arab ini lebih cocok megekskpresikan sifat-sifat Allah daripada tingkat superlatif dalam bahasa Inggris (dan Indonesia). Sebab dalam kedua bahasa ini, tingkat superlatif dicapai dari perbandingan antar sesama makhluk, waktu, atau tempat, “sementara tidak sesuatu pun dapat diperbandingkan dengan Allah, sedangkan Dia independen dari waktu maupun ruang.” (Yousuf Ali, 14).
Betapapun, kata-kata Nabi Isa yang diasumsikan di muka, dalam riwayat yang diduga termasuk israiliat, punya kebenaran dari segi pengertian rahman-rahim itu: rahman menyangkut rahmat untuk dunia-akhirat, sedangkan rahim hanya untuk akhirat, seperti dalam ayat “Adalah Dia kepada orang mukmin bersifat rahim” — yakni di akhirat.
Berbeda dengan ayat seperti “Kemudian Ia bersemayam di arasy — Yang Rahman” (Q.25-59), atau “Yang Rahman, di atas arasy bertahta” (Q.20:5). Di sini nama Allah yang berhubungan dengan sifat rahman disebut dalam rangka penciptaan alam semesta, “untuk meratakan rahmat-Nya, kepada seluruh ciptaan-Nya,” kata Ibn Katsir (I:21). Itu menunjukkan bahwa rahman lebih tinggi tingkat superlatifnya dalam hal rahmat oleh lebih umumnya pengenaan rahmat itu di dunia dan akhirat untuk selungat ruh makhluk-Nya, sementara rahim hanya menyangkut orang mukmin.
Di sini pula menjadi jelas bahwa terjemahan dalam bahasa Indonesia (atau bahasa apa pun), untuk rahman dan rahim, tidak bisa persis mewakili makna yang terkandung dalam kata-kata aslinya. Hanya saja “maha pemurah”, salinan kita untuk rahman¸ kita pilih dengan mengingat kepermurahaaan Allah kepada makhluknya (di dunia), seperti dalam hal rizki, sementara “maha pengasih”, yang lebih berhubungan dengan kasih sayang, rasanya cocok buat orang mukmin, khususnya di akhirat. Betapapun, ini barangkali lebih mendekati pengertian asal dibanding misalnya “pengasih penyayang”, yang terkesan hanya dua sinonim untuk rahim.
Yang penting juga ialah ini: rahman itu hanya khusus untuk Allah Ta’ala, tidak yang lain: “Katakanlah, “serulah Allah atau serulah Yang Rahman. Yang mana pun yang engkau panggil, baginya nama-nama yang indah” (Q.17:110). “Tanyailah siapa yang Kami utus sebelum engkau di antara para utusan Kami: adakah Kami jadikan di luar yang Yang Rahman tuhan-tuhan disembah?” (Q.43:45).
Adapun ketika Mussailimah Al-Kadzdzab (orang yang mengaku nabi di masa Rasulullah s.a.w.) mendurjanakan dirinya dengan memakai gelar “Yang Rahman dari Yamamah (Rahmanul Yamamah)’, Allah pun mengenakan padanya jilbab kebohongan lalu memasyhurkannya — maka ia pun tidak dipanggil kecuali “Mussailimah si Pendusta (Al-Kadzdzab)’. (Ibn Katsir I:21). Begitulah sehhingga Sayyid Quthb (Fi Zhilalil Quran) menyatakan, “adalah terlarang dari jurusan iman, seorang hamba menyifati dirinya sendiri dengan rahman “. Sebaliknya, “termasuk jaiz (dibolehkan) penggambaran hambanya sebagai rahim. (Quthb, I:22).
Sebab Allah Ta’ala Sendiri memakaikan rahim itu pada yang selain Dzat-Nya: “Sudah datang kepada kamu rasul dari diri kamu sendiri, yang berat baginya merasakan yang kamu pikul, yang hati-hati memelihara kamu, dan kepada orang mukmin bersikap lembut serta pengasih (rahim)” (Q.9:128). Begitu pun Allah melukiskan yang lain-lain dengan nama-nama lain yang juga dipakai untuk Diri-Nya: “Sungguh Kami ciptakan manusia dari nutfah bercampur, untuk menguji dia, lalu Kami jadikan dia mampu mendengar serta melihat” (Q.76:2). “Mendengar serta melihat” di situ dalam teks asli adalah sami’un dan bashirun, dan itu juga nama-nama Allah yang menunjuk pada sifat.
Walhasil, ada nama-nama-Nya yang bisa dipakai untuk yang lain, ada juga yang tidak. Yang kedua ini misalnya ar-rahman (pemurah), al-khaliq (pencipta), ar-razzaq (pemberi rizki), di samping allah. Pada orang Islam yang tahu, nama-nama ini, untuk penamaan seseorang, akan selalu digandengkan dengan kata ‘abd (hamba) di depannya, seperti ‘abdur rahman, ‘abdul khaliq, ‘abdur razzaq, atau ‘abdullah (lihat Ibn Katsir, I:21). Wallahul Muaffiq
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat Sumber: Panjimas, 16-29 Oktober 2002